“Ternyata Bahasa Inggris kuno dan Sanskrit atau Sanskerta memiliki akar yang sama, Indo-European language family. Oom Kafi nggak main-main ya kalau ngasih bahan,” kata Ayana sambil mengalihkan pandangan dari ponsel di tangannya ke kotak kardus berisi buku di bagian bagasi mobil mereka.
Saat itu Jumat sore dan mereka berada dalam perjalanan menuju alamat yang diberikan pak Agni. Saat mengetahui Ayana dan Khairi diundang ke tempat Keluarga Wirabuana, Ayah Ayana langsung memaksa mereka untuk diantar sopir pribadinya. Pengemudi tersebut, Pak Soleh, berbadan besar dan sepertinya punya kemampuan bela diri yang baik. Dia berasal dari keluarga yang turun-temurun bekerja pada keluarga Ayana dan karena kesetiaan dan kemampuannya juga merangkap sebagai pengawal pribadi ayahnya.
Ayana menoleh kepada Khairi, terlihat temannya tersebut sedang membuka mata.
“Eh lagi nyoba pernapasan yang kemarin ya, sorry ganggu,” kata Ayana.
“Nggak apa-apa. Memang tidak mudah, sepertinya harus ada pemicu. Mungkin kondisi tertentu atau kalau aku merasa terancam baru bisa seperti kemarin,” kata Khairi lambat-lambat. “Tapi Oom Kafi memang sudah bilang bahwa tidak perlu buru-buru, Eyangku saja perlu waktu bertahun-tahun,” lanjutnya.
Ayana mengangguk. “Kembali ke topik,” katanya, “Dia nggak berharap kita membaca dan mengembalikan buku-buku di belakang itu secepatnya kan?”
“Buat referensi katanya,” Khairi tertawa kecil sambil menjawab sahabatnya tersebut. “Kalau butuh baru dibaca, dan tidak perlu dikembalikan. Dia cuma minta kita baca artikel dari link-link situs internet yang dia berikan dalam email.”
“Tiba-tiba semalam Oom Kafi datang lagi ke rumah?” tanya Ayana.
“Iya, untuk mengantar buku dan ngobrol dengan ibuku. Oom mau menawarkan pengasuh untuk calon keponakanku. Katanya ada ART yang sudah kerja puluhan tahun di keluarga kenalannya, merawat orang tua dan temannya itu waktu masih anak-anak. Hanya saja orang tua yang dirawatnya baru meninggal, jadi dia butuh tempat baru paling tidak setelah satu dua bulan ke depan,” papar Khairi.
“Waktunya pas ya,” kata Ayana, “Memang jodoh kalau begitu.”
“Kemarin Mbak Ari itu datang juga, orangnya ramah, langsung cocok dengan ibuku,” kata Khairi.
“Kita sudah mau sampai, non Ayana,” kata Pak Soleh tiba-tiba. Mobil yang mereka tumpangi berbelok masuk ke sebuah jalan kecil pendek tanpa plang nama yang dan berakhir di sebuah gerbang besar yang tertutup. Di sisi gerbang terdapat pos satpam yang berisi dua orang. Salah satu dari mereka keluar dan mengetuk kaca mobil Ayana. Pak Soleh menekan tombol, menurunkan kaca jendela tersebut.
“Mobil tamu silakan parkir di sana, Pak,” katanya dengan sopan tapi tegas sambil menunjuk deretan tempat parkir yang sudah disediakan di sisi lain gerbang. Terlihat beberapa mobil sudah parkir di sana. Khairi dan Ayana mengenali salah satunya, mobil pak Agni, sepertinya beliau sudah hadir terlebih dahulu.
Pak Soleh membuka laci dan mengambil sebuah dompet hitam. Dia lalu membuka dompet dan menunjukkan sesuatu yang berbentuk seperti lencana besi berbentuk segi empat kepada satpam tersebut. Satpam tersebut mengernyitkan dahi lalu mengambil dompet dan masuk ke dalam posnya, menuju sebuah panel digital yang tergantung di dinding. Temannya langsung keluar menggantikan pria tersebut mengawasi mobil. Satpam yang pertama mendekatkan lencana besi dalam dompet tersebut kepada panel sementara tangan yang lain menekan earphone yang melekat di telinganya. Dia seperti sedang mendengarkan perintah dan kemudian mengangguk. Satpam tersebut kembali keluar sementara temannya dengan sigap masuk kembali ke pos dan berdiri bersandar di tembok di sisi jauh, tangan kanan hampir menempel pada sisi tubuhnya.
“Pesan dari dalam untuk disampaikan: Pak Herman terlalu khawatir, Keluarga Suryanegara akan berbesan dengan kami, justru di dalam adalah tempat paling aman,” katanya, tetap sopan walaupun dengan nada kaku.
Pak Soleh hanya mengangguk sambil mengambil kembali dompet tersebut.
“Silakan masuk ke dalam, belokan kedua ke kiri, rumah kayu yang terletak paling ujung. Di bagian luar ada lahan parkir, hanya lima puluh meter dari rumah,” katanya masih dengan nada yang sama.
Pintu besi tersebut mulai membuka ke samping, menampilkan kelanjutan jalan raya yang sedang mereka lewati. Pak Soleh menutup kaca tanpa basa basi dan mulai menjalankan mobil memasuki wilayah tersebut.
“Agak seram yah,” kata Ayana mencairkan suasana.
“Wirabuana memang begitu, Non, sombong,” kata Pak Soleh dengan suara kesal. Sepertinya dari tadi dia menahan diri untuk tidak bicara justru karena tidak mau menimbulkan masalah. “Walaupun Pak Herman sejak muda sudah mengumumkan keluar dari bisnis Keluarga, tetap saja Non Ayana adalah keturunan Suryanegara yang punya hak khusus,” lanjutnya.
Ayana hanya tersenyum lalu menghadap ke Khairi dan melafal, “Aku hebat kan.”
Khairi tersenyum setengah menyeringai. Dia senang bahwa Ayana bisa menghadapi situasi dengan tenang, malah cukup santai sehingga kambuh sifat jahilnya.
Mobil meluncur mengikuti jalan dan berbelok sesuai petunjuk yang diberikan. Tak lama mereka tiba di lokasi yang dimaksud. Untung juga mereka tidak terpaksa jalan kaki menuju tempat tersebut yang ternyata lumayan jauh masuk ke dalam. Namun bisa juga akan ada kendaraan yang datang menjemput ke gerbang.
Khairi turun bersama Ayana dan melihat ke sekeliling. Seluruh kawasan itu ternyata luas sekali, hal ini tidak tampak dari luar. Tidak disangka ada tempat seperti itu di pinggiran ibukota.
“Non, kalau ada yang cari gara-gara, langsung teriak saja, wa juga boleh. Saya sudah lama tidak nonjok kroco Wirabuana,” kata Pak Soleh dari balik jendela pengemudi. “Non Khairi juga hati-hati ya, mereka ini sombong dan suka tidak menghargai orang lain,” katanya pada Khairi.
Ayana tertawa lebar sambil mengetuk lembut atap mobilnya. Dia lalu menggandeng Khairi yang tersenyum dan mengangguk pada Pak Soleh. Mereka berjalan santai menuju rumah kayu tersebut. Istilah tersebut sangat tidak tepat, kayu hanya digunakan sebagai ornamen sementara bangunannya sendiri jelas dari bata atau malah beton. Selain itu ukurannya sangat besar, tiga tingkat dan cukup luas untuk dijadikan penginapan atau asrama. Di depannya seorang pria tua berwajah ramah yang mengenakan pakaian lurik sedang menyapu.
“Tamunya Den Kieran ya?” katanya dengan sangat ramah saat mereka mendekat, bertolak belakang dengan kesan yang disebutkan oleh Pak Soleh.
Khairi dan Ayana membalas senyumnya dan mengangguk. Hari itu mereka adalah dua gadis paling sopan di planet ini.
“Betul, Pak Kieran meminta kami datang. Saya Khairi dan ini Ayana,” kata Khairi sambil membungkuk sedikit lalu menunjuk temannya dengan tangan tergenggam dan jempol sedikit diacungkan, sesuai adat kesopanan Jawa.
Pria tua itu tampak senang bahwa Khairi bertindak sangat sopan.
“Monggo, Cah Ayu berdua saya antar,” katanya sambil mempersilakan mereka untuk masuk.
Mereka baru berjalan masuk beberapa langkah saat terdengar suara dari sebelah kiri, “Siapa yang menyuruh kalian masuk lewat sini-” kata-kata itu tiba-tiba terhenti.
Khairi dan Ayana menoleh ke sumber suara. Seorang pria muda dengan pakaian rapi sedang duduk di sofa, di tangannya terdapat rokok elektrik yang jika melihat asapnya baru saja disedotnya. Mereka mengenali pria tersebut. Ananda. Calon suami Syifa. Bisa juga Ananta, mereka tidak yakin, pembawa acara malam itu mungkin keseleo lidah waktu menyebutkan namanya. Khairi segera meletakkan tangannya di lengan Ayana. Dia tahu temannya tersebut bisa tiba-tiba tersulut emosinya.
Hanya saja kekhawatiran Khairi langsung pupus. Saat melihat pria tua yang muncul di belakang kedua gadis itu kata-katanya yang cukup kasar itu terhenti. Wajahnya langsung menjadi pucat bagaikan tikus kepergok kucing.
“Oh, Den Ananda masih di sini. Bukannya tadi sudah mau pergi,” kata pria tua tersebut dengan ramah.
“Saya jalan Pak Mangun, permisi,” katanya cepat sambil bangkit berdiri dan langsung keluar melalui pintu samping.
“Anak muda zaman sekarang selalu buru-buru,” kata Pak Mangun sambil tersenyum. “Monggo,” katanya lebih lanjut sambil mengarahkan mereka melalui selasar yang sudah cukup terang walau tidak ada lampu yang menyala.
Bangunan tempat mereka berada sebenarnya adalah bangunan lama. Ukiran Jawa menghiasi semua ruangan, tidak hanya dalam bentuk karya seni, tapi juga menjadi bagian dari struktur bangunan seperti tiang dan pasak maupun elemen penting seperti jendela. Walaupun begitu terlihat bahwa bangunan itu telah dipugar dan dipermodern. Pelaku pemugaran tersebut cukup bijaksana untuk tetap mempertahankan dan mempergunakan aspek yang sudah ada seperti langit-langit yang tinggi sehingga tidak perlu tergantung pada pendingin ruangan, serta jendela yang ditempatkan secara strategis sehingga di siang hari tidak terlalu perlu menyalakan lampu.
Di luar itu, aspek modernisasi yang mendukung kebutuhan primer masa kini seperti internet terpenuhi dengan baik. Di beberapa lokasi di atap Khairi melihat perangkat pendukung internet dipasang secara strategis. Kira-kira setahun yang lalu Oom Kafi datang dan memasang beberapa perangkat seperti itu di rumah, Khairi bahkan sempat diajak berbelanja membeli perangkat dan pendukung yang dibutuhkan. Khairi menduga bahwa di rumah keluarga yang memiliki kerajaan bisnis seperti ini pastilah mereka membayar mahal untuk mempergunakan teknologi yang diterangkan pamannya, misalnya Mesh Wi-Fi yang menjamin lingkup jangkauan sinyal penuh bagi para pengguna di seluruh bangunan, dan kemungkinan mereka bergerak dari satu lokasi ke lokasi lainnya tanpa terputus. Begitu juga kamera CCTV berbentuk dome (kubah) tampak terpasang di sudut-sudut ruangan. Tidak mengherankan, karena sejak dari jalan kecil sebelum pintu besi sampai lokasi parkir kendaraan di dekat rumah ini puluhan CCTV Outdoor (dirancang khusus untuk digunakan di ruang terbuka) terpasang dan tentunya dipantau oleh tim khusus yang bertanggung jawab terhadap keamanan.