“Ay, aku belum pernah lihat foto ini,” kata Khairi sambil mengangkat bingkai kayu. Terlihat Ayana kecil sedang berpose memakai baju bela diri.
“Baru ketemu. Ibuku bongkar-bongkar gudang mencari sesuatu yang mau kakekku bawa mudik, nggak ketemu, malah foto lama ini yang ketemu,” katanya sambil meneruskan merias diri.
“Karate ya? Ini waktu baru mulai kah? Kalau tidak salah sekarang kau sudah Dan sekian kan?” tanya Khairi berturut-turut.
“Iya, waktu itu masih ban kuning, tapi bangga banget rasanya,” jawabnya.
“Ayana kecil lucu banget ya, kau dulu cantik lho,” kata Khairi.
“Memangnya sekarang nggak?” protes Ayana.
“Nggak kalau kau dandannya kayak begitu,” Khairi dengan tegas mengambil pena eyeliner dari tangan temannya.
“Sebetulnya kenapa harus dandan segala,” Ayana masih melanjutkan protesnya, tangannya berusaha mengambil kembali pena tersebut.
“Jangan bergerak, mengedip juga nggak boleh,” Khairi menepis tangan sahabatnya itu. “Dongak sedikit, Ay,” lanjutnya.
Ayana menghela napas panjang dengan pasrah. Berhias bukan kegiatan yang dia sukai.
Khairi dengan hari-hari mengeluarkan setetes micellar water ke wadah lalu mengambil Q-tip dan menyentuhkan ujungnya dengan lembut ke tetesan tersebut. Setelah memastikan tidak terlalu basah, dia mulai memperbaiki riasan mata Ayana yang berantakan. Dia mengakhiri tindakannya dengan pena eyeliner yang direbut dari tangan Ayana.
“Nah, sekarang sudah kembali secantik si kecil yang lucu itu,” puji Khairi.
“Leherku pegal,” omel Ayana. “Tapi memang mendingan,” dia mengakui setelah melihat dirinya sendiri di kaca.
Malam itu Ayana mengenakan rok panjang merah dengan atasan yang terinspirasi dari kimono dengan warna dominan merah dan putih. Rambut sebahunya tampak mengembang, hasil dari kunjungan singkat ke salon langganan sebelum mencapai rumah. Penampilannya terlihat padu sekaligus kontras dengan Khairi yang berdiri di sampingnya, Khairi mengenakan pakaian putih dengan kerah tinggi yang diwarnai corak emas pada bagian tengah dan diteruskan sampai ke kerah. Seperti biasa rambutnya tetap diikat dengan bentuk ekor kuda, hanya saja kali ini terlihat lebih berbobot, hasil kerja keras penata rambut di salon yang sama dengan Ayana.
Saat itu terdengar bunyi notifikasi ponsel, menandakan pesan masuk. Ayana melirik sekilas lalu berdiri sambil meregangkan tubuh.
“Ayahku, katanya kita sudah bisa berangkat. Yuk,” ajaknya.
*******
“Khairi dan Ayana turun dulu di sini,” kata Ayah Ayana. “Nanti setelah parkir kita ketemu di pintu lift yang di sana,” dia menunjuk ruang kaca berisi lift yang terlihat terang di kejauhan.
“Yuk,” kata Ayana sambil membuka pintu mobil dan keluar, diikuti oleh Khairi yang duduk di belakang.
Mereka mulai berjalan sementara Ayah Ayana mengarahkan mobil mencari lokasi parkir yang masih kosong. Acara tersebut diadakan di hotel yang bersambungan dengan mall dan karena hari itu adalah hari Jumat, hanya tersisa sedikit tempat yang masih kosong.
“Jalannya pelan-pelan, Ay,” bisik Khairi seraya menahan Ayana yang hampir jatuh.
“Aku nggak suka pakai hak,” Ayana meratapi nasibnya, “Sepatu yang cocok warnanya cuma yang ini. Khai, nanti aku duduk di meja terus, titip ambilkan aku makanan.”
“Bukannya acaranya table dinner begitu?” tegas Khairi. “Masalahmu nanti adalah menentukan sendok, garpu dan pisau mana yang cocok dengan hidangannya.”
“Masa iya? Tapi itu gampang, mulai saja dari luar ke dalam, nggak akan salah,” jawab Ayana dengan yakin.
Khairi hendak menanggapi ketika terdengar suara pembicaraan dari balik tembok yang hendak mereka lewati.
“Sekali lagi Bapak pastikan, apa benar kamu mau melakukan ini, Nak?” terdengar suara seorang laki-laki dengan timbre berat. “Jika kamu lakukan ini, maka selamanya akan ada yang hilang dari hidupmu,” lanjutnya.
“Sejak kecil, apalagi setelah Ibu meninggal aku sudah tahu bahwa hal seperti ini akan terjadi,” terdengar suara lembut seorang wanita.
Khairi dan Ayana menghentikan langkah dan berpandang-pandangan. Mereka kenal suara tersebut. Syifa.
“Bukannya ada yang sedang suka denganmu? Teman kampus yang mengantarkan waktu hampir kecelakaan, dia jelas suka dan kamu sepertinya juga,” tanya Ayahnya lagi.
“Belum sampai suka,” jawab Syifa, “Karena itu sebaiknya segera saja nikah. Jangan sampai jadi masalah.”
“Bapak sebenarnya tidak mau kamu sampai tidak mengenal cinta. Bapak dan Ibu dulu, kita benar-benar-,” suara Ayah Syifa sedikit tercekat dan dia tak meneruskan kalimatnya. “Resikonya akan ada yang hilang dan tidak akan pernah kamu miliki,” lanjutnya setelah menarik napas.
“Keputusan Keluarga Besar,” kata Syifa lirih, “Memangnya bisa kita tolak. Bisa diusir nanti.”
“Bapak besar di panti asuhan, tidak ada keluarga lain, kalau kita pergi kamu akan putus hubungan dengan keluarga Ibu, hanya itu alasan Bapak untuk bertahan,” Ayah Syifa menghela napas lagi. “Tapi kalau kamu mau kita tinggalkan mereka. Kamu bisa memulai dengan laki-laki pilihanmu, itu yang paling penting,” wajahnya terlihat sedih.
“Bapak jangan sedih, siapa tahu calonku ternyata melebihi hadapan,” kata Syifa sambil tersenyum.
Khairi dan Ayana menjadi serba salah, mereka tidak ingin menguping tapi juga tidak mungkin memotong pembicaraan dari hati ke hati tersebut. Tiba-tiba Ayana memegang lengan Khairi dan menariknya mundur beberapa meter.
“Khai, jangan dilepas aku mau jatuh,” katanya agak keras sambil bertumpu pada Khairi.
“Ayo Ay, kamu bisa, masa kalau sama hak sepatu,” katanya agak keras juga sambil tertawa kecil.
Dari balik dinding muncul Syifa dan ayahnya, mereka mendengar ada yang datang. Syifa merasa mengenali suara tersebut sehingga dia langsung ingin melihat.
“Kak Khairi dan kak Ayana, mau ke pesta yang di hotel?” tanya Syifa bersemangat. Gadis itu menggelung rambutnya serta mengenakan kebaya modern berwarna hijau yang dilengkapi dengan selendang. Dandanannya sederhana, tapi itu justru menonjolkan kecantikan alami khas Jawa gadis tersebut.
“Teman-teman Syifa?” kata Ayah Syifa. “Berdua saja? Apakah datang mewakili orang tua?”
“Ayah saya sedang parkir, Oom,” jawab Ayana. “Kebetulan Ibu saya sedang mudik ke Jepang jadi saya mewakili,” jelasnya lebih lanjut.
“Ibumu orang Jepang? Ayahmu Pak Herman ya?” tanya Ayah Syifa lagi.