“Jadi, apakah di bagianmu ada yang menarik?” tanya Khairi sambil membuka notebook.
Mereka baru selesai makan siang dan kembali ke kelas tempat kuliah sebelumnya yang kebetulan akan kosong sampai sore. Lokasi kelas itu di gedung baru yang menyatu dengan ruangan para Dosen tempat mereka bertemu Pak Agni. Hari itu adalah hari Rabu, sore itu mereka dijadwalkan akan mendatangi rumah milik Keluarga Wirabuana untuk melaporkan perkembangan proyek penerjemahan mereka.
“Ingat kata yang waktu itu aku pilih?” tanya Ayana. Dia menunjuk sebuah aksara Sanskerta.
रेषित
“Ya, kalau aku tidak salah ingat, artinya resilience atau ketahanan. Pokoknya kau banget,” kata Khairi sambil tersenyum.
“Ternyata kurang tepat,” kata Ayana. “Pada waktu sampai ke bagian itu aku bingung karena terjemahannya agak nggak nyambung. Akhirnya aku coba cari lebih dalam, sampai nanya ke ChatGPT dan DeepSeek,” tegasnya.
“Rajin,” puji Khairi sambil berpindah ke sebelah Ayana dan membaca ulasan yang dibuatnya di layar notebook.
“Bukan rajin, tapi penasaran,” elak Ayana. Dia memang selalu menghindar kalau dipuji, walaupun yang memuji sahabat baiknya. “Intinya sih, artinya lebih ke ‘terluka’ atau ‘telah dilukai’. Ada metode pernapasan juga, mirip dengan yang waktu itu kau debatkan dengan Tuan Risoles. Yang membuatku mencari lebih jauh adalah karena penjelasan mengenai efeknya tidak tepat kalau mengenai resiliensi. Kalau resiliensi kan efeknya misalnya dengan metode pernapasan itu kau jadi kebal atau lebih tahan pukul misalnya. Ini beda,” Ayana memaparkan lebih lanjut.
“Jadi fungsi pernapasannya untuk apa?” tanya Khairi sedikit bingung. Dia mencoba mencari kesimpulan yang dibuat Ayana tapi tidak menemukannya.
“Aku masih belum sepenuhnya yakin, makanya belum aku tulis,” jawab Ayana. “Dugaanku ini untuk healing, penyembuhan fisik,” katanya sambil mengangguk dengan kuat.
Khairi terdiam. Dia membaca ulang penjelasan Ayana. Lalu dia mengakses materi aslinya dan mencoba menerjemahkan sendiri. Ayana dengan sabar menanti temannya itu menelaah hal tersebut.
“Sepertinya kau benar,” kata Khairi, “Kesimpulanku sama, ini bukan ketahanan atau resiliensi, ini lebih ke menyembuhkan luka fisik.”
“Bagaimana meyakinkannya ya,” kata Ayana sambil merenung. “Maksudku, aku yakin Tuan Es Batu akan seperti kemarin. Kau bisa tetap sabar dan berdebat, aku mana bisa. Apa begitu dia protes aku pukul aja ya, terus kita kabur,” usulnya dengan serius.
Khairi tertawa kecil sambil menggandeng temannya itu.
“Jangan, kasihan Pak Agni nanti,” kata Khairi, “Begini saja, tiap dia mau marah kau ambil satu risoles ke piringmu.”
“Boleh, nanti aku coba,” Ayana menatap dengan ganas.
“Mau coba sesuatu nggak?” tanya Khairi setelah diam beberapa saat. “One Draw Tarot, untuk meyakinkan arti terjemahan ini. Aku nggak yakin ini penggunaan yang tepat, tapi layak dicoba,” ujarnya.
“Boleh,” Ayana mengangguk.
“Aku cek dulu,” kata Khairi sambil berdiri dan berjalan cepat ke luar kelas.
Dia menengok ke kiri dan ke kanan, kosong, aman. Khairi kembali masuk dan mengambil posisi duduk membelakangi kamera CCTV yang dipasang di kelas. Semua kelas dan lorong di gedung baru telah dilengkapi oleh perangkat ini dan dipantau secara terpusat oleh keamanan kampus. Di beberapa lokasi luar ruangan juga perangkat serupa dipasang untuk menjamin keamanan lingkungan kampus.
Khairi mengatur napas sesuai metode yang kini sudah cukup dikuasainya. Hanya dalam beberapa detik dia sudah dapat mengakses kartu tanpa wujud fisik yang diberikan Nol. Dia mengambil satu buah secara acak dan mengeluarkannya. Kartu tersebut muncul di tangan Khairi dalam keadaan tertutup. Sambil tersenyum pada Ayana yang matanya berubah berbinar-binar seperti sedang menonton pertunjukan sulap, Khairi membalikkan kartu tersebut.
Tampak gambar seorang wanita dengan satu kaki masuk ke sebuah kolam atau danau dan sebelah kaki di luar. Di masing-masing tangannya ada semacam tempat air. Wanita itu menuangkan isi kedua tempat air itu, satu ke kolam dan satu ke tanah. Terdapat tujuh buah bintang kecil dan satu buah bintang besar sebagai latar belakang gambar ini. Angka romawi XVII tertulis di bagian atas, seperti juga kartu Major Arcana lainnya. Nama kartu tertulis di bawah. The Star. Sang Bintang.
“The Star, posisi tegak atau Upright,” kata Khairi memulai penjelasannya dengan tetap mempertahankan pernapasannya.
Dia sudah mencoba melatih ini sebelumnya di rumah. Kali ini untuk pertama kalinya dia ingin mencoba di hadapan orang lain. Mata Ayana terbelalak, sahabatnya itu seakan berubah. Sosok di hadapannya seperti bukan Khairi, gadis biasa yang lembut dan serius yang dikenalnya. Sosok lain seakan mengambil alih, Khairi Peramal yang berkarisma namun misterius, dengan suara berwibawa yang menembus sukma.
“Khai,” kata Ayana dengan bersemangat. “Auramu seperti memancar keluar. Sebentar, aku ingat ada istilahnya. Perbawa. Itu dia,” lanjutnya.
Khairi hanya tersenyum. Dia senang dengan tanggapan Ayana, memang itulah reaksi yang dia bayangkan. Sahabatnya itu selalu meletup-letup semangatnya.
“Kartu ini dapat melambangkan beberapa makna, harapan, inspirasi, kepercayaan, pembaharuan dan-” Khairi sengaja berhenti sejenak, ”healing atau penyembuhan. Walaupun arti Tarot tidak selalu nyata terlihat, kali ini makna yang kita cari cukup jelas. Sesuai hasil analisis yang kau lakukan, metode pernapasan itu memang untuk penyembuhan.”
“Aku senang kau terlihat sangat percaya diri pada waktu meramal, Khai. Wah, kayaknya liburan semester nanti kita buka tempat ramal yuk,” kata Ayana sambil tertawa kecil.
Khairi ikut tertawa. Dia melepaskan metode pernapasan yang dia lakukan. Auranya pelan-pelan memudar dan kembali ke normal. Kartu The Star pun menghilang, kembali ke tempat penyimpanan.
“Secara jujur, Ay, ramalan seperti Tarot bisa saja digunakan untuk menyenangkan pelanggan. Tepat seperti ekspektasi Ananda waktu itu. Terkadang juga peramal sengaja penjelasannya agak mengawang, supaya tidak dicap salah ramal,” kata Khairi. Dia menarik napas panjang lalu melanjutkan, “Dengan berbagai arti kartu memang mudah sekali salah menjelaskan. Bahkan peramal berpengalaman punya hari-hari di mana firasatnya sedang kacau dan hasil ramalannya jauh sekali dari harapan. Aku cukup beruntung, berbagai kejadian yang luar biasa yang aku alami semuanya mendukung pengembangan diriku di bidang ini. Aku tidak tahu apakah ramalanku akan selalu tepat, tapi untuk saat ini ada hal-hal yang aku langsung yakin tidak akan salah, ini contohnya.”
“Hai, lama nggak ketemu,” terdengar suara riang dari pintu.
Khairi dan Ayana memalingkan kepala. Seorang mahasiswi cantik berambut panjang masuk dan langsung berjalan mendatangi mereka.
“Khairi,” kata Syifa sambil tersenyum lebar dan memeluk Khairi yang berdiri dan maju menyambutnya. Setelah itu dia melakukan hal serupa pada Ayana.
Khairi dan Ayana sudah mulai terbiasa dengan love language Syifa. Setiap kali bertemu pastilah dia akan memeluk mereka. Walaupun mungkin saja tidak ke semua orang, bagaimanapun Ayana masih terhitung sepupunya dan Khairi adalah penyelamatnya. Mereka juga tahu itu tidak dibuat-buat, gadis itu memang masih terbilang polos dan terus terang. Semakin mereka mengenalnya semakin yakin juga mereka untuk mencari cara agar Syifa tidak menikahi Ananda. Sebaliknya, semakin mengenal Ananda mereka semakin yakin bahwa makhluk sombong itu harus dihindari.
“Baru kembali dari luar kota?” Ayana bertanya pada Syifa.
“Iya, acara pertunangan resminya kan akan dilakukan di perkebunan milik nenekku. Waktu nenek masih ada, aku sering diajak Bapak ke sana. Tapi setelah nenek meninggal, walaupun masih beroperasi normal banyak bangunan yang terbengkalai, jadi kemarin sekalian kita renovasi,” paparnya.
”Kau gimana?” tanya Khairi.
Syifa tersenyum kecil. Dia tahu arah pertanyaan Khairi.
“Aku-” jawabannya tersendat, ”masih berharap pagi-pagi aku bangun dan ada yang bilang, pertunangannya batal. Aku masih punya kesempatan untuk mencari orang yang benar-benar pilihanku, bukan karena dua keluarga butuh pengikat.”
“Dan kalaupun harus begitu, jangan sama Ananda,” sambar Ayana dengan nada sebal.
“Eh, ada apa dengan Ananda,” tanya Syifa penasaran.
Khairi dan Ayana saling menatap lalu tertawa. Mereka secara bergantian mereka menceritakan kejadian-kejadian yang mereka alami, mulai dari bertemu dengan Ananda di rumah keluarga Wirabuana sampai kejadian setelah meramal. Mereka sengaja menghindari cerita mengenai Nol dan Satu, tapi mereka menceritakan mengenai kecelakaan-kecelakaan yang terjadi dan Divit.
Syifa terperangah. Gadis itu sama sekali tidak membayangkan bahwa hal seperti itu dapat terjadi.
“Nggak bercanda kan?” kata gadis itu akhirnya.