Terawang

Catalysh
Chapter #11

Gerbang (Bagian Kedua)

“Apa yang terjadi?” Kieran mengalihkan pandangannya dari layar besar. Baru saja bangunan tempat mereka berada bergetar selama sepersekian detik, lampu ruangan pun berkelip.

“Mungkin gempa, Pak,” seorang pria gempal berkacamata berdiri dari kursinya dan memperhatikan layar komputer yang terletak di meja lain. “Semua sistem normal,” lanjutnya.

“Lanjut,” kata Kieran.

Dia kembali menatap layar besar di ruang pusat kendali. Layar tersebut merupakan gabungan sekian banyak layar kecil yang masing-masing dapat diatur untuk menampilkan gambar yang berbeda, hanya saja kali ini layar itu digabung untuk menampilkan gambar seorang pria setengah baya. Wajahnya biasa saja, tidak ada karakteristik khusus, wajah seseorang yang sering ditemui setiap hari dan langsung dilupakan.

“Dia memperkenalkan diri dengan nama Puja atau Jaka. Tidak jelas asal usulnya, tidak jelas kawan atau lawan. Sudah beberapa kali dia muncul di lokasi penampakan, lokasi terakhir-” taklimat yang disampaikannya terputus karena getaran kembali terasa. Tidak hanya itu, lampu ruangan mulai berkedip-kedip.

“Jalankan prosedur gempa,” kata Kieran dengan nada tegas. “Kalian sudah tahu harus apa. Citra, telepon Ayana dan bimbing mengenai prosedur kita,” lanjutnya sambil menoleh pada asistennya.

Citra mengangguk dan langsung mencari nomor telepon Ayana sambil bergerak mencari perlindungan.

“Pak Kieran, ini parah sekali. Saya usul kita matikan listrik dari PLN, data center aman karena ada UPS paling tidak 15 menit,” kata seorang pria lain setelah beberapa saat gempa dan kelipan listrik tak kunjung berhenti.

Kieran mengangguk dan hendak mengutarakan persetujuannya. Tiba-tiba semua menjadi gelap, getaran keras itu pun berhenti.

“Semua baik-baik saja?” suara Kieran terdengar jelas di kegelapan. “Citra, bagaimana dengan kedua anak perempuan itu?” tanyanya lebih lanjut.

“Dari tadi tidak ada sinyal Pak,” kata Citra sambil bangkit, sinar dari layar ponsel menyinari wajahnya. “Saya sekalian ke sana saja,” katanya.

“OK. Dahlan, kontak rumah utama dan tanyakan kondisi mereka. Kalau sinyal ponsel masih terganggu buka lemari darurat, ada walkie talkie di sana,” Kieran memberikan perintah lebih lanjut.

“Pak Kieran, pintu tidak dapat dibuka,” terdengar Citra berkata di kegelapan.

“Kok bisa,” dia bergerak mendekat ke pintu. 

Kunci pintu gedung tersebut sudah diganti menjadi kunci berbasis IoT yang dapat dikendalikan melalui jaringan. Mereka memiliki baterai sendiri di dalamnya dan dapat bekerja secara independen. Kieran melihat lampu indikator di kunci, wajahnya yang terpapar pancaran sinar dari layar ponsel Citra terlihat terkejut.

“Mode Lock-Down. Harusnya waktu listrik mati semua kunci pintu akan membuka, ini bagian dari prosedur keamanan. Satu-satunya override fungsi ini adalah jika sebelumnya sudah ada perintah Lock-Down, yang mengindikasikan ada sudah bahaya yang mengancam nyawa sehingga lebih baik mengkarantina diri,” katanya sambil mencubit dagu.

“Kenapa generator belum nyala?” tanya Kieran pada seorang pria yang membawakan lampu darurat kepadanya. Saat itu di beberapa titik ruangan sudah mulai diterangi lampu-lampu tersebut.

“Akan kita periksa begitu kita bisa keluar dari sini, Pak,” kata pria tersebut dengan wajah sedikit malu.

“Hari ini kacau sekali. Semua persiapan bencana yang kita buat dan bayar mahal kacau semuanya. Senin pagi jam 8 panggil konsultan dan kontraktornya, hari itu juga harus beres diperbaiki dan diuji ulang,” kata Kieran sambil duduk di sebuah kursi. “Jangan Senin, besok pagi jam 8. Aku akan ada di sini untuk mengawasi,” dia berubah pikiran setelah sejenak berpikir.

Citra mengernyit sambil mengalihkan wajahnya ke kegelapan. Sudah terbayang akan ada sekumpulan orang menjadi korban keganasan atasannya itu besok pagi. Apalagi mood atasannya sedang tidak baik, tadi saja dia nyaris bertengkar dengan mahasiswi Pak Agni yang sedang presentasi. Terbersit rasa kasihan terhadap mereka berdua, tapi yang penting mereka aman di dalam ruangan, kecuali.…

“Pak,” Citra mendadak memanggil Kieran. “Kalau mereka sedang tidak di dalam ruangan, atau misalnya sedang ke kamar mandi bawah-” kata-katanya terputus karena saat itu juga Kieran bangkit dan berlari ke pria yang sedang memegang walkie talkie. Pria tersebut terkejut karena Kieran langsung merampas perangkat yang sedang dipegangnya tersebut.

“Darurat. Ini Kieran, hubungkan aku dengan Pak Mangun,” katanya. “Hanya komunikasi darurat dan yang berhubungan dengan hal ini yang boleh dilakukan sampai aku berbicara dengan Pak Mangun,” katanya menegaskan.

“Dahlan, update,” kata Kieran. Tangannya yang memegang walkie talkie terlihat memutih, dia memegang perangkat komunikasi tersebut dengan erat.

“Gardu listrik utama terbakar, semua generator langsung menyala kecuali di gedung kita. Selain itu ada sejumlah perangkat distribusi listrik dan jaringan data rusak tersebar di berbagai tempat. Target perbaikan 8 jam,” papar pria setengah baya tersebut. “Sistem kunci yang baru untungnya saat ini hanya ada di gedung kita. Tempat lain relatif terkendali,” lanjutnya.

“Sinyal ponsel mengapa mati juga?” tanya Kieran.

“BTS di sekitar kita sepertinya ikut rusak. Kita sudah kontak ke pihak terkait. Prediksi mereka besok pagi sudah kembali normal,” jawab Dahlan.

“Pak Kieran,” terdengar suara dari perangkat yang sedang dipegangnya.

“Mana Pak Mangun. Cepat,” kata Kieran sambil menekan tombol berbicara di perangkatnya.

Terdengar jawaban yang tidak jelas dari perangkat tersebut.

“Ulangi,” katanya lagi.

“Pak Mangun sedang melerai perkelahian. Saya sedang berlari ke sana,” suara tersebut terdengar seperti kehabisan napas.

“Perkelahian? Siapa yang sempat-sempatnya cari masalah di saat seperti ini?” suara Kieran meninggi.

“Sepertinya sopir tamu Bapak berusaha mendobrak masuk gedung dan berkelahi dengan satpam,” kata suara itu, masih terengah-engah.

Kieran mengangkat walkie talkie tinggi di atas kepala dan seperti hendak membantingnya. Akhirnya dia hanya mendengus dengan kesal dan melemparkan alat itu kembali pada Dahlan.

Lihat selengkapnya