“Ini tempatnya, Ay?” tanya Khairi.
Mobil Ayana yang dikemudikan oleh Pak Soleh kembali membawa mereka hari ini. Menurut Ayah Ayana jika benar Kieran mengajak mereka ke tempat dia biasa mengajak pengusaha Jepang, mungkin saja akan ada dress code, sebaiknya mereka menyiapkan baju ganti. Akan repot membawa baju ganti dengan motor, jadi sebaiknya membawa mobil dengan sopir saja. Lokasi dan nama restorannya baru didapat sekitar sebelum makan siang. Citra meminta maaf bahwa dia lambat sekali baru mengirim, cukup sulit memperoleh reservasi secara diadakan, jadi dia harus mencoba beberapa alternatif dan kebanyakan restoran baru menerima reservasi setelah mereka buka, jadi sekitar pukul sebelas siang.
Saat itu mereka sudah tiba. Tempat tersebut cukup menarik, restoran itu tidaklah berdiri sendiri, tapi berada bersama beberapa restoran dan gerai lain di satu lokasi. Umumnya memang tempat makan atau cafe, tapi ada satu dua tempat yang menjual pakaian dan aksesoris. Khairi dan Ayana belum pernah pergi ke tempat tersebut, selain cukup jauh dari rumah dan kampus, tempat itu sepertinya tidak terlalu ramai dikunjungi orang.
“Menurut lokasi yang dikirim Citra ini tempatnya. Kalau lihat peta resto Jepang itu ada di gedung tiga lantai di depan itu,” kata Ayana.
“Jadi kita harus ganti baju kah? Kau sudah cek foto-fotonya? Ada dress code tertentu?” tanya Khairi lebih lanjut.
“Kalau aku cek di Google, sepertinya kok tidak ya,” jawab Ayana. “Apa Ayahku salah?” lanjutnya.
“Bapak dan Ibu sering makan dengan pengusaha Jepang, Non,” Pak Soleh menimpali mereka. “Ibu kan orang Jepang. Ada beberapa yang mereka biasa datang, yang katanya otentik rasa Jepang, bahannya juga kelas satu. Kalau ke sana pasti Bapak dan Ibu pakai pakaian bagus. Mereka belum pernah ke sini. Kalau saya bilang, sekilas lihat tempatnya bukan sekelas yang mereka biasa datang. Wirabuana kan dasarnya pelit, nggak bakal dia pilih tempat seperti itu,” lanjut Pak Soleh dengan semangat anti Wirabuananya.
“Kita turun dulu deh,” kata Ayana sambil menyembunyikan senyumnya, “Kita tanya aja langsung ke restonya apa ada dress code tertentu.”
Kedua gadis itu turun dari mobil. Mereka masing-masing membawa tas berisi pakaian ganti. Cukup repot juga sebenarnya, tapi paling tidak akan menyingkat waktu jika nanti harus berganti pakaian. Jadinya mereka tidak harus bolak-balik ke mobil lagi. Khairi dan Ayana berjalan dengan santai sambil mengobrol. Suasana sore itu cukup menyenangkan. Tadi siang turun hujan lumayan deras, untunglah akhirnya berhenti sesaat sebelum mereka berangkat dari kampus. Hujan sepertinya cukup menyeluruh, tempat yang berjarak cukup jauh dari kampus mereka itu juga masih terlihat basah. Wangi pohon dan rerumputan yang lembab mewarnai sore itu.
Mereka masuk ke satu-satunya gedung yang cukup besar di sana, yang dikelilingi oleh berbagai restoran yang masing-masing memiliki gedung sendiri. Umumnya jika itu terjadi, kelas restoran yang mengambil gedung kecil sendiri akan berada di atas yang mengambil unit di gedung besar itu. Gedung itupun hanya terdiri dari tiga lantai. Khairi dan Ayana langsung menuju lift yang sudah terlihat dari luar. Setelah masuk, Khairi menekan angka satu sambil melihat ke Ayana, meminta konfirmasi. Ayana mengangguk, menurut Google Maps restoran tersebut memang terletak satu lantai di atas lantai dasar. Mereka keluar dari lift dan berjalan ke kanan.
Tak lama mereka tiba di depan restoran yang dimaksud. Cukup mewah, tapi sepertinya tidak yang mewajibkan dress code tertentu.
“Kau yang tanya ya, Ay,” kata Khairi.
Ayana mengangguk dan maju ke depan, menemui penyambut tamu restoran yang tersenyum sopan kepadanya. Khairi menatap ke dalam dari tempatnya berdiri, sepertinya tamu yang ada di dalam berpakaian cukup bebas. Sekilas isinya pekerja kantoran, tapi mereka berpakaian santai, casual. Beberapa memakai jeans sepertinya dan Ayana.
Mendadak Khairi seperti tercekat. Bulu kuduknya berdiri. Dia merasakan sesuatu. Ancaman. Ya, ancaman. Ada ancaman di sekitarnya. Tidak terlalu dekat, tapi dia bisa merasakannya. Khairi langsung menjalankan metode pernapasannya. Dalam beberapa detik saja sebuah indera yang baru diperolehnya mulai aktif. Kini ancaman itu terasa semakin jelas, dia bahkan bisa menentukan arahnya. Dari bagian belakang gedung ini, lebih ke atas, mungkin di lantai tiga. Sepertinya ancaman itu pun menjadi sadar akan keberadaannya. Ancaman yang tadinya bergerak menjauhinya itu tiba-tiba menghentikan langkahnya dan perlahan berbalik. Dia mulai bergerak perlahan-lahan menuju ke arah Khairi. Gadis itu cukup menyesal menggunakan metode pernapasannya. Dia ingat peringatan yang diberikan Satu. Walaupun Ayana dan Syifa yang auranya meletup-letup dapat dilihat, justru Khairi yang baru belajar dan belum mampu mengendalikan auranya akan tampak seperti mercu suar di tengah malam. Begitu dia mencoba melacak ancaman tadi, dia seperti menyorotkan suarnya langsung mengarah pada makhluk apapun itu, seakan memancing makhluk itu untuk mendatanginya. Tapi dia juga tidak bisa menghentikan metode pernapasannya, tanpa indera tambahan tadi dia justru akan buta sama sekali lokasi ancaman tadi.
Berbagai solusi melintas di benak Khairi, tapi tidak satupun yang sepertinya akan efektif. Kedua batu yang dia miliki mungkin dapat digunakan, tapi dia baru saja mulai mencobanya semalam. Batu yang diberikan Nol jika dipegang di telapak tangan kanannya sambil menjalankan pernapasan yang tertulis dari buku Nol, sepertinya dapat menyimpan energi yang disalurkan dari tubuhnya. Semalam dia mencoba ‘mengisi’ penuh batu tersebut. Hanya saja dia belum menemukan cara menggunakan energi yang ada di dalam. Apakah dia harus melemparnya pada makhluk itu? Ataukah dia harus mempergunakan batu dari Satu, menyembunyikan diri dari pandangan ancaman itu sampai dia pergi? Tapi di hadapannya ada Ayana, dan dia tidak mau Ayana menjadi korban. Apakah dia harus menghubungi Kieran. Mungkin saja dia punya cara melawan ancaman tadi. Dia ingat Divit bercerita Ananda sepertinya membawa sesuatu di kantongnya yang dapat membuatnya mental. Ataukah dia harus memanggil Pak Soleh, tentunya dia juga tidak asing terhadap masalah ini.
Khairi sedikit panik, dia bisa mencapai titik ini lebih banyak karena usahanya sendiri, bisa dibilang hampir otodidak. Tentunya tidak dapat dibandingkan dengan Amala dan Kendra yang pastinya memiliki orang yang melatih mereka, menjawab pertanyaan penting dan membekali pengetahuan untuk menghadapi berbagai situasi. Mungkin dia harus mendatangi Ibu Medha untuk meminta bimbingan. Tentunya jika dia bisa selamat dari ancaman yang ada di depan mata dan semakin mendekat kepadanya. Insting Khairi berkata dia harus lari. Tapi Khairi akan memilih menyuruh Ayana yang lari, dia akan tetap di situ mencoba menghadapi ancaman tadi.
“Apa kau tahu kau sedang melakukan sesuatu yang sangat berbahaya,” tiba-tiba terdengar suara di sampingnya. Suara seorang gadis muda.
Khairi menoleh dan terdiam. Dia tidak menyangka akan menemui orang yang sedang dicarinya di sini. Yalini. Paling tidak itulah namanya sesuai dugaan mereka sampai saat ini.
“Yalini?” tanya Khairi. Dia merasakan makhluk itu mulai mengurangi ketinggian, mungkin sedang menuruni tangga.
“Bagaimana kau bisa tahu namaku? Kau dari Dirgatama juga?” kata gadis itu dengan wajah sedikit terkejut. “Intinya aku tidak tahu kau siapa dan dari Keluarga mana, tapi kau sedang mengundang bahaya yang kau tidak akan sanggup hadapi. Tidak dengan kemampuanmu sekarang. Apa pelatihmu tidak pernah memberitahu apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak?” kecamnya.
Khairi terdiam. Dia sudah lama membayangkan saat bertemu dengan Yalini. Tapi bukan seperti ini. Dalam bayangannya dialah yang akan bersikap keras pada Yalini, menginterogasi dan mengecam tindak tanduknya yang telah membahayakan dan bahkan menimbulkan korban nyawa. Divit meninggal karena Yalini, apakah ada yang lebih buruk dari itu. Dia bahkan sekarang terkurung di alam antara hidup dan mati.
“Sudahlah, yang penting kau ingat kata-kataku. Hentikan apapun yang sedang kau lakukan. Biar aku yang mengurus masalah ini,” dengan kata-kata itu dia langsung pergi menuju ke arah ancaman tadi. Yang menarik adalah Khairi hampir tidak dapat mendeteksi aura gadis tadi, mungkin dia juga membawa sesuatu untuk menutupinya.
“Khai, itu tadi Yalini?” terdengar suara Ayana memecah lamunan Khairi.
Khairi hanya dapat mengangguk. Dia memutuskan untuk menghentikan metode pernapasannya. Bagaimanapun dia tidak akan dapat ‘menyaksikan’ apa yang terjadi. Informasi yang terakhir dia dapat hanyalah bahwa ancaman itu tidak sadar bahwa ada ancaman lain yang sedang mendatanginya, dan itu cukup bagi Khairi, paling tidak untuk saat ini.
“Kita kejar yuk,” kata Ayana.
“Jangan,” kata Khairi sambil menggeleng. “Nanti aku cerita, agak rumit masalahnya,” lanjutnya sambil mendesah.
“Ada apa, tadi terjadi sesuatu?” tanya Ayana bingung.