“Meng,” suara Divit terdengar sedih sekali.
Dia berlutut di sebelah induk kucing yang terbaring lemas di tanah. Darah mengalir dari bagian depan tubuhnya, tampak bekas cakaran makhluk gelap itu menggurat tubuh bagian dada kucing tersebut. Walaupun begitu, sang induk masih berusaha bangkit. Insting keibuannya adalah segera mendatangi anak-anaknya yang sedang tertidur, hanya dia yang bisa melindungi dan menjaga mereka, baik dari makhluk jahat tadi maupun dari orang-orang asing yang baru pernah dia lihat hari ini.
Khairi bergegas mendatangi mereka. Sebenarnya tubuhnya lemas hampir tak bertenaga, energinya terasa habis sama sekali setelah serangan terakhir tadi, tapi dia memaksakan diri. Gadis itu sadar bahwa dirinya adalah satu-satunya harapan induk kucing tersebut dan anak-anaknya yang baru lahir. Sambil membuka botol Attar dia berlutut di samping induk kucing tersebut. Induk itu menatap kepadanya dengan mata yang jernih, terlihat semangatnya masih sangat kuat untuk hidup, dia belum menyerah. Khairi meneteskan Attar di luka kucing tersebut seperti yang dilakukan pada Saut. Suara desisan kembali terjadi saat Attar bertemu dengan lendir biru kehijauan di luka kucing itu. Untunglah Attarnya sudah kembali terisi, walaupun belum terlalu banyak, hanya seperempat botol. Seperti sebelumnya Khairi menyisakan sedikit Attar di botol, dia ingin memastikan bahwa kondisi Attarnya kembali terisi tetap terjaga, walaupun dia tidak begitu yakin batasan sebenarnya.
“Eh, jangan,” terdengar suara dari samping Khairi. Yalini, dia pun sudah bangkit dan sepertinya penasaran apa yang sedang Khairi lakukan lalu menghampirinya.
“Mengapa?” tanya Khairi dengan nada bingung.
“Itu Attar kan? Ada ujar-ujar mengatakan jangan mengobati kucing dengan Attar,” Yalini menjawab sambil mengangkat bahunya.
“Apakah kucing makhluk gelap yang dapat terluka karena Attar?” tanyanya lagi sambil memperhatikan kucing tersebut. Sepertinya tidak, kondisi kucing tersebut terlihat mulai membaik, dia bahkan sedang mencoba berdiri.
“Aku juga tahu ujar-ujar itu,” suara lain ikut serta di pembicaraan mereka.
Kendra, dia dan Amala bergabung ke mereka setelah memastikan bahwa makhluk gelap itu benar-benar sudah tidak bernyawa. Walaupun begitu terlihat mereka masih terus memantau tubuh makhluk tersebut dari jauh.
“Tapi memang tidak jelas sih mengapanya. Untuk amannya aku sudah panggil dokter hewan juga selain dokter untuk temanmu yang di sana,” lanjutnya.
“Terima kasih, Kak Kendra,” kata Khairi lega. Mereka sudah berusaha semampunya tapi tentu butuh dokter untuk memastikan apakah Saut akan baik-baik saja.
“Attarmu wangi sekali ya, sepertinya lebih premium daripada yang di jual di online shop keluarga. Itu kau beli di mana, Khairi?” tanya Amala. Gadis itu dengan gembira mengendus-endus wangi tersebut.
“Ini hadiah dari Ratu,” kata Khairi.
“Ratu para Radha?” Amala tampak terkejut.
Khairi mengangguk, bagaimanapun sudah tidak mungkin menyembunyikan beberapa kenyataan soal dirinya.
“Nggak sayang habis begitu,” Kendra menatap dengan pandangan kepingin pada Attar yang kini menetes dari luka Meng, kucingnya Divit.
“Aku nggak yakin batasannya, tapi Attar di botol ini bisa bertambah pelan-pelan,” kata Khairi sambil mengangkat botol tersebut. Benar, tampak Attar itu sudah sedikit bertambah. “Tapi tidak bisa sampai penuh kembali. Aku pernah berikan sedikit ke Nol dan calon Satuku, sepertinya yang itu tidak dapat kembali. Tapi yang aku pakai menawarkan racun makhluk gelap itu sepertinya bisa kembali pelan-pelan.”
Pada saat itu Ayana dan Syifa juga bergabung dengan mereka. Syifa langsung berlutut di sebelah kucing itu sambil berbicara dengan lembut. Tampaknya dia memiliki atau pernah memiliki kucing.
“Aku baru mau mengusulkan kau buka toko,” canda Amala. “Pasti sold out terus. Aku yang beli sebelum orang lain sadar,” lanjutnya sambil tertawa.
“Untuk teman-teman boleh kok,” kata Khairi sambil tersenyum.
“Jangan,” kata Amala dan Kendra hampir berbarengan.
“Ratu dan para Radha selalu punya alasan sendiri melakukan sesuatu. Aku yakin mereka sudah meramalkan atau membaca bahwa malam ini kau akan butuh Attar itu. Dengan kondisi saat ini, aku yakin kau akan sangat membutuhkannya juga di masa depan,” Amala melanjutkan penjelasannya.
Khairi mengangguk. Dia lalu melihat pada sosok hitam yang masih berdiri di dekat Saut. Tampaknya sosok itu menunggunya. Matanya juga tak lepas dari botol di tangan Khairi.
“Paling tidak beberapa tetes harus diberikan pada sosok purba itu,” kata Khairi. “Bagaimanapun dia telah ikut menjaga Saut tidak menjadi sasaran makhluk gelap tadi,” lanjutnya.
*******
Khairi berjalan meninggalkan gadis-gadis yang masih mengelilingi kucing tadi. Mereka sibuk berdiskusi dengan suara pelan apa yang sebaiknya harus mereka lakukan terhadap kucing itu. Mereka tidak membantunya, jika tidak hati-hati justru mereka bisa melukainya. Biarkan dia mengumpulkan tenaga dan bergerak sendiri. Divit sudah lebih dulu berpindah, dia kini duduk bersila di dekat anak-anak kucing yang sedang tertidur tersebut. Umur mereka baru beberapa hari, seharusnya mata mereka juga masih belum waktunya membuka.
Sosok yang mirip dengan Nol dan Satu itu memandang dengan penuh perhatian pada Khairi. Tampaknya dia juga tidak suka berbasa basi. Dia mengeluarkan sebuah cawan batu putih dan menyorongkannya ke hadapan Khairi. Gadis itu menarik napas panjang lalu mengeluarkan botolnya. Dengan perlahan dia meneteskan Attar satu demi satu ke cawan itu. Khairi berhenti di tiga tetes lalu menatap sosok itu. Dia diam sambil memandang Khairi. Khairi meneteskan dua tetes lagi lalu melihat padanya.
Sosok itu menoleh ke arah Meng yang sedang berusaha mencapai anak-anaknya, lalu kembali menatap Khairi seakan berkata, “Kucing liar kamu siram tadi, untukku kok pelit sekali.”
Khairi menyerah, dia menambahkan dua tetes lagi. Sosok itu tersenyum puas. Dia menarik cawan batu yang kemudian hilang secara perlahan. Di tempat cawan itu muncul batu berwarna putih, mirip seperti yang ada di keningnya. Batu itu melayang ke arah Khairi dan berhenti di atas tangannya.
“Terima kasih,” kata gadis itu sambil mengambil batu tersebut.
Tanpa mengatakan apa-apa sosok itu berbalik lalu berjalan menjauh. Tubuhnya perlahan-lahan menghilang. Khairi menatap batu di tangannya, ini batu ketiga yang dia miliki. Entah apa fungsinya, gadis itu tidak sabar hendak mengujinya. Gadis itu mengeluarkan kedua batu yang lain. Tampak batu hitam dari Nol yang digunakan menyerang makhluk gelap masih mengeluarkan pendar berwarna emas. Batu coklat dari Satu yang bersifat pasif juga tampak masih mengeluarkan pendar lemah. Batu putih dari sosok tadi tampak ikut berpendar, mungkin tidak mau kalah dari kedua yang lain.
*******
Khairi melanjutkan perjalanannya. Zakky dan Daffa tampak duduk terdiam di tanah. Kini bahaya akhirnya lewat, mereka berusaha menyerap dan memahami apa yang sebenarnya mereka alami beberapa jam terakhir. Keduanya memandang Khairi yang mendatangi dengan pandangan kosong.
“Saut sempat tersadar tadi,” kata Zakky.
“Tapi terus tertidur lagi,” Daffa melanjutkannya.
Khairi hanya mengangguk. Dia tidak perlu memeriksa dengan benang halusnya, terlihat aura Saut sudah stabil. Dengan kondisinya saat ini Khairi juga tidak mungkin melakukannya. Energinya terasa sangat minim, jika memaksa melakukannya mungkin dialah yang akan pingsan berikutnya.