Terawang

Catalysh
Chapter #12

Gerbang (Bagian Ketiga)

“Kita sudah tiba,” kata wanita itu sambil menghembuskan napas panjang. Perjalanan itu cukup menegangkan, sepanjang jalan tombak yang dibawa diarahkan ke depan, seakan bersiap menyerang jika ada bahaya menghadang.

“Apakah biasanya ada bahaya, Kak?” tanya Khairi.

Wanita itu membalikkan badannya dan menatap Khairi. Cahaya saat ini lebih terang daripada di saat mereka bertemu, sehingga akhirnya Khairi dapat dengan jelas melihat wajahnya.

Cantik sekali,” batin Khairi. 

Walaupun sesama wanita, Khairi dapat menghargai kecantikan alami wanita di hadapannya. Wajahnya tirus, mungkin termasuk golden ratio yang diburu para pencari bakat untuk model. Hidung mancung khas Kaukasia menghiasi wajahnya yang sangat Asia. Entah kenapa Khairi merasa bahwa wajah tersebut mewakili berbagai ras Asia yang saat ini ada, seakan-akan merupakan cikal bakal yang kemudian berkembang dan berevolusi perlahan menjadi beragam karakter yang kini umum ditemui. Wanita itu juga terbilang tinggi, paling tidak seratus tujuh puluh lima sentimeter. Pakaian perang dan tombak yang dipegangnya tidak mengurangi kecantikannya, apalagi ditambah postur sempurna yang lebih mungkin merupakan hasil latihan militer dibandingkan Pilates justru memberikan kesan wanita anggun yang tangguh.

“Panggil aku Radha,” kata wanita itu. Tiba-tiba dia tertawa kecil. “Aku sudah mengawal banyak sekali gadis muda sepertimu, ini pertama kali aku menemukan hanya ada satu halangan yang berupa pohon besar di tengah jalan. Kau pun hanya perlu menunduk sedikit untuk menghindari dahan yang melengkung ke bawah,” lanjutnya masih dengan tetap tertawa.

“Aku Khairi, kak Radha,” kata Khairi memperkenalkan diri. “Apakah biasanya halangan di jalan cukup banyak?” tanyanya lebih lanjut.

Khairi cukup penasaran, apakah pohon tadi, yang mengingatkannya pada pohon besar di kampus yang menghantam keningnya, merupakan ujian ketiganya.

“Aku tidak tahu ini ujian keberapamu, oh ketiga ya-” Radha melihat Khairi mengacungkan tiga jari, “Cukup cepat, terkadang seseorang diuji berkali-kali sampai dianggap layak atau bahkan gugur di tengah perjalanan.”

“Pohon tadi adalah ujian paling gampang yang pernah aku lihat. Aku pikir pohon itu akan bergerak memukul dengan dahannya atau akarnya akan membelit kaki, tapi ternyata tidak,” katanya lebih lanjut sambil menggelengkan kepala.

“Yang lain seperti apa ujiannya Kak Radha?” tanya Khairi, dia cukup penasaran.

“Beberapa waktu yang lalu ada gadis seumurmu, dia harus melawan sepasang Serigala Api Hitam dengan dua bilah pisau panjang,” jawabnya. Dia melihat wajah Khairi lalu menyambung, “Kau tidak terbayang itu makhluk apa dan seganas apa? Suatu saat kau pasti tahu.”

Radha lalu menggamit Khairi untuk mengikutinya. Sosoknya melangkah maju secara normal, tapi mendadak setengah sosoknya bagian depan hilang dari pandangan. Dia berbalik dalam keadaan terpotong dan tersenyum. Sepertinya dia menikmati wajah terkejut Khairi.

“Kaget?” katanya sambil tertawa lagi. “Tempat yang kita tuju dilindungi tabir cahaya yang menghalangi makhluk buas dan tamu tidak diundang. Kau tentu saja tamu yang diundang dan sudah memenuhi syarat untuk masuk,” lanjutnya sambil mengangguk dan mengindikasikan Khairi untuk mengikutinya.

Khairi melangkah perlahan. Dia berhenti tepat di depan tabir seharusnya berada, tempat potongan tubuh Radha masih terlihat. Bagian potongan tersebut tertutup oleh pendar cahaya warna-warni yang terus bergerak. Khairi mencoba mengulurkan tangannya ke depan. Tangannya terasa menyentuh sesuatu selembut gelembung sabun. Tanpa ada halangan tangannya dapat menembus gelembung yang tidak pecah tersebut dan hilang dari pandangan. Rasanya sulit dilukiskan, mungkin gabungan antara memasukkan tangan ke dalam air sekaligus langsung keluar dari air ke udara lagi.

Radha dengan sabar menanti Khairi. Dia hanya tersenyum dan mengangguk, memberikan dukungan bagi Khairi untuk terus lanjut.

Khairi melangkah laju kembali, kini wajahnya mulai melewati tabir tidak terlihat tersebut. Awalnya dia masih melihat hutan di hadapannya, tapi sepersekian detik kemudian, seiring dengan matanya melewati tabir, pemandangan itu berubah total. Dia kini berada di sebuah lembah, tak jauh di depannya terdapat pagar dari sejenis kayu yang tampak kokoh. Di tengah pagar tersebut ada sebuah gerbang besar yang dijaga oleh sepasang wanita. Pakaian mereka cukup mirip dengan Radha dengan aksen perbedaan yang tidak terlalu signifikan. Khairi menebak perbedaan tersebut mungkin karena pangkat atau jabatan.

“Mari lanjut,” kata Radha. “Ratu sudah menunggumu.”

Mereka berjalan mendekati gerbang. Khairi mendadak berhenti. Dia sudah cukup dekat untuk dapat melihat jelas wajah kedua wanita yang berjaga. Mereka mirip sekali dengan Radha. Terlalu mirip. Gadis itu menatap wanita yang membawanya ke sana.

“Mirip ya?” lagi-lagi wanita itu tertawa.

“Lebih ke sama, sih, bukan sekedar mirip,” kata Khairi dengan nada menuduh.

 “Kau akan menemukan semua orang di sini memiliki wajah yang sama,” papar Radha, “Alasannya akan aku biarkan kau temukan sendiri. Mari, kita masuk.”

Pintu gerbang di tengah pagar terbuka dan Khairi dengan patuh mengikuti wanita penjemputnya ke dalam. Dengan perlahan pintu menutup di belakang mereka.


*******


“Pak Mangun, ini kotak yang diminta,” seorang satpam yang datang sambil berlari menyerahkan sebuah kotak hitam berlapis beludru.

“Bagas dan Taufan, ikut aku. Bawa linggis,” Pak Mangun menerima kotak sambil mengangguk lalu memberikan perintah pada sekelompok satpam yang mengerumuninya

Dua orang bertubuh besar mengikuti Pak Mangun menuju ke belakang gedung terkunci itu. Di bagian belakang gedung ada gardu kecil. Pak Mangun membuka pintu dan masuk ke dalam sambil menyuruh mereka menunggu. Setelah menutup pintu Pak Mangun mengeluarkan kotak tadi. Dari dalam kotak dia mengeluarkan sebuah dompet lalu membukanya. Terlihat sebuah lempengan logam ada di sana, secara keseluruhan lempengan dan dompet itu mirip dengan dompet hitam yang dikeluarkan Pak Soleh di gerbang depan. Hanya saja ukuran dompet lebih kecil dan juga warna serta jenis logam yang digunakan untuk membuat lempeng tersebut jauh berbeda.

Pak Mangun melihat ke sekeliling. Di sebelah kanan tempatnya berdiri ada panel dengan puluhan lampu kecil tersusun rapi dengan kertas kecil berisi kode yang dilekatkan di bawah masing-masing lampu. Saat ini tidak satupun lampu tersebut menyala. Mungkin ini adalah panel pemantauan listrik gedung tersebut. Wajah pria tua itu mengernyit, tampaknya bukan hanya Kieran yang kesal dengan kondisi saat itu.

Di seberang panel tersebut ada lemari terkunci, sebuah meja dan kursi diletakkan di hadapannya. Pak Mangun menyingkirkan kedua benda itu lalu membuka dompet hitam berisi lempengan. Dia membungkuk lalu menempelkan lempengan itu di pojok yang tadinya tertutup meja. Bunyi klik yang terdengar jelas dan lemari tersebut membuka. Tidak seperti yang diperkirakan, di dalam lemari ada lubang sebesar manusia dewasa. Ujung dari sebuah tangga besi yang ditanam ke dinding terlihat mencuat ke atas. Sepertinya ini adalah jalan masuk atau malah jalan pelarian yang disiapkan jika gedung dikepung musuh.

Pak Mangun menyimpan kembali dompet dalam kotak lalu memasukkannya ke dalam kantong. Dia lalu menuju pintu, membukanya lalu menjulurkan kepala ke luar.

“Masuk,” panggilnya, “Ingat, yang kalian akan lihat tidak boleh diceritakan kepada siapapun. Kalian terikat sumpah sejak mulai mengabdi pada keluarga Wirabuana. Kalian tahu persis apa yang akan terjadi jika melanggar sumpah.”

Kedua pria bertubuh besar itu mengangguk. Salah satunya terlihat menggigil sejenak, tampaknya dia memang tahu persis apa yang akan terjadi jika sumpahnya dilanggar.


*******


“Masuklah, Ratu ada di dalam,” Radha berhenti di depan undak-undakan pendek di depan sebuah aula. 

Semua pintu aula dalam keadaan terbuka sehingga Khairi dapat melihat ke dalam. Aula itu cukup luas, dengan sebuah panggung di bagian tengah belakang. Di atas panggung ada semacam singgasana. Dari kejauhan terlihat seorang wanita dengan pakaian serupa dengan Radha sedang duduk di atasnya. Di kepalanya tampak tersampir sebuah tiara sederhana yang dihiasi batu mulia. Satu hal yang belum dipastikan apakah sang Ratu juga memiliki wajah sama seperti Radha. Selain masih cukup jauh, sang Ratu juga sedang menunduk membaca buku besar di pangkuannya.

Khairi melangkah perlahan memasuki aula. Aroma wangi menerpa cuping hidungnya. Wangi tersebut berbeda dengan parfum dan pewangi modern hasil pabrik. Khairi pernah mencium sesuatu yang mirip, tapi yang diciumnya ini memiliki kedalaman yang tidak dapat dibandingkan.

Tak terasa Khairi sudah tiba di depan sang Ratu. Gadis itu berdiri dengan diam. Dia tidak yakin harus bertindak apa. Yang pasti dia tidak akan menyembah, karena bertentangan dengan pendidikan agama dan norma yang diterimanya dari kecil. Gadis itu sedikit menyesal tadi tidak bertanya pada Radha apa yang harus dia lakukan. Akhirnya dia memutuskan untuk menunggu, bagaimanapun dia bisa santai menanti sambil menghirup wangi yang sangat menyenangkan.

“Kami menyebutnya attar,” tiba-tiba sang Ratu mengangkat kepalanya dan berbicara pada Khairi.

“Eh,” Khairi yang terkejut hanya bisa menatap sang Ratu. Persis sama dengan Radha, baik wajah maupun cara bicaranya.

Lihat selengkapnya