“Hah?” Ayana tampak terkejut mendengar kata-kata sahabatnya itu. “Khai, kalau nggak dijelaskan aku beneran kena anxiety attack nih,” lanjutnya.
“Mental health-mu terlalu tangguh untuk bisa kena gituan, Ay,” sergah Khairi sambil terkekeh pelan. Dia terdiam sebelum melanjutkan, “Aku nggak bisa menjelaskan. Entah kenapa perasaanku kuat bahwa kartu itu menunjukkan Daffa akan bertemu kembali dengan kakaknya.”
“Seyakin apa?” Ayana bertanya lebih lanjut.
“Seyakin besok pagi matahari masih akan terbit di timur,” jawab Khairi sambil menganggukkan kepala, menegaskan jawabannya
Ayana terdiam, lalu dia kembali menggandeng lengan Khairi dan mengajaknya melanjutkan perjalanan. Kedua gadis itu tidak berbicara lagi sementara kaki mereka membawa menuju ujung selasar yang lengang tersebut. Sejenak sebelum mereka sampai di akhir selasar Khairi tiba-tiba berhenti.
“Ay, kita mau lewat sana ya,” kata Khairi dengan sedikit terbata-bata.
“Kan ada aku,” jawab Ayana dengan lembut. “Tapi kalau mau muter, nggak apa-apa juga, masih sempat kok. Cuma cacing di perutku yang akan protes sedikit,” dia melanjutkan sambil bercanda, meringankan suasana.
Khairi menggeleng. Bagaimanapun suatu saat dia harus menghadapi kenangan buruk tersebut. Sekarang adalah kesempatan yang baik, dia tidak sendiri, Ayana akan menemaninya melewati rasa takut tersebut.
“Ada hadiahnya juga, mie ayam Cak Kamil dan es jeruk traktiran Zakky,” batin Khairi menyemangati diri sendiri.
Khairi mulai berjalan lagi. Selasar itu akhirnya terlampaui, mereka membelok ke kiri dan mencapai tempat terbuka yang cukup luas. Di kejauhan Khairi dapat melihatnya. Sang musuh abadi, pohon berdahan rendah yang nyaris merenggut nyawanya.
Sejak kejadian itu dia memang belum pernah datang lagi ke sana. Khairi memilih untuk memasuki kampus dari sisi yang berbeda. Walaupun sebelum kecelakaan dia sering melewati tempat tersebut, baru saat inilah dia benar-benar menatap pohon besar tersebut. Pohon itu lebih kecil dari yang dibayangkan. Gadis yang tumbuh di kota besar seperti Khairi umumnya memang tidak akan tahu apa jenis pohon tersebut. Dalam benaknya dia menyetarakan pohon tersebut dengan dedalu raksasa dari film penyihir remaja yang ditontonnya waktu kecil. Tentunya jika pohonnya memang sebesar dan seganas itu Khairi langsung berpindah ke alam lain pada hari tersebut.
“Ke sana yuk,” ajak Khairi.
Ayana hanya mengangguk. Kali ini dia tidak mau berkata-kata, tidak ingin mengganggu proses penyembuhan diri yang sedang dijalani sahabatnya.
Tak lama mereka tiba di pohon tersebut, tepatnya pada dahan rendah yang membentur kepala Khairi. Gadis tersebut mengangkat tangannya lalu secara perlahan memajukannya. Pada dahan di hadapannya ada lekuk tidak wajar, ternyata pohon tersebut juga menderita karena kecelakaan tersebut.
Khairi menyentuh lekuk tersebut.
Mendadak semuanya menjadi gelap, kabut berpendar terang perlahan mulai nyata terlihat di sekelilingnya. Khairi ingat, inilah awal penglihatan yang dialami pada waktu kecelakaan. Di sinilah saat dia merasa bahwa dia sudah meninggal dan berpindah ke alam barzah. Saat dia terdiam, kabut kembali tersibak, membuka jalan baginya. Khairi bergegas menuju arah yang terbuka tersebut. Dia ingat pertempuran seru yang terjadi. Bagaimanakah kelanjutannya, apakah para gadis pemberani berhasil mengalahkan makhluk besar yang menyeramkan itu.
Sayangnya kali ini pemandangan lain yang menyambut Khairi. Dia seakan berdiri di atas tebing yang menghadap ke lembah. Di tengah lembah tersebut terdapat sejenis pelataran, panggung kecil yang terbuat dari batu. Di atas pelataran tersebut tampak sosok wanita yang sudah cukup berumur berdiri tegak sambil memegang tongkat setinggi manusia. Wanita tersebut memakai jubah panjang dan di atas kepalanya terdapat semacam hiasan mirip mahkota. Tongkat yang dibawanya memiliki kepala berbentuk bundar dengan berbagai ornamen di atasnya. Tongkat tersebut tampak berpendar lembut, menonjol di kegelapan yang menyelubungi. Wanita tersebut didampingi seorang anak wanita kecil yang sedang memegang sebuah baki di sebelah kirinya dan seorang wanita muda yang memakai semacam zirah di sebelah kanannya.
Di hadapan pelataran tersebut terdapat belasan wanita berbaris rapi. Salah satu wanita melepaskan diri dari barisan tersebut dan berjalan menaiki tangga menuju panggung. Dia berhenti di hadapan wanita tua yang memegang tongkat lalu berlutut satu kaki di hadapannya. Wanita tua tersebut menyerahkan tongkat kepada pendampingnya yang berbaju zirah. Pendamping ciliknya maju mendekati dan menyorongkan bakinya ke depan.
Wanita bermahkota tersebut mengambil sesuatu dari baki lalu menyerahkannya kepada wanita yang sedang berlutut. Dari posisi Khairi sebenarnya tidak terlalu jelas, tapi sekilas mirip dengan cakram dari penglihatan pertama. Wanita yang menerima mengangkat cakram tadi lalu menyentuhkan ke keningnya, setelah itu dia berdiri. Tiba-tiba dia memalingkan kepala dan menatap ke arah Khairi. Ternyata dia adalah wanita yang sama, hanya saja terlihat lebih muda. Jika hendak menebak, Khairi akan mengatakan bahwa dia saat ini sedang melihat peristiwa yang terjadi bertahun-tahun sebelum penglihatan yang sebelumnya.
“Sebenarnya ini kan jauh ya,” batin Khairi, “apa karena mimpi aku bisa melihat jelas sejauh ini?”
Wanita itu menyentuh keningnya lalu kembali tersenyum kepada Khairi dan sekejap semuanya kembali menjadi gelap.
“Khai, Khairi,” panggilan yang sama terdengar, tentunya berasal dari pelaku yang sama. Hanya saja kali ini mereka tidak berada di rumah sakit. Mereka berada di sisi sebuah pohon besar dengan dahan yang rendah.
“Ehm, Khai, sayang-sayangan sama pohonnya udah belum? Mulai ada yang melihat ke sini,” kata Ayana perlahan saat melihat Khairi mulai membuka matanya.
Khairi tersenyum malu. Saat terbawa ke penglihatan tersebut waktu berjalan di luar kendalinya, saat ini pun dia tidak yakin sudah berapa lama dia terdiam sambil bercengkrama dengan pohon yang hampir merenggut nyawanya.
Tanpa berkata-kata lagi Khairi menarik tangan Ayana dan bergerak menuju kedai mie ayam favorit kampus mereka.
*******
“Terima kasih kak Zakky,” kata kedua gadis itu berbarengan dengan suara anak kecil.
“Kalian ini,” kekeh Zakky. Mereka terlihat lebih akrab setelah makan siang bersama. “Aku habis ini bakal ketemu Syifa,” sambungnya dengan wajah sumringah.
“Bukannya kemarin sudah berencana mau mundur dan lihat-lihat dulu?” tanya Khairi.
“Masih sesuai rencana. Tidak harus menghindar juga. Wajar kalau sesekali papasan dengan adik tingkat,” jawabnya.