Terawang

Catalysh
Chapter #3

Sedingin Es

“Masuk," seorang pria yang mengenakan kemeja dan sweater rajut memalingkan wajah ke pintu ruangan seraya memanggil.

“Permisi, Pak," kata Khairi dan Ayana hampir berbarengan. Mereka masuk ke dalam ruangan dan menganggukkan kepala dengan sopan. Hari itu mereka berpakaian lebih formal dari biasanya, bahkan Ayana mengganti jeans yang menjadi ciri khasnya dengan celana panjang bahan.

“Perkenalkan, ini junior saya waktu kuliah dulu," pak Agni, dosen mereka, menggamit kepada kedua gadis tersebut.

Laki-laki yang ditunjuknya hanya mengangguk tanpa berkata-kata. Dia hanya memalingkan wajah untuk sekilas menatap kedua gadis itu lalu kembali melihat keluar melalui jendela. Sepertinya apapun yang ada di luar sana jauh lebih menarik daripada mereka berdua.

Sebenarnya laki-laki tersebut berwajah cukup menyenangkan, hanya saja sepertinya dia sudah lama tidak tersenyum. Sinar matanya sangat dingin walaupun tidak mengindikasikan keangkuhan. Pakaian yang dikenakannya, blazer santai di atas kaos turtleneck menunjukkan dia cukup peduli dengan penampilannya. Begitu pula bahan, warna dan motifnya menunjukkan dia cukup berada. Sepatu mengkilap dan jam tangan di pergelangannya juga terlihat bukan sesuatu yang dijual di toko biasa.

Khairi menebak pria tersebut tidak berusia setua yang ingin ditampilkan, mungkin hampir tiga puluh tahun. Fiturnya menunjukkan campuran genetik Indonesia dengan ras kaukasia, terdapat imbuhan timur tengah, Arya dan bahkan secercah Eropa di berbagai aspek wajah pria itu. 

“Duduk, duduk," pak Agni berdiri dari tempat duduknya lalu membuka lemari kabinet yang ada di pojok ruangan dan mencari-cari sesuatu di dalamnya. 

Kesempatan itu digunakan Ayana untuk menatap penuh arti kepada Khairi.

Khairi tersenyum simpul, dia bisa menebak apa yang ada dalam pikiran sahabatnya itu. Pastilah salah satu dari ‘penampilan sepuluh kelakuan nol besar’, ‘kurang komunikatif’, ‘sombong banget’ atau ‘es batu aja kalah dinginnya’.

“Nah ini materinya," pak Agni meletakkan dua buah flashdisk di hadapan mereka berdua. “Terlalu besar kalau dikirim lewat email. Ini scan dari buku tua yang kalian coba terjemahkan. Ada instruksi tambahan nanti di file word yang ada di directory yg lain," lanjutnya. 

“Seperti yang Bapak waktu itu bilang, kita kirim progressnya dua kali seminggu lewat email ya pak?” tegas Khairi.

“Betul Khairi," jawab pak Agni sambil mengangguk dan kemudian melanjutkan, “tantangannya adalah selain aksara dan bahasa Inggris kuno yang kalian sudah pelajari entah bagaimana ada aksara Sansekerta tercampur di buku tersebut. Dicoba dulu saja terjemahkan sebisa kalian. Boleh juga dicoba untuk submit foto aksara itu ke salah satu AI, siapa tahu bisa diartikan dengan image recognition. Kalau tidak ketemu tidak apa-apa, yang penting jangan sampai jadi menghambat pekerjaan utamanya.”

“Baik pak," kedua gadis itu menyanggupi permintaan tersebut. 

“Kier, kau nggak ada komentar atau saran? Bagaimanapun pekerjaan ini kan kamu yang ngasih," dosen tersebut memanggil temannya. 

Sang pria sedingin es memalingkan wajahnya dari jendela lambat-lambat, seakan dia tidak rela kegiatannya terganggu. 

Kali ini dia menatap tajam kepada kedua gadis itu. “Jaga baik-baik flashdisk yang diberikan. Jangan sampai hilang, jangan diberikan pada teman, pacar atau siapapun juga.”

“Baik pak," Khairi buru-buru menjawab. Jika Ayana yang menjawab, topik trending besok sudah pasti ‘pertumpahan darah di ruang dosen’. “Kami sangat berterima kasih telah diberikan kesempatan untuk belajar dan berkontribusi," lanjutnya. 

Ayana kembali menatap kepadanya dengan penuh arti. Khairi membuang pandangan, dia tidak ingin tahu dan tidak ingin menebak apa yang ingin disampaikan sahabatnya tersebut. 


*******


“Apa dosa kita ya, Khai," kata Ayana perlahan sambil menatap ke pintu ruang dosen yang sudah mereka tinggalkan. 

Khairi terkekeh kecil sambil merapikan rok panjang yang dia kenakan lalu menanggapi, “Tuan Sedingin Es?”

“Banget. Jadi haus ya," candanya. 

“Cak Kamil es jeruknya enak lho," Khairi masih tersenyum simpul. 

“Eh ya, mana janjinya Zakki, bentar aku cek," kata Ayana seraya membuka ponsel. “Jadi katanya, tapi masih satu jam-an lagi," lanjutnya sambil melirik waktu yang tertera di pojok layar ponselnya.

“Kita balik ke kelas dulu yuk, waktu itu kan aku janji ke Daffa mau baca Tarot buat dia," ajak Khairi.

“Daffa yang keluarganya ada yang baru meninggal? Ayahnya bukan?" Ayana memasukkan ponsel ke saku Dan mulai berjalan mengikuti Khairi.

“Kakaknya," koreksi Khairi. “Sepertinya cuma beda satu dua tahun, satu kampus dengan kita juga cuma aku tidak ingat prodinya.”

“Jadi ini ramalan untuk menghibur ya, Khai," ujar Ayana.

“Banyak yang suka dengan ramalan dan banyak yang menghujat juga. Tapi seperti yang kau bilang, Ay, ramalan itu cuma alat, baik buruknya di tangan kita sendiri," Khairi menarik nafas lalu melanjutkan, “Kalau bisa dimanfaatkan untuk tujuan baik, kenapa tidak.”

Ayana tersenyum sambil menekan tombol lift dan membatin, “Yang paling penting dengan Tarot kamu bisa mulai move on dari kecelakaan itu.”

Tak terasa mereka sudah tiba kembali di kelas. Kelas ini berada satu gedung dengan ruang dosen mereka, bagian universitas yang lebih baru, tidak seperti gedung tua tempat Zakky diramal. Terdapat deretan meja dengan kursi nyaman berwarna cerah. Ukuran mejanya diperhitungkan cukup bagi mahasiswa untuk meletakkan notebook dan benda penunjang lainnya, tidak kurang dan tidak lebih. Hal ini berbeda dengan meja kayu super besar yang ada di gedung lama.

“Punya nomornya Daffa, Ay? HPku di tas," Khairi bertanya sambil melongok ke dalam kelas.

“Itu dia di pojok, lagi ngelamun," jawab Ayana yang juga ikut melongok ke dalam.

Lihat selengkapnya