Terawang

Catalysh
Chapter #23

Pengejaran (Bagian Ketiga)

“Apakah semua baik-baik saja?” tanya Khairi sambil berjalan. 

Seperti sebelumnya Khairi mengatur agar mereka tidak bergerak terlalu buru-buru. Menurut firasatnya mereka masih harus menjaga stamina agar tetap prima saat menghadapi makhluk itu lagi. Matanya juga mencari-cari lokasi yang menguntungkan jika akan berhadapan dengannya. Hanya saja jalan yang mereka tempuh merupakan gabungan antara pelataran terbuka dan selasar panjang yang sama sekali tidak memiliki lokasi defensif yang ideal.

“Tanganku kebas,” kata Saut sambil menggosok-gosokkan telapak tangannya. Dia terlihat cukup tenang, mungkin karena sejak kejadian yang dia ceritakan tersebut sudah melihat berbagai macam makhluk yang penampilannya mengerikan juga.

Daffa yang berada di sebelahnya mengangguk-angguk sambil melakukan hal yang sama. Justru dia yang awalnya terlihat paling panik. Hanya saja sejak Khairi membubuhkan Attar di keningnya dia menjadi lebih tenang, mungkin pengaruh keberadaan Divit yang kini dapat dilihat dan didengarnya. 

“Eh, tadi kata temanmu di ponsel makhluk itu beracun ya?” Zakky bertanya. 

Dia mengambil tongkat yang dipegang oleh Syifa dan memperhatikan ujungnya. Ada semacam cairan berlendir berwarna gelap dengan pendar warna biru kehijauan menempel di sana. Sepertinya itu adalah darah makhluk tadi. 

Khairi mendekati mereka dan ikut memperhatikan cairan itu. Dia menjulurkan tangan dan mengambil Seven of Wands yang tadi digunakannya sebagai senjata. Setelah makhluk itu mencabut dari tubuhnya serta membuangnya jauh-jauh, kartu itu lenyap dengan sendirinya dan kembali ke tempat penyimpanan. Bagaimanapun sebenarnya ini bukan kartu fisik yang saat ini ada di tas Khairi, tapi perwujudan sukma kartu yang dibuat oleh Nol. Khairi memperhatikan kartu tersebut. Kering. Tapi dia masih dapat membaui sisa wangi Attar yang melekat di kartu. Sama sekali tak ada sisa lendir berwarna biru kehijauan itu. Khairi cukup lega. Dia tidak ingin darah makhluk itu mengotori tempat penyimpanannya.

“Apa yang mau kau lakukan, Khai?” tanya Ayana. Dia melihat Khairi mengeluarkan botol Attar yang sudah tinggal setengah tersebut.

“Aku ingin tahu apakah racun ini bisa ditawarkan oleh Attar,” kata Khairi. “Jaga-jaga jika di antara kita ada yang kena racun,” lanjutnya. 

Gadis itu meneteskan Attar ke ujung tongkat Syifa. Teman-teman yang lain yang sepanjang pergerakan mereka agak terpisah mulai mendekat. Sepertinya mereka juga penasaran apa yang akan terjadi. Saat tetesan Attar menyentuh lendir biru kehijauan itu terdengar suara desisan yang cukup keras. Lendir tersebut mulai mencair dan seperti dipanaskan perlahan mulai menguap. Hanya saja tersisa residu lendir tersebut di tempat yang tidak bersentuhan langsung dengan Attar.

Khairi mengerutkan kening sambil melihat ke botol Attar. Seharusnya sudah tidak terlalu banyak, tapi ternyata masih hampir setengah botol. Apa mungkin dia salah ingat?  Untuk sementara Khairi tidak ingin memikirkannya, masalah di depan mata harus dia selesaikan terlebih dahulu. Hanya saja sepertinya malam ini Attarnya akan habis. Khairi sadar bahwa kekuatan normal tidak cukup untuk melukai makhluk tersebut, hanya ketiga gadis yang memiliki bakat dan menjalankan metode pernapasan yang mampu menembus tebalnya kulit makhluk itu. Harapan satu-satunya adalah Attar. Dia lalu membubuhkan Attar ke ujung tongkat yang dipegang masing-masing temannya. Kini dia benar-benar hampir menangis, Attarnya tersisa sedikit sekali. Khairi berjanji pada dirinya sendiri untuk berusaha memperoleh suatu prestasi dan jika Ratu bersedia memberinya hadiah lagi dia akan kembali meminta Attar. Mungkin juga dia harus membawa sesuatu jika kembali ke dunia itu, siapa tahu para Radha bersedia menukar bawaannya dengan Attar.

Khairi kembali mengeluarkan kartu Seven of Wands ke tangannya, tapi dia tidak melumurinya dengan Attar. Dia memutuskan untuk tidak menghabiskan Attar yang tersisa. Buatnya Attar merupakan simbol kedekatannya dengan Nol, Satu serta para Radha dan Ratu yang telah baik padanya dan mau membimbingnya. Mendadak lamunan Khairi terhenti, sebuah perubahan penting terdeteksi.

“Dia mulai bergerak,” kata Khairi sambil menoleh ke belakang. 

Mereka semua saling berpandangan. Walaupun mereka sudah menduga hal ini akan terjadi, tetap saja semua orang masih mengharap ada keajaiban.

“Aneh,” kata Khairi. “Dia tidak menuju ke kita langsung. Apa dia tidak ingin mengejar kita?” lanjutnya. Dengan tangannya Khairi memperagakan arah gerak makhluk itu.

“Kalau dia ke arah sana, tetap akan ketemu kita kan?” Ayana menyebutkan dugaannya.

“Gerakannya cepat atau lambat?” Syifa ikut bertanya.

“Ketemu tapi sudah dekat sekali dengan tujuan kita. Apa dia berniat menghadang ya. Tapi yang aneh juga, gerakannya tidak konsisten, kadang cepat kadang lambat,” jawab Khairi kepada kedua temannya. “Terkadang dia seperti mundur sedikit, energinya seperti melonjak, lalu maju lagi, mundur sedikit lagi, energinya melonjak lagi, maju lagi. Dalam keadaan normal aku akan bilang dia seperti sedang mabuk, atau sedang mempraktekkan jurus mabuk,” gadis itu melanjutkan sambil memalingkan kepala dan menatap jauh ke depan. Entah kenapa dia jadi ingat film silat mandarin jadul yang sering ditontonnya bersama Oom Kafi.

“Aku cenderung setuju dugaanmu bahwa dia mau menghadang. Kita tadi unggul karena posisi di atas tangga. Mungkin dia ingin menjadi yang menentukan lokasi berikutnya,” kata Daffa ikut menyumbang pemikiran.

“Kamu kenapa, Ut?” tanya Ayana pada Saut yang wajahnya pucat sekali.

“Aku punya firasat buruk,” kata Saut. Dia menarik napas panjang lalu melanjutkan, “Dulu waktu aku hampir meninggal aku punya firasat yang sama.”

Daffa menepuk-nepuk bahu temannya itu menenangkannya. Pikiran Khairi kembali ke ramalannya. Saut, kunci keselamatan mereka ada di Saut. Tapi apa maksudnya?

“Kak Zakky apa pendapatnya?” tanya Syifa pada Zakky yang sepertinya sedang berpikir keras. Dia berusaha mengalihkan suasana yang menjadi sedikit mencekam.

“Eh?” Zakky sepertinya kaget dan konsentrasinya buyar. “Mungkin harus dipastikan lagi ya. Coba aku tanya langsung saja,” jawabnya cepat. Hanya saja setelah menjawab dia langsung terdiam, wajahnya menunduk seakan baru melakukan kesalahan fatal.

“Yah dia malah sibuk melamun mau wawancara makhluk gelap,” komentar sarkasme Ayana tidak ragu ikut berpartisipasi.

“Bukan begitu, aku-” Zakky tidak menyelesaikan kalimatnya dan hanya menatap dengan pandangan meminta maaf pada Syifa. 

Jika saat itu mereka ada di bawah sinar yang cukup maka akan terlihat wajah pemuda itu merah seperti kepiting rebus. Syifa yang mendadak dapat memahami arti jawaban Zakky ikut menunduk, wajahnya pun ikut bersemu merah. Khairi menatap kedua temannya itu bergantian. Tampaknya ada suatu rahasia yang hanya mereka yang tahu.

“Apapun niat makhluk itu kita akan segera tahu,” kata Khairi. “Kita harus bergerak lebih cepat, jangan sampai dia sempat memilih tempat terbaik untuk membokong kita,” ajaknya sambil mempercepat langkah.


*******


Yalini menatap kerumunan kendaraan di depannya dengan kesal. Entah kenapa hari itu kemacetan seakan tidak mendukung mereka sama sekali.

“Apa kita tidak bisa lebih cepat, Pak Gendon?” katanya pada pengemudi setengah baya yang mengantarnya.

“Mohon maaf, tidak bisa Non Yalini,” jawabnya. “Mungkin lebih cepat kalau Non turun di sini dan berjalan. Nanti saya menyusul. Saya punya pengalaman juga melawan makhluk seperti itu,” lanjutnya.

Terdengar suara panggilan masuk, hanya saja bukan dari ponsel yang sedang dipegang Yalini, melainkan milik Pak Gendon yang dengan sigap menerima panggilan lalu menyalakan mode speaker phone.


“Yalini ini Amala,” terdengar suara dari ponsel. Terdengar suara ramai kendaraan di latar belakang. Mungkin penelpon sedang berada di tepi jalan atau sedang mengendarai motor. 

“Amala, kau dan Kendra yang ditugaskan?” tanya Yalini. Nada suaranya terdengar cukup gembira.

“Kami yang paling dekat,” jawab Amala. “Perjelas pada kami. Menurutmu apakah infestasinya sudah dimulai?” dia bertanya lebih lanjut.

Lihat selengkapnya