Terawang

Catalysh
Chapter #27

Perjalanan (Bagian Pertama)

“Silakan masuk Non Khairi,” kata Pak Soleh sambil tersenyum lebar, badannya agak membungkuk seakan memberi hormat.

Saat itu Jumat sore setelah kuliah, tepat satu minggu setelah malam yang menegangkan di kampus. Khairi dan kelompok kecilnya berkumpul kembali dan bersiap akan berangkat ke perkebunan milik Syifa. Ayah Ayana kembali meminjamkan mobil dan pak Soleh. Karena jumlah mereka cukup banyak, kali ini yang dipinjamkan adalah mobil MPV (Multi Purpose Vehicle) mewah berukuran besar agar mereka dapat duduk nyaman. Daffa dan Saut mengapit Divit yang duduk di atas bantalan tanah di kursi paling belakang, sementara Zakky duduk di kursi depan di samping Pak Soleh. Khairi dan Ayana kebagian tempat di tengah dengan kursi individual yang dapat diatur.

“Pak Soleh sama aku aja nggak sesopan ini deh,” kata Ayana dari dalam mobil dengan nada mengecam.

“Habis gimana Non Ayana, Non Khairi lagi jadi trending topic di grup Whatsapp kita. Saya jadi bisa nyombong sama teman-teman,” jawabnya sambil tersenyum semakin lebar.

“Aku juga ikut membunuh makhluk itu, lho,” kata Ayana tidak mau kalah. Gadis itu menjulurkan tangannya menawarkan bantuan pada Khairi yang sedang menaiki mobil.

“Kalau Non kan wajar, dari dulu saya sudah tahu Non itu darah Suryanegaranya masih kental. Kalau Non Khairi ini kan dari galur murni Parikesit yang sempat hilang dari Keluarga, cucu Eyang Sumaya lagi,” jawabnya panjang lebar.

“Pak Soleh tahu nenek saya?” tanya Khairi sedikit terkejut. Dia sudah masuk dan duduk di tempatnya.

“Semua orang tahu, Non. Beliau itu salah satu yang terkuat di generasinya,” jawabannya terhenti karena dia menutup pintu lalu berputar dan masuk melalui pintu sopir. “Saya pribadi pernah bertemu sewaktu ditugaskan menjemput beliau. Waktu itu setelah kejadian sepuluh tahun yang lalu, Aliansi Keluarga mengadakan Sidang Agung Darurat. Semua tokoh yang sudah mengundurkan diri juga diminta hadir. Beliau itu ramah sekali, padahal beliau orang besar dan saya kan cuma sopir ya, apalagi waktu itu saya masih terhitung junior. Dipikir-pikir memang mirip ya sama Non Khairi. Buah memang jatuhnya nggak jauh dari pohonnya,” lanjutnya panjang lebar dengan penuh semangat sambil menjalankan kendaraan keluar dari kampus.

“Ya deh, aku mengalah. Kalau sama Khairi aku rela,” kata Ayana setengah merajuk.

Khairi tertawa sambil menggenggam tangan sahabatnya itu. Suasana saat itu sungguh berbeda dengan malam yang penuh kejutan itu. Gadis itu menarik napas panjang lalu melepasnya secara perlahan. Mereka memang butuh liburan. Seminggu kemarin mereka semua hampir setiap hari berkumpul dan membahas banyak hal. Saat ini semua sudah mulai mempraktekkan metode pernapasan yang tercantum dalam buku. Walaupun Zakky, Daffa dan Saut tidak memiliki bakat, tidak ada salahnya mereka mempelajarinya. Paman Khairi juga mengizinkan metode pernapasan darinya dijadikan dasar untuk belajar, bagaimanapun itu bukan sesuatu yang rahasia dan bahkan pelatihan offline dan online untuk metode tersebut ada ditawarkan di internet.

“Syifa kirim WA, katanya salam untuk semua dan ditunggu di sana,” kata Zakky sambil menoleh ke belakang. “Kita itu belum punya grup buat kita semua ya, aku buatkan deh,” lanjutnya.

Ayana dan Khairi berpandang-pandangan, sepertinya sudah ada dua grup yang ada Syifa dan mereka. Perbedaannya, yang satu ada Zakkynya, kenapa tidak menambahkan Daffa dan Saut di sana saja. Tapi mereka akhirnya tidak berkomentar, memang cukup wajar ada beberapa grup Whatsapp yang anggotanya cuma beda satu dua orang dan akhirnya semua orang sudah lupa mengapa dibuat seperti itu.

“Ngomong-ngomong,” kata Saut dari belakang, “Kita nggak makan dulu sebelum jalan?”

“Jam tiga itu makan apa, Saut,” sambar Ayana, seperti biasa dia tidak melewatkan kesempatan.

“Bukannya tadi siang kita sudah makan agak banyak, Ut?” terdengar Zakky menimpali tanpa menoleh ke belakang.

“Mungkin karena kebanyakan tadi, jadinya cepat lapar,” kata Saut membela diri.

“Nanti malam jangan makan kalau begitu, siapa tahu sampai besok pagi tetap kenyang,” kata Ayana sambil tersenyum sadis.

“Wah jangan, kalau lagi jalan-jalan gini makanan itu sekian kali lebih enak,” Saut menolak dengan tegas.

“Nanti jam setengah enam kita berhenti di Cianjur, Ut. Ada resto di sana yang aku pernah mampir waktu kecil dulu,” Khairi menengahi, tidak tega melihat Saut. “Sampai perkebunan Syifa di Sumedang juga mungkin disuruh makan lagi. Kau aman kok, malah pulang dari sini mungkin beratmu naik,” lanjutnya sambil tersenyum.

“Kita lewat puncak ya?” tanya Daffa.

Khairi mengiyakan sambil mengangguk. Dua hari terakhir dia dan Ayana dibantu oleh Syifa telah menentukan rute terbaik termasuk lokasi makan. Sayangnya Syifa harus berangkat lebih dahulu sebagai tuan rumah mereka, jika tidak tentu sangat menyenangkan bisa berangkat bersama. Teman mereka itu sudah berangkat di hari sebelumnya dan mengajukan izin absen dari kuliah hari ini. Teman-teman Syifa yang berencana ikut ternyata baru berangkat besok bersama Keluarga masing-masing. Khairi baru menyadari betapa besar jumlah dan pengaruh Aliansi Keluarga di kampus mereka, ketiga teman Syifa yang diundang ternyata masih bagian dari Aliansi. Tadinya memang hanya Khairi dan mungkin Zakky yang diundang dan bukan bagian dari Aliansi. Menurut Syifa, selain bahwa dia ingin merahasiakan soal pertunangan, ada kemungkinan banyak tamu dari Aliansi dan akan jadi pertanyaan jika teman yang diundang melihat atau mendengar hal yang tidak lumrah.

“Khai,” suara Ayana memecah lamunan Khairi.

Khairi menoleh ke arah Ayana lalu mengerutkan kening. Sahabatnya itu tampak sedang berpikir sambil menatap layar ponselnya. Tampaknya dia menerima suatu berita dan masih menyimaknya serta mempertimbangkan sesuatu. Ayana mengangkat kepalanya lalu menyeringai pada Khairi.

“Aku diberitahu ayahku. Tahu nggak, banyak yang menghubungi dia mencoba memperoleh nomor telponmu,” dia menarik napas lalu melanjutkan. “Siap-siap ya, di sana bakal banyak yang mencarimu untuk promosi,” katanya dengan serius.

Khairi tersenyum. Dia sadar bahwa posisinya cukup rumit saat ini. Bagaimanapun dia memang tidak akan memutuskan dengan terburu-buru.

“Ayah dan ibumu sudah tahu belum?” tanya Ayana lagi.

Ketiga teman mereka tampaknya tertarik ingin mendengar jawaban Khairi, Saut dan Daffa tampak memajukan tubuh ke depan sedangkan Zakky juga ikut menoleh. Khairi tertawa lagi. Mereka menjadi sangat akrab seminggu ini, sehingga sudah tidak terlalu sungkan satu sama lain.

“Ibuku pastinya belum tahu. Ayahku sepertinya baru kemarin tahu,” jawabnya. “Mendadak semalam Ayah mengajakku ke teras depan setelah makan malam. Dia sepertinya ingin berbicara mengenai hal ini, tapi akhirnya tidak jadi. Aku malah diceritakan tentang nenekku dan masa kecil Ayah. Cara Ayah bercerita agak berputar-putar dan beberapa hal agak disamarkan tapi intinya dia ingin aku tahu bagaimana nenekku sibuk bekerja dan terkadang meninggalkan kakekku, ayahku dan saudara-saudaranya selama berhari-hari. Sepertinya ada periode di mana Ayah memutuskan hubungan sama sekali dengan Keluarga. Baru setelah Maira lahir hubungan mereka pulih kembali. Mungkin Ayahku ingin aku melihat resiko yang harus ditempuh seseorang seperti nenekku, karena mungkin saja semua hal positif dan negatifnya akan aku hadapi nanti jika aku memilih jalan ini,” Khairi terdiam setelah memberikan penjelasan.

“Kalau aku tebak, dimulainya antara kelahiran kakakmu dan kau,” kata Ayana sambil mencubit bibir bawahnya.

“Kok bisa begitu? Ah ya, aku lupa, kau kan peramal juga,” kata Saut polos. “Walaupun sekarang aku sudah tahu kau dan Khairi bukan anak kembar. Lucu ya, waktu itu aku bisa percaya,” lanjutnya sambil tertawa sendiri.

“Ut, sebagai temanmu, aku malu,” kata Daffa sambil menepuk keningnya sendiri.

“Wajar dong,” kata Saut membela diri. “Eh, tapi yang tadi bagaimana tahunya?” dia tampak penasaran.

“Nama,” kata Ayana dengan wajah penuh kemenangan. “Sagara, kakakmu namanya berakar dari bahasa Sanskerta, tapi Khairi dan Saif akarnya adalah bahasa Arab. Sama seperti di keluargaku, Ayahku pernah bercerita, dia diberi nama Herman, nama Eropa, Jerman tepatnya. Itu karena kakekku sudah ingin keluar dari Keluarga. Sepertinya itu pola yang cukup umum. Aku malah jadi mencari-cari arti nama orang-orang yang kita kenal,” lanjutnya.

“Kakek dan nenekku juga dong kalau begitu,” kata Khairi, “Oom Kafi bukannya akar namanya bahasa Arab.”

Lihat selengkapnya