“Kak Ayana, terima kasih ya,” kata Maira sambil mencium tangan Ayana dari antara kedua bangku depan. “Sering-sering ya,” kata gadis remaja itu sambil tertawa kecil. Dia mencium tangan Khairi lalu keluar dari mobil dan setengah berlari menuju gerbang sekolahnya.
Ayana datang pagi-pagi menjemput Khairi. Mereka berencana menjemput Daffa dan Divit sebelum ke kampus. Karena kebetulan sekolah Maira berada di jalan menuju rumah Daffa, mereka sekalian mengantar adik Khairi tersebut ke sekolah.
“Maira pasti banyak penggemarnya ya, Khai,” tanya Ayana sambil menjalankan mobil.
“Ada beberapa yang coba-coba datang ke rumah,” jawab Khairi sambil tertawa kecil. “Semuanya mental sama Saif, dia protektif banget. Menurutnya anak remaja cowok jaman sekarang penjahat semua, nggak ada yang baik, jadi Maira pacarannya nanti saja, setelah lulus kuliah,” lanjutnya masih sambil tertawa.
“Dia sendiri kan masih remaja cowok, berarti dia juga dong,” Ayana menggeleng-gelengkan kepala.
“Makanya,” lanjut Khairi.
“Aku kadang agak iri lho, Khai,” kata Ayana, “Aku kan anak tunggal jadi sering kesepian. Jadi dari kecil teman mainku ya hanya kakekku itu. Eh iya, aku sudah cerita belum, bulan depan ini ada sepupuku yang akan tinggal di rumah untuk beberapa tahun ke depan, seumuran atau lebih tua sedikit dari Maira mungkin ya. Ayahnya adik ibuku dan kerjanya di proyek gitu, jadi tiap satu dua tahun pindah, kasihan anaknya. Dia pernah di Bandung, Jogja, Makassar, Balikpapan, terus apa nama kota asal ibumu? Oh ya, Pangkal Pinang, dan beberapa kota lain. Sekolahnya juga jadi pindah terus.”
“Masukkan saja ke sekolahnya Maira, mereka ada semacam program afiliasi dengan Jepang, ada beberapa anak Jepang di sana,” usul Khairi.
“Oh ya? Wah boleh juga, nanti aku bilang ke ibuku,” kata Ayana. Dia terdiam sebentar lalu melanjutkan, “Aku pengen tanya ini dari kemarin, apakah ada orang lain di keluargamu yang punya bakat juga? Menurutmu kan ini warisan dari nenek Sumaya, anak dan cucu yang lainnya bagaimana? Oom Kafi pasti punya bakat juga ya?”
“Ayahku sepertinya tidak. Oom Kafi jelas punya, dia bisa lihat aku punya bakat waktu kita makan merayakan ulang tahun ibuku kan. Kak Sagara aku belum coba, Saif tidak, Maira-” Khairi memutus kata-katanya sendiri, “Maira punya. Aku yakin. Masih belum berkembang tapi tanda-tandanya cukup terlihat. Firasatku mengatakan dia akan terbuka bakatnya lebih cepat dariku.”
Khairi diam sambil melihat ke luar jendela mobil. Ayana menoleh padanya sekilas lalu meneruskan menyetir tanpa mengganggu sahabatnya itu. Dia tahu ada hal yang sedang berkecamuk di pikiran gadis itu. Dia tidak memaksa Khairi untuk segera memberitahunya, jika sudah waktunya pasti akan dilakukan.
“Kau tahu Ay, saat melihat potensi bakat Maira dengan metode pernapasan itu mendadak aku berkeringat dingin. Terus terang aku jadi takut sekali. Kita sudah dapat informasi dari berbagai sumber, akan terjadi sesuatu, mungkin semacam masa kekacauan. Satu juga menyebutkan mengenai Pergantian Era dan akan adanya pertumpahan darah. Aku sedang mencoba mempersiapkan diri sebaik mungkin karena dengan perkembanganku saat ini sepertinya memang tidak terhindarkan lagi bahwa aku akan jadi bagian. Aku juga khawatir tentang kau dan Syifa, kalian juga mungkin akan terpaksa ikut. Bahkan pada waktu menjalankan latihan saja sudah ada resikonya. Tapi entah kenapa aku yakin kalian berdua akan melewatinya dengan baik, yakin sekali,” papar Khairi. “Tapi aku sama sekali tidak siap jika adik kecilku itu juga harus ikut. Mungkin karena aku akan selalu menganggap dia anak kecil ya, jadi usia berapapun dia nanti, aku akan selalu khawatir jika dia harus ikut,” lanjutnya.
“Mungkin kekacauan itu sudah berakhir sebelum bakat Maira benar-benar terbuka,” kata Ayana menenangkan. “Aku sendiri saat ini cukup bersemangat. Aku coba bertanya sedikit-sedikit pada Ayahku, dan memaksa Pak Soleh menceritakan semua gosip yang pernah dia dengar. Intinya sih Suryanegara sedang berusaha nego dengan ayahku supaya aku mau diuji dan jika lolos akan dilatih. Selain itu kemungkinan aku berada di kategori yang berbeda denganmu. Kau termasuk kategori paling elite, hanya satu dari sekian orang dapat membuka mata ketiga mereka pada urutan pertama. Katanya yang pertama kita buka itu adalah yang biasanya akan paling berkembang. Aku belum tahu detailnya, mungkin nanti aku bisa korek lagi lebih jauh,” dia menjelaskan lebih lanjut.
“Bagaimana keputusan mengenai latihan pernapasanmu? Apa kau mau mencoba yang dari buku atau mau menunggu sampai memperoleh pelatihan resmi? Keduanya berbeda aliran, dan aku sendiri belum menemukan pencerahan yang seperti yang dibilang oleh Radha Pelatih. Aku tidak tahu akan berhasil atau tidak,” Khairi mengerutkan keningnya.
“Aku sudah mulai kok dengan cara dari buku itu. Sebenarnya diam-diam aku sudah berlatih dengan cara dari Oom Kafi yang kau ajarkan, malah sejak lama sudah apa istilahnya? Zhou Tian? Tung Kwan? Setelah menerjemahkan bagian penyembuhan kemarin aku berganti ke cara yang baru. Cukup mirip jadi cepat memahaminya. Bertiga dengan Syifa kita coba temukan cara baru itu, nanti biar kita bertiga jadi satu kelompok kecil,” Ayana berkata dengan serius. “Penyembuhan atau healing yang kita temukan itu akan benar-benar bermanfaat nantinya. Aku selalu terbayang Syifa kecil yang sedih saat ibunya tidak kembali, menurut info dari Pak Soleh, sekitar sepuluh tahun yang lalu memang ada pertempuran yang memakan banyak korban. Jika ada yang bisa melakukan penyembuhan, mungkin korban akan berkurang. Ada keluarga Pak Soleh juga yang meninggal, karena menjadi bagian dari rombongan Suryanegara. Pak Soleh berasal dari salah satu keluarga yang sudah mengabdi pada Suryanegara selama beberapa generasi. Di luar sembilan Keluarga Utama ada banyak keluarga seperti itu ternyata," dia memaparkan informasi yang berhasil diperolehnya.
“Pertempuran seperti apa, Ay, tepatnya?” tanya Khairi penasaran.
“Nah ini menarik. Pak Soleh menyebutkan ada dugaan infestasi di suatu lokasi, dengan ‘f’ ya bukan ‘v’. Persisnya itu apa aku nggak tahu, Pak Soleh juga kurang jelas katanya. Dibuat tim gabungan dari semua Keluarga dan dikirim ke tempat tersebut. Katanya mereka berhasil menang, tapi keputusan dan kepemimpinan Suryanegara dalam kejadian itu menjadi dipertanyakan. Terlalu banyak korban yang jatuh dari semua Keluarga, belum ditambah yang luka parah atau jatuh ke keadaan vegetatif. Suryanegara sendiri kehilangan banyak tokoh penting dalam kejadian itu. Ketua Muda yang memimpin dicopot dan digantikan Pak Darsan. Karena itu usia Pak Darsan berbeda dengan Ketua Muda yang lain, regenerasi Suryanegara lebih cepat sepuluh tahun,” Ayana bercerita dengan semangat.
“Eh tadi kau bilang ada sembilan Keluarga Utama?” Khairi bertanya lagi.
“Ya, yang dua lagi namanya Sandyakala dan Parakrama,” jawab Ayana dengan senang. Akhirnya mereka mengetahui nama semua Keluarga Utama.
“Yang pasti tetap harus hati-hati ya. Saat ini kita bukan seperti Yalini, Amala dan Kendra yang beruntung memiliki pelatih yang bisa memantau serta menjawab semua pertanyaan dan keraguan yang kita miliki. Sesat latihan seperti yang diperingatkan Radha Pelatih adalah resiko terbesar yang harus kita hadapi,” ujar Khairi.
Ayana mengangguk sambil membelokkan kemudi. Di kejauhan tampak pagar rumah Daffa. Mereka sudah hampir tiba.
*******
“Aku turun di sini ya,” kata Khairi sambil membuka pintu.
Mereka sudah tiba di sisi lapangan besar tempat Satu berada. Khairi tadi di jalan mengutarakan bahwa dia sepertinya harus berbicara dengan Satu pagi itu, masih ada waktu sejenak sebelum kuliah pagi. Ayana dan Daffa akan langsung ke kelas.
“Aku juga deh,” kata Divit. Dia juga turun, hanya saja dia tidak membuka pintu tapi langsung melompat menerobos badan mobil.
Daffa masih dalam keadaan tidak bisa melihat kakaknya. Khairi berencana meneteskan Attar untuk Daffa di sore hari nanti saat bertemu Yalini, selain itu dia hendak bertanya juga pada Yalini apakah ada solusi lain agar Daffa selalu dapat melihat kakaknya.
“Khairi, aku jalan-jalan dulu ya, sudah lama nggak di sini. Aku mau menengok kucing tiga warna yang waktu itu sudah hamil tua. Dia bisa lihat aku, jadi bisa kuajak main. Harusnya sudah melahirkan sekarang,” sambil melambai Divit dengan bersemangat berjalan meninggalkan Khairi. Mungkin dia kangen dengan ‘rumah’-nya.
Khairi berjalan dengan santai menuju pohon besar di tengah lapangan itu. Sampai sekarang dia tidak tahu jenis pohonnya, dugaannya beringin, tapi memang wajar anak kota seperti Khairi tidak mengenal berbagai jenis pohon. Seperti biasa saat sudah cukup dekat dengan pohon itu dia mengeluarkan ponselnya dan berpura-pura sedang ada panggilan masuk. Sambil menempelkan ponsel ke sisi wajahnya Khairi bergerak menuju pohon, tepatnya pada cabang dahan rendah yang dihantamnya saat motornya kehilangan kendali.
“Kira-kira Kak Satu sudah bangun belum ya?” pikiran itu melintas di benak Khairi saat dia menjulurkan tangan ingin menyentuh lokasi benturan yang menjadi berlekuk tersebut. Dia nyaris tertawa sendiri, saat ini seakan dia sedang berkunjung ke rumah teman dan akan memencet bel rumah temannya itu.
Telapak tangan kanan Khairi menyentuh lekuk tersebut. Tiba-tiba seakan kilat menyambar diri Khairi, merambat dengan cepat dari tangannya menuju saku celananya lalu ke arah jantung dan naik menuju mata ketiganya. Hal tersebut terjadi hanya dalam sepersekian detik tapi bagi Khairi seakan dia sedang menonton sebuah film dalam gerak lambat dan dia melihat semuanya tersebut dengan jelas dari perspektif pihak ketiga. Khairi terkejut, tidak hanya karena rambatan itu, tapi juga karena dia merasa sama sekali tidak menjalankan metode pernapasan yang biasa dia lakukan. Tapi fenomena ini terjadi seakan dia sedang mengaktifkan pernapasan tadi. Mengapa hal ini bisa terjadi? Begitu juga jalur rambatan tadi, di saku celana gadis itu ada kedua batu yang diterimanya dari Nol dan Satu. Batu dari Satu memang selalu disiapkannya untuk digunakannya seketika saat ini, untuk membantu menutupi auranya yang belum dapat dikendalikan. Dia tidak ingin kasus restoran Jepang dan ancaman terulang. Batu dari Nol juga ada di sana karena tadi pagi saat menunggu Ayana dia mencoba mengisi batu itu sampai sepenuh mungkin dan memastikan apakah kapasitasnya memang berkembang.
Kejutan itu membuat Khairi limbung. Gadis itu berusaha mengendalikan dirinya agar tidak jatuh. Masih dalam mode gerak lambat dia mencoba menggerakkan kakinya agar dapat menumpu lebih baik. Sulit sekali, Khairi hampir tidak punya kendali atas tubuhnya karena kesadarannya sedang sibuk memantau perjalanan energi yang merambat dari telapak tangannya. Tunggu, mengapa di telapak tangannya seperti ada bayangan berpendar putih? Sebersit pikiran muncul di benaknya, mungkin dia harus memecah kesadarannya agar dapat melakukan beberapa hal sekaligus, multitasking istilah asli bahasa Inggrisnya. Entah mengapa hal itu sepertinya mungkin sekali terjadi, bahkan dia yakin bisa memecah lebih dari satu. Satu kesadaran untuk terus memantau pergerakan energi, satu kesadaran untuk mencoba menggerakkan kakinya dan satu lagi untuk melihat ada apa di telapak tangannya.