“Pesan dari Syifa,” kata Ayana sambil melihat ke belakang melalui kaca spion.
Mereka masih duduk di mobil dalam perjalanan pulang dari pesta. Karena pesta tersebut selesai lebih cepat dari seharusnya, mereka justru menjadi terperangkap macet. Saat ini sudah sekitar satu jam sejak meninggalkan gedung tersebut dan mobil Ayah Ayana baru menempuh setengah dari jarak ke rumah Khairi. Mereka memang berencana mengantar gadis itu pulang dulu.
“Apa katanya,” justru Ayah Ayana yang bersemangat bertanya.
“Dia minta aku membuat grup WhatsApp bertiga dengan Khairi,” jawab Ayana. Mereka memang sempat bertukar nomor telepon.
“Nggak cerita apa yang terjadi setelah semua orang pergi?” tanya ayahnya lebih lanjut.
“Belum,” jawabnya lagi, “Ayah mau ikut masuk grupnya, nanti tanya sendiri ya?”
Ayahnya hanya tertawa, dia sudah biasa dengan kelakuan sarkastik putrinya tersebut.
Nada notifikasi terdengar dari ponsel Khairi. Ayana sudah membuat grup dan posting pertama di grup tersebut masuk ke ponsel Khairi. Nada notifikasi berbunyi kembali. Kali ini Syifa, menyapa mereka berdua.
“Ayahku meminta aku menyampaikan maaf bahwa acara tadi berakhir secara kurang enak,” tulis Syifa lagi.
“Tidak apa-apa, Syifa. Tidak ada yang menyangka juga bisa seperti itu,” tulis Khairi. Dia sedikit merasa bersalah, setelah dipikirkan lebih lanjut, ada kemungkinan dia lah penyebab getaran dan gangguan pada listrik yang datang dan pergi bersamaan dengan rasa sakit di tengah keningnya tersebut.
“Tadi seram juga ya waktu mereka bertiga berdebat di panggung,” timpal Ayana.
“Sebetulnya sampai sekarang masalahnya belum disepakati,” Syifa menjelaskan lebih lanjut, “Kedua keluarga memutuskan untuk tetap berjalan sesuai rencana sementara keluarga yang satunya akan membawanya ke pertemuan besar atau apa namanya. Karena itu aku mau minta kesediaan kalian.”
“Mengenai apa sepupu tersayang, ayo bilang sama Ayana,” tulis Ayana seraya bercanda.
Syifa mengirimkan emoji memeluk kemudian melanjutkan penjelasannya, “Karena ketidakpastian masalah ini, aku bermaksud untuk tidak memberitahu teman-teman kuliah.”
“Mau kami yang memberi tahu ke Kak Zakky?” tanya Ayana.
Syifa terdiam cukup lama sebelum mulai menulis lagi, “Boleh, pasti canggung ya kalau aku yang kasih tahu. Tapi yang aku mau minta tolong bukan itu.”
Syifa berhenti lagi, di layar hanya tampil bahwa dia sedang menulis. Tak lama lanjutannya terkirim, “Terus terang memang agak egois ya, tapi aku tidak mau sendiri di acara itu. Ayana dan Khairi mau tidak ikut hadir?”
“Mau dong,” jawab Ayana cepat.
“Iya, sekalian bisa liburan, di perkebunan kan acaranya?” tulis Khairi.
“Iya betul, tempatnya indah. Dulunya punya nenekku. Terima kasih ya, kita baru kenal tapi kalian baik sekali,” jawab Syifa. “Nanti aku kirim ya ke grup kalau sudah ada detailnya.”
Ayana dan Khairi masing-masing mengirimkan emoji OK mereka.
“Liburan,” kata Ayana senang.
“Nggak sekalian minta izin sama ayahmu, Ay?” tanya Khairi.
“Nggak perlu, pasti dikasih,” jawab Ayana seenaknya.
“Iya dikasih,” kata Ayahnya dengan nada santai, “Tapi uang bulanan dipotong.”
“Jadi Ayah nggak mau tahu apa kelanjutan acara tadi?” tanya Ayana sambil menyeringai.
“Ya deh,” kata Ayahnya mengalah.
Sambil tertawa kecil Ayana membuka lagi ponselnya dan mulai menulis.
“Aku ajak Zakky ketemu Senin di kelas ya,” kata Ayana. “Lebih baik dia tahu dari kita kan?” tegasnya.
Khairi mengangguk. Dia sedikit sedih membayangkan tanggapan Zakky saat tahu mengenai perjodohan ini.
*******
Hari Senin merupakan salah satu hari Khairi dan Ayana berkuliah di gedung lama tempat Khairi meramal Zakky. Entah kenapa Khairi menyukai saat kuliah di gedung tersebut. Bukan berarti dia tidak menyukai gedung baru mereka yang modern, tapi rasanya gedung lama punya identitas sendiri dan nuansa mengayominya sangat kental. Gedung tersebut sudah berjasa mencetak entah sudah berapa banyak manusia yang berkontribusi pada perkembangan bangsa dan negara. Suatu saat gedung baru pun akan memiliki jasa yang sama. Jika beberapa puluh tahun lagi Khairi dan teman-temannya kembali ke kampus, dinding-dinding beton itu akan dengan bangga bercerita tentang suka duka dan pencapaiannya.
Khairi berdiri bersandar ke jeruji jendela. Gedung lama seperti ini umumnya dirancang dengan langit-langit yang tinggi sehingga tidak selalu butuh menyalakan pendingin ruangan. Di sore yang tidak terlalu panas seperti hari itu justru lebih nyaman untuk membuka jendela dan merasakan angin sepoi-sepoi berhembus perlahan masuk ke dalam kelas. Sambil menikmati semilir angin, Khairi melayangkan pandangan. Dia baru sadar bahwa dari kelas ini dia dapat melihat pohon yang ditabraknya dari kejauhan. Gadis itu paham bahwa ada sebuah keterkaitan antara titik di keningnya dengan dunia mimpi yang didatanginya. Entah kenapa menyentuh pohon tadi bisa memicu memasuki dunia tersebut. Sepulangnya dari pesta, Khairi mengira bahwa rasa sakit yang tiba-tiba datang di keningnya merupakan pendahuluan sebelum masuk ke sana. Saat tiba di rumah dia mencoba melakukan berbagai hal untuk masuk ke dunia mimpi tersebut. Usahanya tidak berubah hasil. Sampai akhirnya dia tertidur tidak ada tanda-tanda sama sekali dan keesokan harinya Khairi bangun dengan rasa kecewa.
“Ay, lihat sini,” kata Khairi mendadak.
Ayana yang duduk di dekatnya sambil sibuk browsing di media sosial langsung berdiri dan mendekati jendela. Dia menatap mengikuti arah yang ditunjukkan jari temannya.
“Es Batu itu siapa namanya kemarin, Kieran? Ada apa dia datang hari ini ke kampus?” katanya sambil mencibir.