Terawang

Catalysh
Chapter #22

Pengejaran (Bagian Kedua)

“Syifa, mengenai acaramu nanti,” kata Zakky.

Mereka baru selesai memesan jus alpukat untuk semua orang, Zakky juga sudah membayar pesanan tersebut. Setelah itu mereka tidak langsung kembali karena Zakky mengajak Syifa duduk dulu di salah satu meja di dekat kasir. Awalnya mereka berbicara tentang macam-macam. Bahkan sampai alpukat yang dipesan sudah tiba di meja teman-teman mereka, pembicaraan masih belum mengarah. Sepertinya Zakky hendak mempersiapkan diri dulu, setelah siap barulah pria itu berbicara dengan serius. 

“Mengapa? Kak Zakky tidak mau hadir kah?” tanya Syifa. Wajahnya langsung berubah.

“Hadir kok, aku pasti hadir, jangan khawatir,” kata Zakky cepat-cepat untuk menenangkan. “Nggak, ini mau membicarakan hal lain. Tapi gimana ya bilangnya,” Zakky menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal.

“Bilang saja, Kak,” kata Syifa sambil tersenyum sedih, “Aku tahu keputusanku ini layak dikritik oleh semua orang. Jangankan orang lain, aku saja setiap hari seperti mau meneriaki diri sendiri untuk mengubah keputusanku. Tapi ini kan tidak semuanya ada di tanganku juga. Selain itu ada kepentingan yang lebih besar yang mungkin sulit untuk diceritakan.”

“Syifa, kau sudah berapa kali pacaran?” tanya Zakky setelah terdiam sejenak.

“Eh?” Syifa tampak terkejut dengan pertanyaan itu. Wajahnya tampak sedikit bersemu merah saat menjawab, “Sebenarnya belum pernah. Beberapa waktu sejak Ibu meninggal aku sudah tahu suatu saat akan dijodohkan, jadi buat apa aku berpacaran yang ujungnya tidak akan pernah berakhir ke pernikahan.”

Wajah yang bersemu merah itu hilang secara perlahan, gantinya muncul rasa sedih di mata gadis cantik tersebut. Syifa memang sudah dapat menerima nasibnya, tapi bukan berarti bahwa dia tidak merasa sedih akan kenyataan tersebut.

“Kalau begitu kau coba saja berpacaran sekarang, mumpung kau belum nikah,” kata Zakky dengan nada serius. “Pertunangan juga belum dilakukan secara resmi kan. Bisa juga kau pelan-pelan sih, jadi tidak usah langsung pacaran, dekat dulu saja,” lanjutnya.

Gadis itu terdiam, berpikir beberapa saat sambil menunduk. Tak lama dia menarik napas panjang untuk meneguhkan hati lalu mengangkat kepala dan menatap Zakky dalam-dalam. 

“Waktunya kan cuma tinggal satu minggu, mana bisa kalau pelan-pelan, tidak sempat lagi,” kata Syifa, sebuah senyum kecil tampil di wajahnya.

“Begitu ya, nggak apa-apa, aku ngerti kok,” Zakky terlihat kecewa. Ganti dia yang menundukkan kepala.

Yah ditolak,” batin pria muda itu. Dia memang mengharapkan Syifa akan menerima, tapi dia juga sudah siap jika akan ditolak.

“Kalau begitu kita kembali yuk ke teman-teman yang lain,” katanya sambil mengangkat kepala. Dia tersenyum tapi kekecewaan di wajahnya tampak jelas sekali. Dia lalu bangkit berdiri dan menunggu Syifa untuk mengikutinya.

Syifa mengerutkan kening, sepertinya cukup bingung dengan tanggapan pria itu. Gadis itu baru saja akan mengangkat suara saat Ayana datang menghampiri mereka.

“Syifa, Zakky, ikut aku, cepat,” kata Ayana tanpa memberikan mereka kesempatan untuk berkata-kata. 

Dia langsung memegang tangan Syifa lalu mengajaknya setengah berlari menuju meja di pojok tempat yang lain berada. Tampak Khairi sedang meletakkan ponsel di atas meja, tampaknya dia baru saja mengaktifkan mode speaker-phone. Daffa dan Saut tampak tegang sambil memegang gelas plastik berisi jus alpukat mereka, punya Saut sudah hampir habis, mungkin dia haus sekali. Divit juga tampak tegang dan berdiri sambil menatap ke satu arah.

 Zakky mengikuti dari belakang, mendadak dia terhenti. Sebuah pikiran muncul di benaknya, “Sebenarnya tadi Syifa menerima atau menolak ya? Seharusnya aku cukup kasih pertanyaan ‘ya atau tidak’, kalau ‘atau’ begini kan aku jadi bingung sendiri. Tapi, yah, aku yakin dia bilang tidak sih tadi.” 

Dia lalu menggeleng-gelengkan kepala sendiri dan menghela napas panjang. Penolakan memang menyakitkan.

Kak Zakky kok tanggapannya begitu ya, aku kan-” batin Syifa. Pikirannya diinterupsi oleh Khairi yang berbicara ke arah ponsel.

“Yalini, boleh tidak dijelaskan soal makhluk gelap yang ada di kampus ini untuk semua, ini sudah aku jadikan speaker-phone,” kata Khairi. 

Gadis itu melihat ke sekitar, untunglah kantin itu saat ini sudah semakin kosong, sehingga dia yakin tidak ada yang akan mendengar mereka.

“Aku sudah beberapa kali berusaha mengejar makhluk ini. Buat yang bisa melihat, sosoknya besar, mungkin sekitar satu meter delapan puluh senti, badannya agak membulat, tangan dan kakinya panjang, kukunya tajam,” papar Yalini. “Yang membuat aku paling khawatir adalah berbeda dari makhluk sejenis yang biasanya cuma mengincar infestasi, dia ini beracun. Dugaanku aslinya dia adalah sejenis kodok yang beracun lalu dirasuki roh gelap dan pelan-pelan berubah,” lanjutnya.

“Infestasi itu apa sih?” tanya Ayana. Setelah mendengarnya dari Pak Soleh dia penasaran apa arti di balik kata itu.

“Roh gelap adalah sesuatu yang sangat kuat, untungnya tidak semudah itu dia masuk ke alam kita. Begitu dia masuk dia akan berusaha merasuki suatu makhluk, bisa manusia, bisa hewan seperti yang ini, terkadang juga tumbuhan seperti pohon. Lalu dia akan membuat semacam sarang dan memperkuat dirinya dengan menyerap energi di sekitarnya. Cara menyerapnya paling mudah dengan membunuh. Saat makhluk hidup meninggal, yaitu saat raga dan jiwa terputus secara permanen, akan menimbulkan pelepasan energi, ini akan dia serap. Kalau masih lemah dia tidak akan melakukan ini, dia mungkin hanya berani menyerap sedikit-sedikit dari manusia yang sedang melamun atau tidur misalnya. Dia akan menempel lalu menghisap seperti lintah atau nyamuk. Makin matang makhluk itu dia juga akan semakin pemilih. Dia berani langsung datang kepadamu artinya dia sudah tidak takut dan berada pada suatu titik kritis di mana dia sangat butuh sumber energi. Di sana ada Khairi yang sudah pada tahap awal, dan ada Ayana dan Syifa yang punya bakat, kalian makanan lezat untuk dia. Dugaanku dia hampir mencapai batas fase infestasi. Jika dia sudah masuk fase infestasi dia akan bisa membagi potongan rohnya lalu merasuki manusia yang kemudian dapat dikendalikan. Sarang tadi sekarang berubah menjadi semacam markas, dan dia akan menjadi raja kecil dengan pasukan militer,” Yalini memberikan penjelasan. “Ada Syifa di sana? Ini yang terjadi sepuluhan tahun lalu, jumlah korbannya bisa luar biasa,” dia menambahkan.

“Jadi apa yang harus kami lakukan sekarang? Apa kami pergi ke tempat yang ramai saja? Lebih amankah seperti itu?” tanya Khairi. Dia menatap Syifa yang berdiri di seberangnya, terlihat gadis itu menunduk sambil mengusap mata.

“Jangan, dia sudah di titik kritis, kalau dia nekat, bisa terjadi pembantaian massal. Selain itu orang banyak yang panik itu berbahaya, akan jadi ancaman baru buat kalian. Sebaiknya cari tempat sepi dan coba bertahan sampai aku tiba. Mungkin masih sekitar lima belas atau dua puluh menit lagi,” jawab Yalini. “Di kampus ada tempat yang aman. Pohon yang kau tabrak itu ada makhluk yang kuat di dalamnya, dia bukan dari aliran gelap dan sudah berumur puluhan tahun, aku yakin makhluk itu takut pada pohon tadi. Kalian akan aman di sana,” usulnya.

“Tidak bisa, jika kami menuju ke sana akan berpapasan dengan makhluk itu di tengah jalan. Kami di Arsitek,” tolak Khairi.

“Kalian tahu gedung Informatika yang lama? Di sana ada makhluk kuat juga, ini justru paling kuat, paling tidak sudah seribu atau dua ribu tahun, mungkin malah lebih. Kalian lari berputar sedikit lewat Teknik Industri, aku akan coba turun di parkiran gedung lama jadi bisa lebih cepat ke sana,” usul Yalini.

“Baik, telponnya akan kutaruh di saku tapi tidak kumatikan agar kau bisa dengar. Ayana akan share live location padamu supaya kau tahu persis kami ada di mana,” Khairi langsung berdiri sambil melakukan hal tersebut dan mulai berjalan ke pintu keluar. 

Sepanjang pembicaraan telepon Khairi terus memantau ancaman itu dengan hati-hati, dia tidak ingin terlihat seperti mercusuar lagi. Hasilnya tidak sejelas jika dia mengerahkan seluruh kemampuannya, tapi paling tidak dia dapat menentukan secara kasar arah dan jarak ancaman tadi. Dari pantauannya, makhluk itu masih bergerak dengan cukup hati-hati, bagaimanapun dia tidak ingin memancing perhatian.

Lihat selengkapnya