Khairi berjalan mendekati pohon besar di tengah lapangan itu. Seperti biasa biarpun ada satu atau dua orang melintas di lapangan tidak satupun memilih untuk berjalan di dekat pohon tersebut. Tindakan Khairi yang mulai mendekati pohon mulai menarik perhatian, satu dua orang mulai menengokkan kepala ke arahnya. Gadis itu sadar akan hal tersebut. Dia kemudian mengambil ponsel dari kantong dan berpura-pura sedang menerima telepon. Pengalih perhatiannya berhasil, orang jadi tidak memperhatikannya. Mungkin karena semua orang pernah mengalami hal tersebut, saat menerima telepon perhatian kita tersita dengan pembicaraan dan terkadang kita mencari tempat agar privasi pembicaraan lebih terlindungi. Pohon besar di tengah lapangan cukup ideal untuk kebutuhan itu.
Sambil mengatur pernapasannya Khairi semakin mendekat. Tidak ada sosok seperti Divit yang tiba-tiba tampak, tapi Khairi mulai dapat merasakan sesuatu. Aliran udara seperti yang dia lihat sebelumnya kini terasa mengandung sesuatu yang sulit digambarkan. Terasa ada pergerakan seperti sebuah siklus, tepatnya bukan udara yang bergerak tapi sejenis energi seakan menunggangi udara. Hal itu terlihat jelas pada pohon besar di hadapan Khairi. Gadis itu memalingkan wajah, dari jauh dia dapat melihat aliran yang sama berputar berpusat pada individu di sekitarnya. Ayana, Divit, bahkan orang-orang yang berjalan di kejauhan memiliki semacam arus yang bergerak pelan mengelilingi mereka. Diameter arus di sekitar Divit tidak terlalu besar, karena itu Khairi baru menemukannya setelah beberapa saat. Diameter arus di sekitar Ayana lebih kecil dari Divit, arusnya pun lebih lemah, tapi tetap jauh lebih kuat dibandingkan orang-orang yang berjalan di kejauhan. Terkadang aliran di sekitar mereka begitu lemahnya sampai hanya berjarak satu dua senti dari tubuh. Yang berbeda dengan aliran di sekitar Ayana adalah munculnya semacam letupan-letupan periodik dari siklus udara tadi, seakan di dalam gadis itu terpendam kekuatan yang belum terasah yang sesekali meletus dan memancar keluar.
“Memang keturunan Suryanegara, Ayana pasti suatu saat akan bertemu ke tempat Radha,” batin Khairi.
Khairi meneruskan mempelajari siklus tersebut. Dia mencoba melihat apakah dirinya memiliki siklus itu juga, ternyata ada, dan bahkan sulit sekali melihat milik sendiri. Tapi begitu dia mampu mendeteksi siklusnya sendiri dia menemukan sesuatu yang lain. Ada sesuatu yang khas di sana, sesuatu yang jika kita lakukan deteksi dengan indra penciuman seperti aroma yang tajam yang hanya dia miliki, berbeda dengan yang lain. Saat Khairi mencoba mendeteksi siklus pohon di hadapannya, terpancar juga aroma khas yang berbeda. Khairi menguras ingatannya, sepertinya ada sesuatu yang pernah dia baca di buku Nol yang sedang diterjemahkan mengenai hal ini.
“Aura,” batin Khairi. Dia tidak hafal penjelasannya, nanti malam dia harus membuka catatannya dan mempelajari lebih dalam. Tapi Khairi cukup yakin inilah yang dimaksud dalam buku itu.
Khairi menutup mata dan mencoba menelusuri aura milik pohon besar di hadapannya. Entah bagaimana dengan menutup mata dia justru merasakan aura yang ada di sekitarnya dengan jelas. Khairi ingat mengenai usulan yang pernah dia baca, yaitu sedikit membuka mata untuk menggabungkan penglihatan normal dan penglihatan secara persepsi. Tidak berhasil. Mungkin itu berlaku bagi yang mata ketiganya belum terbuka, Khairi justru harus berusaha meningkatkan pemahaman dan penggunaan mata ketiganya. Gadis itu menutup kembali matanya dan mulai menelusuri. Tak terasa tangannya dijulurkan ke depan, menyentuh cabang pohon yang menjulur ke bawah, tepat di lokasi yang membentur keningnya. Mulai terasa jelas, Khairi kini dapat mengikuti aliran balik aura pohon itu dengan persepsinya. Dari cabang pohon ke batang, dari batang ke akar yang tertanam di bawah tanah. Aura itu memiliki pusat di dalam tanah, tidak terlalu jauh dari permukaan. Tampaknya ada semacam batu permata berbentuk bulat lonjong yang menjadi sumber aura pohon itu dan bersemayam di bagian akar pohon.
“Kamu hebat juga. Belum lama sejak kamu menabrakku dengan tungganganmu, sekarang kamu sudah bisa menelusuri auraku,” tiba-tiba terdengar suara di telinga Khairi.
Khairi yang terkejut langsung membuka mata dan menurunkan tangannya. Dia hampir terbatuk karena saat itu sedang menarik napas panjang, mengisi paru-parunya sesuai sistem pernapasan yang dilatihnya.
Sebuah sosok wanita berjubah hitam muncul di hadapannya. Aura pohon itu terlihat mengalir melalui tubuhnya, memancar ke luar. Secara perlahan Khairi melepas pernapasan yang sedang dia lakukan. Aura yang berseliweran di sekitarnya mulai pudar dan akhirnya hilang. Sosok wanita itu kini tidak mudah dilihat, seakan menyatu dengan pohon yang ada di belakangnya. Hanya wajah dan tangan wanita itu yang nampak cukup jelas. Kulit wajah dan tangannya pucat, walaupun tidak sepucat Divit. Di keningnya tertanam batu permata dengan bentuk yang sama dengan yang dilihat Khairi dalam penelusurannya, yang ada di bawah akar. Batu itu berwarna kuning kecoklatan, dengan pola gradasi datar sehingga menampilkan bentuk bulat lonjong berwarna hitam di tengah. Jika dilihat sekilas, batu itu seakan berbentuk seperti mata.
“Mirip dengan mata, bukan?” kata sosok wanita itu lagi. Sepertinya dia sadar Khairi sedang memperhatikan batu permata di keningnya.
“Maaf, aku sudah tidak sopan,” kata Khairi.
Dia baru sadar bahwa tindakannya memang tidak sopan. Paling tidak dia harusnya menyapa. Mungkin dalam kondisi ini orang lain akan panik dan berlari. Khairi harus berterima kasih pada sukma pendekar wanita yang ditemuinya di hutan bersama Radha. Sejak peristiwa itu dia tidak mudah takut, walaupun sekali-sekali masih bisa terkejut juga.
“Namaku Khairi,” katanya memperkenalkan diri. “Aku minta maaf juga telah menabrak cabangmu waktu itu. Aku berusaha menghindari wanita yang menyeberang dengan sembarangan,” lanjutnya.
“Bukan salahmu. Aku lihat dia mau mengejar tikus pengganggu, niatnya baik tapi caranya salah,” papar wanita itu.
“Tikus?” Khairi bertanya. Entah kenapa dia merasakan nada yang sama dengan waktu Nol menyebut Pak Mangun dan kedua satpam yang mengiringinya.
“Tikus pengganggu dari kalangan kegelapan. Sudah lama ada di sini,” jawab sosok itu. “Tapi dia tidak berani terlalu dekat denganku ataupun dengan yang kau sentuh pundaknya hari itu,” tambahnya.
Jantung Khairi berdegup keras. Dia tahu persis siapa yang dimaksud. Berarti paling tidak sudah ada tiga makhluk yang harus diwaspadai di lingkungan kampus, empat jika menghitung Divit.
“Tapi kau berani ya. Dia itu bahkan lebih tua dari aku. Tua sekali,” kata sosok wanita itu.
Degup jantung Khairi terasa semakin kuat. Tanpa dia sadari dia telah melakukan tindakan yang sangat berbahaya. Sosok hitam dengan intan di kening itu belum tentu bersedia berinteraksi seperti sosok di hadapannya. Apapun bisa terjadi, apalagi waktu itu dia sama sekali tidak memiliki cara bertahan apapun.
“Khai,” pada saat itu terdengar teriakan dari belakang. Ayana.
Khairi langsung paham, dari tadi dia sudah menurunkan ponsel dari telinganya, dan kini pasti sudah ada orang yang mulai melihatnya dengan pandangan menduga-duga. Khairi kembali mengangkat ponsel dan pura-pura sedang melakukan selfie. Ternyata tindakannya berhasil. Orang-orang yang memperhatikannya mulai mengalihkan pandangan. Di zaman ini, orang berdiri terdiam di sebelah pohon besar dianggap aneh. Tapi jika orang itu memegang ponsel seakan mau selfie atau melakukan live streaming akan dianggap wajar-wajar saja.
“Maaf lagi, aku begini supaya orang lewat tidak merasa aneh,” jelasnya. “Bolehkah aku tahu namamu?” tanya Khairi.
“Aku sudah sering melihat tindakan seperti yang kau lakukan. Aku tidak mengerti, dan tidak perlu mengerti. Aku sudah melihat perkembangan kalian bertahun-tahun, aku sudah tidak pernah merasa heran lagi,” dia berkata. Ada kejenakaan yang terkandung dalam nada bicaranya. “Kau boleh panggil aku Satu, tentunya jika kau selanjutnya akan menggunakanku sebagai gerbang. Atau Dua, atau Tiga, jika kau memutuskan menggunakan yang lain sebagai gerbang terlebih dahulu,” lanjutnya.
“Apakah kau bisa jadi Nol untuk temanku yang di sana?” tanya Khairi bersemangat. Kini dia mulai paham aturan dunia itu.
“Teman wanita atau laki-laki? Teman wanitamu, tidak. Bakatnya cukup bagus, tapi saat ini aku masih terlalu muda, tidak cukup kuat untuk jadi yang pertama membuka jalan baginya. Mungkin yang kau sentuh pundaknya bisa, dia sudah tua sekali. Tapi aku tidak yakin dia mau, semakin tua pastinya semakin pemilih,” jawabnya.
“Yang laki-laki bisa? Tapi kan dia sudah meninggal?” tanya Khairi lagi.
“Entah kenapa dia tidak langsung menyeberang saat meninggal. Mungkin ada takdirnya yang belum terpenuhi. Jika sudah, dia bisa mencari cara untuk menyeberang. Aku tidak bisa menjanjikan, tapi bawalah dia menemuiku saat takdirnya sudah terpenuhi. Aku akan jadi Nol dan satu-satunya gerbang untuknya. Setelah dia melewati, dia tidak akan pernah bisa kembali lagi ke sini. Bagaimanapun tubuhnya sudah lama terputus dari sukmanya. Tidak ada suar untuk kembali,” paparnya.
Khairi mengangguk, bagaimanapun Divit sudah meninggal. Biarpun mereka bisa mencoba membantunya untuk bertemu kembali dengan Daffa, tapi seharusnya dia memang sudah tidak menjadi bagian dari dunia ini.
“Jadi bagaimana? Kau mau masuk ke dunia itu lagi?” tanya sosok wanita itu.
“Belum saatnya, aku masih harus menemukan jalanku. Selama di sana aku sadar bahwa aku berbeda. Aku juga bukan dari keluarga-keluarga besar itu. Aku yakin bisa menemukan jalanku sendiri, cara memahami dan menggunakan bakatku yang belum tentu sama dengan yang lain,” kata Khairi perlahan-lahan, seakan sambil mencoba memahami kata-kata yang keluar dari mulutnya sendiri.
“Aku setuju. Aku juga semakin ingin menjadi Satu untukmu. Ambillah ini,” dia berkata sambil menjulurkan tangannya ke depan.
Sosok wanita itu membuka tangannya. Sebuah batu permata berwarna coklat muncul dan melayang mendekati Khairi. Dia mengambil dengan dua jari lalu meletakkannya di telapak tangan. Permata itu mirip sekali dengan yang ada di kening sosok wanita tadi.
“Terima kasih,” kata Khairi sambil menggenggam permata itu. Dia langsung menyimpan permata itu dalam tempat penyimpanan rahasianya.
“Kau akan tahu sendiri nanti fungsinya. Itu sogokan dariku supaya kau mau menjadikanku Satu,” katanya sambil tersenyum. “Yang pasti permata itu berhubungan dengan bakatmu. Seperti yang kukatakan di awal, kau sangat cepat berkembang, salah satunya karena benturan denganku. Bakatmu berhubungan dengan mata ketiga, begitu juga batu Tiger’s Eye yang menjadi akarku berhubungan dengan persepsi. Bisa dikatakan kita memang berjodoh,” jelasnya lebih lanjut.
“Aku juga punya sesuatu untukmu,” kata Khairi. Dia mengeluarkan botol berisi Attar lalu membukanya.
“Attar?” wanita itu menyebut dengan gembira. “Mau, jangan banyak-banyak, 3 tetes saja sudah banyak sekali untukku,” katanya.
Wanita itu mengeluarkan sebuah cawan kayu yang berkilat seakan dipelitur. Khairi meneteskan Attar sesuai permintaannya. Secara aneh ketiga tetes itu bergerak memisah dan menempel pada bagian yang berbeda di cawan kayu. Wanita itu tersenyum dan menyimpan cawan itu.
“Terima kasih, Khairi,” katanya. “Aku akan menunggumu benar-benar memanggilku Satu,” lanjutnya sambil pelan-pelan semakin samar dan akhirnya menghilang dari pandangan.
“Sekarangpun aku sudah akan memanggilmu Kak Satu,” jawab Khairi sebelum sosok itu benar-benar hilang. Entah kenapa dia tahu bahwa inilah gerbang Satu yang tepat baginya.
Khairi tersenyum dan menyimpan kembali botol berisi Attar tersebut. Dia senang karena sekarang dia punya sesuatu untuk menyalakan terima kasih. Saat bertemu Nol kembali dia tidak ingat untuk menawarkannya, mungkin saat nanti mereka bertemu kembali. Untuk saat ini, sudah saatnya dia kembali pada Ayana dan Divit.
*******
“Halo,” kata Khairi sambil tersenyum. Terlihat sekali dia sedang senang.