“Khairi, Ayana, sepertinya kita harus berbicara hari ini,” kata Ibu Medha kepada kedua gadis itu.
Dia mengajak mereka ke salah satu meja yang kosong, jauh dari orang-orang yang ada di rumah makan itu. Ibu Praisa mengikuti mereka lalu duduk di sebelah Ibu Medha. Kedua gadis itu duduk di seberang mereka dengan sedikit gugup. Sepertinya ramalan terhadap Caraka memiliki signifikansi yang tidak mereka pahami. Bahkan Ibu Medha tidak langsung berbicara, dia tampak diam sejenak seakan mempertimbangkan sesuatu. Mendadak sosok dengan permata merah di keningnya itu muncul kembali dan berdiri menempel di tembok tak jauh dari mereka. Dia tidak mengatakan apa-apa dan hanya menatap kepada Ibu Praisa yang tersenyum kepadanya dan mengangguk.
“Dia adalah Satu-nya Praisa,” kata Ibu Medha. “Kita punya hubungan yang cukup intim dengan para Dvarapala atau Penjaga Gerbang kita masing-masing. Baru saja Praisa memintanya untuk menjaga agar pembicaraan kita tidak dapat didengar. Praisa, mungkin lebih baik kau yang mulai bercerita kepada Khairi dan Ayana,” lanjutnya.
“Aku akan mulai dari sepuluh tahun yang lalu,” Ibu Praisa memulai sambil mengangguk. “Aku yakin kalian sudah pernah mendengar bahwa kita kehilangan banyak sekali anggota dari semua Keluarga karena kelalaian Ketua Muda Suryanegara. Sebelumnya Nawagraha kita, Sembilan Keluarga, selalu dipimpin oleh Suryanegara. Tapi karena kejadian itu, terjadi perpecahan dan beberapa Keluarga memutuskan untuk menolak kepemimpinan Suryanegara. Saat ini mungkin kau melihat bahwa Wirabuana didukung oleh beberapa Keluarga sedang berusaha mengajukan diri menjadi pemimpin Nawagraha. Hanya saja,” dia berhenti sejenak, ”waktunya sangat tidak tepat. Apa yang kalian ketahui mengenai Pergantian Era?” tanyanya.
“Yang kami tahu sewaktu mempelajari beberapa literatur saat mempersiapkan diri menerjemahkan tugas dari Kieran, ada yang disebut Yuga atau Era dalam kebudayaan Sanskerta yang berhubungan dengan semacam peperangan saat Pergantian Era,” jawab Khairi.
“Baik, bayangkan Era yang sangat panjang dalam Yuga masih dibagi lagi menjadi iterasi siklus Era yang lebih pendek, misalnya hanya beberapa puluh atau ratus tahun. Era itulah yang akan berganti saat ini, dan seperti juga di penghujung Kali Yuga, Pergantian Era kecil ini akan ditandai dengan perang. Sepuluh tahun yang lalu hanyalah satu pertempuran yang dapat dikatakan terjadi di luar jadwal. Biarpun kita kehilangan banyak sekali anggota Keluarga, tidak ada apa-apanya dibandingkan perang yang akan kita hadapi sebentar lagi,” Ibu Praisa berhenti untuk menarik napas.
“Walaupun begitu, kita kehilangan begitu banyak orang dari generasi yang seharusnya saat ini menjadi pimpinan dalam Keluarga. Guruku Ibu Santi, ibunya Syifa, hanyalah satu dari sekian korban. Kakak Kieran, sepupu Caraka, dan banyak lagi pilar masa depan dari semua Keluarga meninggal di hari itu,” katanya dengan mata berkaca-kaca. ”Aku juga ada di pertempuran itu. Tidak seharipun aku tidak ingat wajah mereka yang berkorban di hari itu agar segelintir dari kami dapat selamat,” Ibu Praisa menundukkan kepala.
“Setelah pertempuran itu, kita mengadakan Sidang Agung Darurat,” Ibu Medha mengambil alih cerita, memberi kesempatan Ibu Praisa untuk menenangkan diri. “Hasil Sidang, generasi di bawahnya disiapkan lebih cepat untuk mengisi tempat yang kosong. Kieran, Caraka dan Ajani, yang waktu itu masih seumur kalian termasuk generasi ini. Selama bertahun-tahun setelahnya pelatihan para prajurit juga jadi dimulai jauh lebih cepat. Amala dan Kendra sudah memulai latihan bahkan sebelum mereka kuliah. Mereka yang bakatnya terbatas dan biasanya akan ditolak pun terpaksa dilatih. Saat ini secara jumlah kita sudah mendekati, tapi secara kualitas, masih cukup jauh,” paparnya lebih lanjut.
“Masih berapa lama sebelum pertempuran besar terjadi?” Khairi memberanikan diri bertanya.
“Tidak ada yang tahu,” jawab Ibu Medha. “Tapi menurut salah satu Sahasrara, paling lama lima tahun. Sahasrara ini nama Chakra yang ada di ubun-ubun, seperti kau tahu kita cenderung menyebut nama Chakra sebagai nama golongan. Mereka ini punya daya penglihatan masa depan. Sepertimu,” lanjutnya sambil menatap tajam pada Khairi.
“Eh, aku kan Ajna, Mata Ketiga,” kata Khairi bingung.
“Aku membaca laporan Amala,” kata Ibu Praisa. “Kau bisa mengeluarkan semacam benang halus dari Mata Ketigamu kan? Apa warnanya?” tanyanya lebih lanjut.
“Emas,” jawab Khairi. “Mengapa? Apakah tidak wajar?” tanyanya bingung,
“Ayana merah, Syifa hijau, sesuai dengan warna Chakranya. Ajna seharusnya nila atau indigo. Sahasrara biasanya ungu muda atau putih. Hanya dalam kasus sangat khusus yaitu sudah mencapai pencerahan tahap tinggi, warnanya berubah menjadi emas,” kata Ibu Medha perlahan. “Selain itu, bakat meramal memang umum diasosiasikan dengan pemilik Mata Ketiga, tapi perbawamu saat meramal tadi bukan milik Ajna,” lanjutnya.
“Apakah ini sesuatu yang buruk?” tanya Khairi.
Kedua wanita di hadapan Khairi saling memandang. Tampaknya mereka masih tidak yakin. Ibu Medha menarik napas panjang lalu menolehkan kepalanya kembali ke arah Khairi.
“Saat ini ada yang belum dapat kami ceritakan padamu, Khairi,” jawabnya. “Kami hanya ingin kamu percaya bahwa kami ingin yang terbaik, bukan hanya untuk Aliansi Keluarga, tapi juga untuk dirimu,” lanjutnya.
“Mana yang butuh bantuan?” tiba-tiba terdengar suara dari arah pintu masuk.
Semua orang menoleh ke sana. Tampak tiga orang gadis berjalan masuk ke dalam. Yalini, Amala dan Kendra. Mereka langsung menuju meja tempat Zakky bertiga masih dengan patuh menghabiskan makanan.
“Kata Caraka tadi kalian butuh bantuan, apa sebenarnya maksudnya?” tanya Yalini.
“Tidak kok, kami baik-baik saja,” kata Daffa bingung.
“Eh iya, betul kami butuh bantuan,” kata Zakky cepat-cepat. “Kalian belum makan kan? Bantu kami habiskan ya?” nada dan wajahnya sama memelasnya.
“Nggak mau, itu sudah dingin semua,” kata Yalini.
“Anggap saja kita tentara di medan perang,” kata Kendra. “Ya nanti kami bantu deh,” lanjutnya.
Kedua gadis itu lalu mengikuti Amala yang sudah berjalan lebih dulu ke arah Ibu Medha.
“Kita lanjut besok di perkebunan,” kata Ibu Medha kepada Khairi dan Ayana. “Oh, ya, ini buatmu, di jaketmu ada kantong dalam kan,” katanya pada Khairi sambil menyerahkan sebuah benda pada Khairi.
Khairi menerimanya dan wajahnya menjadi agak bingung. Wedang jahe instan yang dibungkus dalam kemasan kertas yang dimasukkan ke sebuah paket kecil.
“Supaya tetap hangat,” kata Ibu Medha.
Walaupun tidak memahami, tapi Khairi mengangguk dan memasukkan bungkusan itu ke kantongnya. Pada saat itu ketiga gadis yang lain tiba.
“Aku pikir kalian akan tertahan oleh banjir,” kata Ibu Praisa sambil tertawa kecil.
“Kendra yang bawa mobil. Aku sih cuma pasrah,” Amala menggeleng-gelengkan kepalanya, “Lain kali aku yang bawa deh. Biar kita lebih panjang umur.”
Pada saat itu tampak pelayan membawa troli berisi makanan dari arah dapur.