Terawang

Catalysh
Chapter #18

Sidang Agung

“Khairi, kenalkan ini Amala dan Kendra,” kata Ibu Medha.

Setelah selesai berbicara dengan Ibu Medha, Khairi mengantarnya kembali ke teras gedung tempat orang-orang yang lain berada. Dalam perjalanan ke sana mereka melewati dua gadis muda yang sedang turun dari sebuah mobil yang baru datang. Melihat Ibu Medha mereka langsung datang menyongsong.

Khairi menyalami mereka sambil tersenyum. Kedua gadis itu terlihat beberapa tahun lebih tua darinya. Mereka seakan berasal dari penghujung dunia yang berbeda. Lekuk wajah Amala yang tampak dari balik kerudungnya yang berwarna krem menunjukkan dia memiliki darah Timur Tengah. Dia tampil necis dengan baju berwarna teal, biru kehijauan. Sedangkan Kendra yang berambut pendek dengan anting bulat besarnya itu wajahnya menunjukkan garis darah Kaukasia. Dia juga tampil rapi dengan baju kerja berwarna burgundy, merah anggur. Kedua gadis itu menyambutnya dengan sopan, hanya saja sekilas mereka bukan orang yang mudah mengobrol dengan orang baru.

“Khairi, Amala dan Kendra sedang mempersiapkan kunjungan ketiga mereka,” kata Ibu Medha. “Setelah melewati kunjungan kedua ada banyak tugas yang harus dipenuhi, jadi mereka akhir-akhir ini sibuk sekali. Amala dari Kusumawardana sedangkan Kendra dari Ratnawara,” lanjutnya.

“Sudah berapa kali ke sana? Kamu dari Keluarga apa Khairi, sepertinya aku belum pernah bertemu denganmu,” tanya Amala. Suaranya lembut sekali, agak mirip dengan Syifa.

“Baru sekali. Bukan. Aku orang biasa saja,” kata Khairi dengan wajah agak memerah. Dia sedikit malu mendengar pertanyaan itu.

“Kita akan tahu dalam beberapa minggu ke depan,” kata Ibu Medha sambil tersenyum.

“Aku juga bertanya tanpa maksud kok,” kata Amala tersenyum ramah, dia menepuk bahu Khairi. Mungkin dia jadi tidak enak melihat Khairi sepertinya tidak nyaman.

“Apalagi kalau ternyata kau tidak berhubungan dengan keluarga manapun,” kata Kendra tertawa kecil. Sekilas dia tipe yang meledak-ledak, mungkin akan cocok dengan Ayana. “Kau akan jadi rebutan. Yang pasti jangan bergabung dengan Wirabuana, tuan rumah kita ini, kau akan dipaksa nikah dengan salah satu keturunannya yang tidak berguna,” lanjutnya dengan berbisik. Analisisnya sama persis dengan Ibu Medha.

“Jangan dengarkan Kendra ya, Khairi,” kata Amala sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Dia bermasalah dengan Ananda-” Amala terpotong oleh Kendra.

“Tepatnya Ananda yang cari masalah denganku,” sambar Kendra.

“Jadi dia sudah sewot terus di perjalanan ke sini. Apalagi tahu kali ini topik utama Sidang Agung adalah perjodohan Ananda dan Syifa,” lanjut Amala.

“Terus terang aku juga berharap dipertimbangkan kembali. Syifa adalah temanku,” kata Khairi sambil menghela napas.

“Syifa dan temanmu yang berbaju merah, jelas punya bakat. Kau bisa lihat juga kan?” tanya Ibu Medha.

Khairi mengangguk. “Itu Ayana. Ayahnya, Oom Herman, sudah keluar dari bisnis keluarga, tapi dia juga Suryanegara,” ujarnya.

“Suryanegara beruntung, ada dua gadis di generasi termuda saat ini dengan bakat setinggi itu. Sayangnya salah satunya mau mereka serahkan ke Wirabuana, yang satu lagi dibiarkan begitu saja. Memang hanya Keluarga Kusumawardana dan Ratnawara yang secara tradisional selalu menghasilkan prajurit wanita, tapi di masa peralihan era ini bahkan yang bakatnya sepersepuluh dari mereka pun harus tetap dibina,” kata Ibu Medha sambil mendecakkan lidah.

Khairi diam sambil mendengarkan. Sungguh banyak informasi baru yang diperolehnya hari itu. Tak terasa mereka sudah tiba kembali di hadapan pintu masuk gedung. Ayana yang tadinya terpaksa ditinggal sendiri ternyata sudah ditemani oleh Pak Agni dan Citra, asisten Kieran. Khairi mengucapkan selamat berpisah pada Ibu Medha dan kedua gadis yang baru dikenalnya lalu berbelok ke arah Ayana. Di tengah jalan dia berpapasan dengan Pak Mangun.

“Pak, terima kasih sudah membolehkan motor saya dibawa masuk ya. Selain itu maaf, itu tadi Ayana yang keburu emosi duluan, jadinya kami berkesan memaksa,” Khairi menyapa pak Mangun.

“Tidak apa-apa Non Khairi, saya tahu kadang penjaga di depan suka terlalu ketat. Mereka tidak tahu Non Khairi dan Non Ayana sedang mengerjakan sesuatu yang sangat penting untuk Keluarga,” Pak Mangun dengan ramah menyambut permintaan maafnya.

Khairi mengangguk sambil tersenyum. Setelah satu dua patah kata lagi dengan Pak Mangun, gadis itu melanjutkan jalannya ke tempat Ayana. Saat itu teras gedung semakin ramai. Sepertinya rombongan dari berbagai Keluarga Besar sudah mulai berdatangan.

Tidak ada yang aku kenal,” batin Khairi sambil melempar pandangan ke kanan dan ke kiri. “Sepertinya aku memang bukan bagian dari Keluarga manapun ya,” pikirnya lebih lanjut.

“Kok ngelamun,” terdengar suara bisikan dari hadapannya. Ayana. Sahabatnya itu datang menyongsong tanpa dia sadari.

Khairi hanya tersenyum simpul dan menggelengkan kepala. “Nanti,” dia berbisik kembali pada Ayana.

“Syifa masih bersama murid ibunya,” kata Ayana perlahan. Mereka melanjutkan berjalan ke tempat Pak Agni dan Citra. “Ayahnya juga tampaknya berdiri sendirian,” lanjutnya.

“Mungkin dari Keluarga Suryanegara belum ada yang datang,” kata Khairi.

“Aku lihat kok bapak-bapak yang langsung tua itu dengan rombongannya,” kata Ayana mengingat leluconnya waktu di pesta, “Pak Darsan, Kepala Keluarga Muda. Aku jadi kesal dengan Keluargaku sendiri. Dengan topik Sidang Agung sepenting hari ini untuk Syifa, mereka berdua kan harusnya ditemani. Pantas Ayah ingin keluar dari bisnis Keluarga, aku juga tidak mau diatur-atur orang-orang yang tidak akan mendukungku di kala ada masalah.”

Khairi hanya mengangguk. Dia tidak dapat menyalahkan pemikiran Ayana, walaupun dia cukup yakin bahwa masalahnya mungkin tidak sesederhana itu.

Kedua gadis itu bergabung kembali dengan Pak Agni dan Citra. Khairi sengaja tidak segera menuruti mereka saat diajak menuju ruang presentasi, dengan alasan bahwa mereka hendak bertemu Syifa sejenak sebelum Sidang Agung dimulai. Khairi masih ingin memastikan apakah ada seseorang yang dia kenal atau tidak dari perwakilan-perwakilan keluarga ini.

Teras dan selasar di depan gedung tua itu semakin ramai. Harapan Khairi masih belum tercapai, tidak satupun orang yang datang pernah dilihatnya sebelumnya. Walaupun begitu tindakannya menunggu tidak sepenuhnya sia-sia, dia dapat menarik beberapa kesimpulan yang cukup penting. Tempat parkir di sekitar gedung kini penuh dengan kendaraan-kendaraan mewah, sepertinya aliansi Keluarga Besar ini cukup berpengaruh di dunia bisnis dan mungkin juga pemerintahan. Tidak heran, Keluarga-Keluarga ini secara turun-temurun telah cukup dominan selama ratusan atau malah mungkin lebih dari seribu tahun. Walaupun sejak tadi Khairi juga tidak melihat ada public figure yang sering tampil di media atau internet, mereka mungkin berpengaruh besar di balik layar.

Hal lain yang menarik perhatian Khairi adalah kedua teman barunya. Amala dan Kendra secara teratur menerima kunjungan dari kelompok-kelompok Keluarga yang ada. Bahkan sebagian membawa hadiah untuk mereka. Cukup lucu melihat bahwa kedua gadis itu seakan sedang habis berbelanja di mall dan kini di tangannya penuh kantong dari merek-merek terkenal di dunia. Sepertinya kekuatan sangat dihargai di lingkungan ini. Ini membuat Khairi cukup panik, kalau suatu saat dia menerima perlakuan yang sama, bagaimana dia akan menjelaskan munculnya barang-barang serupa kepada orang tuanya. Bagaimanapun Khairi berharap bahwa orang tuanya tidak perlu tahu mengenai semua itu.

Khairi juga dapat menarik kesimpulan ada sekitar delapan atau sembilan Keluarga Besar dari para peserta Sidang Agung ini. Sampai saat ini dia hanya tahu Keluarga Wirabuana, Suryanegara, Kusumawardana dan Ratnawara. Mungkin dia harus bertanya lebih jauh pada Syifa. Hanya saja, tampaknya Keluarga-Keluarga ini tidak terlalu akur. Kedua Keluarga yang umumnya rombongannya berisi wanita, Kusumawardana dan Ratnawara, berkumpul bersama. Ibu Medha sedang berbicara dengan akrab dengan seorang wanita yang kira-kira seumuran dengannya, mungkin Kepala Keluarga Ratnawara. Ibu Praisa yang sedang berbicara dengan Syifa didatangi oleh seorang wanita seumuran dengannya juga, mungkin sesama Kepala Keluarga Muda.

Keluarga yang lain seperti terbagi dua. Kieran tampak berbicara serius dengan Pak Darsan dan satu orang lagi yang seumur Pak Darsan. Di bagian lain, terlihat beberapa orang dengan gesit berpindah dari satu kelompok ke kelompok lain, mungkin untuk melakukan lobi. Khairi seakan melihat terbentuknya koalisi politik antara berbagai pihak dengan kepentingan masing-masing. Mungkin benar yang dikatakan Syifa, bahwa sedang ada perpecahan di dalam aliansi Keluarga Besar.

Tak berapa lama kemudian, Pak Mangun maju dan naik ke atas undakan di teras gedung.

“Bapak dan Ibu, silakan ikuti kami ke gedung pertemuan utama yang terletak di belakang gedung ini. Sidang Agung sedianya akan diadakan di sana,” dia lalu mendekati sekumpulan orang tua, salah satunya Ibu Medha lalu memandu mereka berjalan melalui selasar di samping gedung.

Lihat selengkapnya