“Khai, kau dipanggil,” bisik Ayana.
Ayana memiringkan tubuhnya dan setengah bersembunyi di belakang Khairi. Tentunya hal tersebut tidak ada gunanya, sosok dengan batu permata merah di keningnya itu tetap bisa melihat Ayana.
“Iya, sepertinya begitu,” kata Saut. Kedua teman mereka yang lain tidak memiliki bakat yang cukup untuk bisa melihat, tapi mereka mulai terbiasa bahwa ada hal-hal di luar nalar yang akan terus mereka alami.
“Bukannya memanggil kita berdua ya, Ay?” kata Khairi sambil tersenyum simpul.
Sebenarnya gadis itu sedikit kesal, mengapa semua orang berasumsi kalau ada yang aneh-aneh pasti dia yang dituju. Khairi bangkit dan berjalan mendekati sosok itu. Restoran itu menjadi sunyi senyap, semua orang memperhatikan gadis itu dan tujuannya. Memang selain rombongan mereka dan rombongan Kusumawardana tamu lain sudah meninggalkan tempat. Hujan yang bertambah deras juga mengurangi kemungkinan akan ada tamu lain yang datang.
Khairi bergerak memutar sebuah meja bulat yang berada di antara mereka. Mendadak dia berhenti. Jari itu tidak mengikuti pergerakannya, tapi tetap menunjuk ke arah yang sama. Dia mengikuti arah jari tersebut. Ayana. Khairi meringis, kali ini giliran temannya. Ayana yang juga baru menyadari bahwa dialah yang ditunjuk wajahnya menjadi pucat. Dia menatap ke arah Khairi yang sedang berjalan kembali seakan mencari perlindungan.
“Aman kok,” kata Khairi setengah berbisik. Gadis itu sudah kembali berada di sebelah Ayana. “Aku tidak merasakan ada niat jahat darinya. Mungkin dia belum pernah melihat orang Jepang dan hanya penasaran,” katanya mencoba bercanda untuk menenangkan Ayana.
“Temenin,” kata Ayana pelan. Tampaknya dia agak panik.
Khairi mengangguk. Dia menggandeng Ayana yang sudah berdiri dari kursinya. Lagi-lagi kesunyian mengiringi perjalanan mereka. Hanya suara langkah kedua gadis itu dan sayup-sayup suara hujan di luar yang terdengar. Mereka tiba di meja besar yang menghalangi dan bergerak memutarinya. Kali ini telunjuk sosok itu mengikuti mereka. Ayana mendesah pelan, tampaknya dia berharap bahwa telunjuk itu tidak berpindah arah. Telunjuk itu terus mengikuti mereka sampai mereka memutari meja, lalu mendadak sosok itu mengangkat tangannya yang lain dan menunjukkan telapaknya ke arah Khairi.
“Kayaknya dia ingin aku cuma sampai sini, Ay,” kata Khairi.
Ayana mengangguk. Dia melepaskan tangan dari gandengan Khairi lalu maju sendiri. Khairi menarik kursi lalu duduk agak menyamping, dengan pandangan tetap mengarah kepada sosok itu. Ayana berjalan mendekat lalu berhenti sekitar dua meter darinya. Dia tetap menunjuk kepada Ayana, walaupun tangannya yang menghentikan Khairi sudah diturunkan sewaktu gadis itu duduk. Ayana menarik napas panjang lalu maju selangkah lagi. Sosok itu menurunkan tangannya.
Mereka bertatap-tatapan. Ayana tidak tahu harus berbuat apa. Dia mencoba melihat ke belakang ke arah Khairi. Sahabatnya itu memberi tanda dengan tangannya, mengusulkan agar dia memulai pembicaraan. Tapi dia harus mulai dari mana?
“Ah, halo, selamat sore, eh, malam,” katanya dengan gugup. Sosok itu tetap diam. “Aku Ayana, eh, salam kenal,” lanjutnya. Dia bahkan mengajukan tangan ke depan seakan mengajak bersalaman.
Melihat sosok itu tidak menanggapi Ayana hendak menurunkan tangannya. Mendadak sosok itu maju ke depan dan meraih pergelangan tangan Ayana. Tindakan itu mengejutkan banyak orang. Khairi langsung berdiri dan bersiap maju. Sebuah bunyi keras terdengar dari meja teman-teman Khairi, tampaknya Saut jatuh ke belakang. Di meja rombongan Kusumawardana tampak beberapa wanita berdiri dan maju selangkah. Ibu Praisa dengan cepat maju ke depan mereka dan memerintahkan untuk kembali duduk. Kedua teman Khairi yang lain tampak membantu Saut berdiri dengan wajah bingung.
Sosok itu memutar tangan Ayana yang gemetar. Ayana tidak melawan, selain karena terkejut, tangan sosok itu terasa dingin sekali seakan yang memegang pergelangan tangannya adalah capit dari batu es.
“Aneh,” kata itu keluar dari sosok tadi. Suaranya juga mirip dengan Nol dan Satu, tapi ada sesuatu yang berbeda, mungkin sedikit lebih emosional.
“Metode pernapasan yang aku latih memang berbeda,” kata Ayana. Dia menduga itu yang dimaksud oleh sosok tadi.
Sosok itu menggeleng. “Kau punya dua akar. Kau pasti belum berkunjung ke dunia itu jadi tidak tahu. Aku akan jadi Nolmu, kau tahu maksudnya ini kan?” tanyanya.
Ayana mengangguk, dia sudah banyak sekali memperoleh cerita dari Khairi.
“Baik,” katanya. Sosok itu lalu berbicara dengan suara keras, “Aku sudah menawarkan dan dia sudah menerima, aku akan jadi Nol-nya. Sudah diluruskan hari ini.”
”Eh, maksudnya aku mengangguk untuk menjawab aku tahu,” Ayana berusaha memprotes.
“Kau mau aku malu karena menarik lagi kata-kataku?” mata sosok itu berpendar merah seperti batu di keningnya.
“Tidak, tapi, ah, ya sudahlah,” Ayana menyerah.
“Bagus, akan menarik melihat Radha dan Ame memperebutkanmu,” mendadak dia tertawa. “Sebagai tanda jadi aku ada hadiah untukmu. Hmm, menarik, metode yang kau latih lebih mirip metode Ame, tapi entah bagaimana ada hubungan dengan metode Radha juga. Kau lebih suka warna merah, oranye atau kuning?” tanyanya.
“Eh? Merah, tapi kenapa?” tanya Ayana.
Sosok itu tak mengatakan apa-apa tapi tiba-tiba tubuh Ayana seperti disambar petir. Energi itu mengalir dari tangannya yang sedang dipegang dan menjalar ke tubuhnya. Awalnya menuju jantung tapi setelah tiba lalu turun ke bawah.
Ayana tidak jelas apa yang terjadi setelah itu dia hanya ingat bahwa dia langsung lemas. Begitu dia bangun dia berada di sebelah Khairi yang sedang mengompres keningnya.
“Apa yang terjadi?” tanya Ayana. Dia melihat ke sekeliling, sosok itu sudah pergi.
“Dia titip pesan, katanya dia sudah melakukan seperti yang kau minta, dan ada hadiah di tangan kananmu kalau kau bisa mengambilnya,” kata Khairi.
“Aku memangnya minta apa?” kata Ayana dengan bingung. “Lalu mana hadiahnya,” dia menjulurkan tangan lalu membalik-baliknya tanpa menemukan apapun.
“Dugaanku dia membuka sebuah tempat penyimpanan. Nolku juga melakukannya dulu,” ujar Khairi sambil berpikir. “Nanti aku ajarkan cara mengaksesnya. Butuh waktu, tapi aku yakin kau pasti cepat bisa,” lanjutnya.
Melihat Ayana sudah bangun, keempat wanita di meja kecil mendatangi mereka.
“Dia sudah menentukan dirinya sebagai Nolmu, kau beruntung,” kata Ibu Inge. “Hal ini belum pernah terjadi sebelumnya sejak aku jadi Kuncen di sini,” katanya lebih lanjut.
“Apakah Anda tahu apa yang terjadi barusan? Kenapa aku pingsan?” tanya Ayana.
“Dugaanku dia membantu mempercepat pembukaan Chakra pertamamu,” jawab Ibu Medha. Dia melihat ke arah Ayana lalu menatapnya dari atas kepala sampai ke bawah. “Betul, sepertinya yang sebentar lagi akan terbuka adalah Muladhara. Tanda-tandanya semakin jelas,” lanjutnya.
“Aku disuruh pilih warna, lalu aku pilih warna merah,” Ayana menjelaskan.