“Khai, ini Saut, temanku dari kecil. Dia mau minta tolong,” kata Daffa setelah dia sampai di meja Khairi.
Saat itu mereka baru saja menyelesaikan kuliah siang. Sebagian mahasiswa yang memiliki kuliah lagi sorenya terlihat bergegas keluar dari ruangan untuk makan siang lalu kembali lagi. Khairi sedang membereskan mejanya, dia tidak terburu-buru. Di depan kelas terlihat Ayana sedang berbicara dengan Bu Dosen yang baru selesai mengajar, kebetulan dosen tersebut adalah Dosen Pembimbing Akademik mereka dan Ayana butuh nasihatnya.
Khairi berdiri dan menyalami laki-laki yang diperkenalkan tersebut. Dia belum pernah melihatnya sebelumnya, tapi dari penampilannya dia juga mahasiswa, dan karena dia membawa tabung gambar, ada kemungkinan dia satu prodi dengan Zakky dan Syifa. Sepertinya dia tadi menanti di depan kelas dan saat kuliah bubar dia langsung masuk mencari Daffa.
“Khairi,” kata Khairi memperkenalkan diri. “Arsitek ya?” tebak Khairi.
“Benar,” jawabnya dengan wajah terkejut. “Daffa tidak melebih-lebihkan, kamu memang cenayang ya,” lanjutnya sambil menoleh sekilas ke Daffa.
Daffa mendadak terlihat malu karena komentar polos temannya tersebut. Khairi pun menjadi terdiam sejenak. Dia membayangkan jika Ayana mendengar komentar itu pasti akan keluar sisi jahilnya. Minimal sindiran halus akan terujar dari bibirnya.
“Jadi, Bang Saut mau bertanya soal apa?” tanya Khairi memecah kebisuan sesaat tersebut.
“Saut aja, kita seangkatan kok. Aku duduk ya,” Saut mempersilakan diri sendiri. Dia memutar kursi di hadapan meja Khairi lalu duduk manis di sana.
“Eh ada pasien,” terdengar ujaran polos dengan suara riang. Ayana. Dia sudah selesai berdiskusi dengan Dosen PA mereka dan buru-buru kembali begitu melihat ada yang mendatangi Khairi.
“Saut, temanku. Ini Ayana, kembarannya Khairi,” Daffa memperkenalkan dengan singkat. Tentunya dia tidak bermaksud menyatakan bahwa mereka berdua benar-benar kembar. Karena dua sahabat itu selalu bersama, teman-teman sekelas mereka sering bercanda bahwa mereka seperti anak kembar.
Ayana tersenyum sambil mengangguk. Dia melihat tabung gambar tersebut dan mengambil kesimpulan yang sama dengan Khairi.
“Kenal Zakky dan Syifa dong,” tebak Ayana.
Reaksi Saut cukup mengagetkan. Dia langsung berdiri dan menatap Ayana seakan-akan baru disambar petir.
“Kamu juga cenayang? Kembar memang begitu ya, walaupun nggak mirip,” tegasnya.
Khairi harus berusaha keras menahan tangannya yang ingin menepuk keningnya sendiri. Dia tahu kali ini tidak akan ada yang bisa menahan kejahilan Ayana. Ayana tertegun sesaat. Saat melirik air muka Khairi dia dapat menduga apa yang terjadi.
“Namanya juga bakat turunan,” kata Ayana dengan wajah sungguh-sungguh. “Khairi lebih ahli, mungkin karena lahirnya beda hari.”
Saut mengangguk-angguk. Sepertinya dia puas dengan penjelasan tersebut. Di sampingnya, Daffa langsung membuang muka dan berinisiatif pergi mengambilkan kursi untuknya dan Ayana.
Khairi berdehem-dehem beberapa saat, berusaha menahan tawa. Kemudian dia mengambil tas dan mulai menyiapkan diri. Kepalanya ditundukkan, dia tidak ingin melihat wajah Ayana, pasti dia akan gagal menahan tawa. Seperti sebelumnya, Khairi mulai membentangkan kain hitam dan mengeluarkan kartu dari kotaknya. Kali ini juga dia semakin meningkatkan keseriusan, dia tidak mempergunakan kotak asli milik kartunya tapi kotak berlapis beludru yang berkesan mewah berwarna hitam. Sekilas kotak itu mirip kotak perhiasan dan mungkin memang aslinya diperuntukkan untuk keperluan tersebut. Kartunya sendiri kali ini terlihat sedikit berbeda, masing-masing kartu dibungkus oleh plastik tipis, tentunya ini untuk menjaga agar kartu tetap awet. Hanya saja dengan dibungkus plastik seperti ini kartu tidak akan cukup dimasukkan ke kotaknya, karena itu dibutuhkan kotak baru yang cukup representatif.
Mata Ayana kembali berbinar-binar. Dia senang bahwa setiap kali Khairi bersiap meramal ada saja perkembangan yang dia lakukan.
Khairi meletakkan kartu di tengah dirinya dan Saut lalu menatap pria muda tersebut dengan pandangan tajam
“Boleh diceritakan apa yang ingin dibacakan?” tanya Khairi.
Saut tampak gugup ketika ditatap seperti itu, sepertinya dia tidak terlalu sering berinteraksi dengan lawan jenis.
“Hilang, nggak tahu ke mana,” katanya terbata-bata.
“Apa yang hilang? Uang, perhiasan, kendaraan atau malah pacar?” sambar Ayana bersemangat.
“Belum punya, pernah suka tapi ditolak,” jawabnya.
Ayana tergoda untuk berkomentar, tapi entah kenapa dia hanya mengangguk dan tersenyum sopan. Mungkin tidak tega, Saut ini terlihat polos sekali.
“Jadi yang hilang barang ya? Mahal pastinya?” ujar Ayana dengan nada serius.
“Iya, benar. Peramal memang selalu tahu ya. Bapakku baru beli bor mahal. Buat dipakai di kantor sebenarnya, tapi karena paketnya baru sampai masih ada di rumah,” jelasnya. Dia sudah lebih tenang, tidak terbata-bata lagi, walaupun dia sepertinya menghindari menatap Khairi secara langsung.
Khairi mengerucutkan bibirnya. Menarik juga sebenarnya, dia belum pernah menggunakan Tarot untuk mencari barang yang hilang. Hanya saja interpretasi kartunya harus agak berbeda, dia pernah baca sekilas tapi belum pernah berlatih.
“Hilangnya bagaimana? Cerita deh,” sebagai pasangan peramal kembar Ayana dengan semangat mengambil alih.