“Daffa tutup mata ya,” ujar Khairi.
Daffa mengerjap-ngerjapkan matanya, sepertinya dia belum sepenuhnya sadar.
“Tunggu, tunggu,” katanya. “Aku mau diapakan. Yang barusan lumayan sakit lho,” lanjutnya sambil mundur satu langkah.
“Terkadang dua kali benturan di kepala bisa berhasil bahkan untuk yang tidak punya bakat,” terdengar suara dengan nada serius dari arah akar pohon besar itu.
Kali ini Khairi memutuskan untuk mengabaikan Satu. Bagaimanapun dia tadi sudah memberitahukan cara yang tidak beresiko.
“Aku cuma akan meneteskan cairan ini, sejenis minyak angin, di keningmu,” kata Khairi. Kali ini dia memutuskan untuk sedikit membelokkan kebenaran. Cerita yang sesungguhnya terlalu fantastis dan terlalu lama untuk diceritakan.
“Oh kalau itu boleh,” kata Daffa. Suaranya terdengar lega.
Dia pun menutup matanya dan sedikit menengadahkan kepala, menanti Khairi memberikan minyak angin itu pada keningnya.
“Kepalanya lurus aja, Daffa,” kata Ayana dengan nada kesal. “Kalau begitu malah susah,” tambahnya.
“Oh ya ya,” kata Daffa. Kepalanya diluruskan kembali.
Khairi dengan hati-hati meneteskan Attar di ujung jari lalu menempelkannya di kening teman kuliahnya itu sambil melakukan ritual pernapasannya. Terasa seperti ada aliran listrik mengalir dari ujung jari Khairi ke kening Daffa. Pria muda itu pun sepertinya terkejut, napasnya seperti tersentak.
“Kamu memang berbakat,” terdengar suara Satu. “Aku pikir kamu hanya akan meneteskan saja, yang pastinya tidak akan berhasil,” lanjutnya.
“Khai, itu suara siapa,” kata Daffa.
Dia membuka matanya dan menatap ke depan, ke arah sumber suara. Untunglah Satu tidak menampakkan diri lagi, akan menjadi kejutan yang lebih besar untuk Daffa jika melihatnya. Mungkin dia akan langsung berlari pergi dari tempat itu.
“Daffa, lihat ke kanan,” kata Khairi.
Daffa menuruti perkataan tersebut. Terlihat sosok Divit yang pucat masih dengan pakaian yang sama dengan saat dia meninggal.
“Aa,” kata-kata itu meluncur dari mulutnya. Sepertinya di keluarga Divit biasa mempergunakan bahasa Sunda di rumah. “Beneran ini Aa Divit?”
Divit tampak tersenyum. Dia mengangguk sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Kedua kakak adik itu saling menatap tanpa bicara. Mata Daffa menjadi berkaca-kaca.
Khairi menarik tangan Ayana, meninggalkan mereka. Di saat seperti ini sebaiknya mereka diberikan privasi.
*******
“Kak Divit, boleh tidak bercerita apa yang terjadi saat itu?” tanya Khairi.
Sekitar lima belas menit sudah berlalu, dan saat ini mereka sudah berpindah ke gazebo tempat Khairi dibawa saat dia pingsan setelah menyentuh pundak bayangan hitam. Mereka sengaja berpindah agar tidak menarik perhatian orang-orang, terutama Pak Satpam yang tadi mendatangi mereka.
“Kejadiannya cepat sekali waktu itu,” kata Divit. “Aku malah tidak sedang ngebut, tidak seperti kejadian beberapa waktu sebelumnya,” ungkapnya.
“Kejadian apa sebelumnya, Kak?” tanya Khairi. Mendadak bulu kuduknya merinding, entah kenapa firasatnya terpicu.
“Tempatnya di sini juga, aku lagi agak ngebut memang. Dari cerita orang-orang ada mahasiswi mendadak lari menyeberang. Ada motor, mahasiswi sini juga, skuter warna silver kalau nggak salah, berusaha menghindari menabrak yang menyeberang itu. Nyaris aku tabrak, untung aku sempat menghindar,” paparnya.
“Terus apa yang terjadi dengan mahasiswi itu?” tanya Ayana.
“Yang menyeberang? Entah, langsung lari pergi katanya, orang-orang cuma bilang dia pakai baju hitam. Kalau yang naik skuter itu kepalanya menabrak dahan pohon besarnya Daffa, untung pakai helm. Aku yakin penunggunya juga tertawa-tawa kayak tadi,” kata Divit sambil melempar pandangan ke arah pohon tempat Satu berada.
Ketiga orang yang lain saling berpandang-pandangan dalam keadaan diam.
“Lho kok diam?” tanya Divit. “Eh, ya, kalau nggak salah korbannya itu anak Sastra, mungkin kalian kenal,” lanjutnya.
“Itu aku, Kak Divit,” kata Khairi dengan agak sebal. Ternyata pengemudi motor yang ngebut dan berusaha menyusul dari kirinya waktu itu adalah Divit.
“Eh, kamu ya. Maaf ya, Khairi. Wah, untung kita masih ketemu ya, jadi aku bisa minta maaf. Waktu itu aku lagi buru-buru, tugasku ada yang belum beres, makanya agak ngebut dan berusaha menyusul dari kiri,” kata Divit dengan sungguh-sungguh. “Eh apa aku belum menyeberang karena harus minta maaf ya. Mungkin sekarang aku bisa menyeberang,” lanjutnya sambil menutup mata dan berdiri. Tangannya direntangkan ke samping.
Setelah beberapa saat menunggu, ternyata tidak ada yang terjadi. Divit menggelengkan kepala lalu kembali duduk bersila di atas bangku batu.
“Maafnya diterima, Kak,” kata Khairi, “Lalu apa yang terjadi pada hari itu?”
“Hmm, mungkin karma ya. Kali ini aku yang ada di posisi Khairi. Ada gadis berbaju hitam juga mendadak menyeberang. Aku juga berusaha menghindar. Hanya saja bukan motor yang ada di sebelah kiriku, tapi ada mahasiswi sedang berjalan di trotoar, aku sudah lihat dari jauh, orangnya cantik,” papar Divit.
“Menurut cerita orang-orang sekitar, Aa jatuh ke selokan dan terbentur dengan keras. Helmnya terlepas,” kata Daffa dengan nada sedih.
“Iya, aku langsung banting arah, menabrak trotoar dan terlempar. Helm itu talinya sudah putus, sudah longgar juga. Memang sudah saatnya aku beli yang baru, tapi ditunda terus,” Divit menatap ke kejauhan. Pancaran matanya mengandung seribu arti. Tidak hanya penyesalan bahwa jika dia menyempatkan diri mengganti helmnya mungkin saat ini dia masih baik-baik saja, tapi juga bahwa dia telah membuat sedih banyak orang. Terutama orang tua yang telah membesarkan dengan kasih sayang dan belum sempat dia balas jasanya.
“Mahasiswi cantik yang Kak Divit sebut tadi, apa pernah melihat sebelum atau setelahnya,” tanya Khairi. Lagi-lagi firasatnya terpicu.
Divit kali ini merespon lebih lama, mungkin dia sedang melamun juga.
“Ya, setelahnya kan ada satu kasus lagi. Cuma kali ini tidak ada korban. Motornya meluncur jauh dari mana-mana jadi cuma luka-luka sedikit. Mahasiswi itu lagi jalan tidak jauh dari pohon dan hampir terserempet motor, untung ada yang berteriak dan dia menghindar,” jawab Divit panjang lebar.
“Syifa,” kata Khairi dan Ayana hampir berbarengan.
“Ini bukan orangnya?” Ayana mengeluarkan ponsel dan menunjukkan foto bersama Syifa sewaktu pesta pertunangan.
“Iya, benar, temanmu yang pakai gaun hijau itu,” jawab Divit sambil menunjuk ke layar ponsel Ayana, “Aku berusaha lompat menahan motor, tapi tembus begitu saja.”
“Ay, kontak Syifa lagi nanti ya, tanya apa sudah bisa dapat foto Yalini,” kata Khairi, “Aku benar-benar penasaran dia atau bukan.”
“Ok, tapi menurutmu Syifa target sebenarnya, dan Yalini ini yang entah kenapa berusaha mencelakakan dia?” tanya Ayana.