“Kenapa namanya Paviliun Hijau? Apa ada Paviliun Biru atau Merah misalnya?” tanya Zakky.
Mereka sedang berjalan bersama di lorong menuju bagian belakang rumah besar bertingkat dua itu. Sepanjang jalan ada pintu yang harus dibuka dengan kunci. Analisis Daffa entah kenapa cukup tepat sasaran, rumah itu seakan benteng yang memiliki pintu berlapis yang sulit ditembus. Ditambah kenyataan bahwa tidak ada jendela sepanjang lorong yang sedang mereka jalani.
“Iya, ada,” jawab Syifa. “Ada tujuh gedung seperti ini dibangun membentuk setengah lingkaran, urutannya sesuai warna pelangi,” lanjutnya.
“Sama dengan warna Chakra juga,” kata Khairi.
Gadis itu sibuk mempelajari berbagai hal yang berhubungan dengan dunia barunya sehingga pengetahuan seperti itu keluar hampir secara otomatis.
“Eh, benar juga ya, aku tidak pernah terpikir ke arah sana,” Syifa berkata sambil menoleh ke Khairi. “Hijau itu urutan ke empat jadi paling jauh dari rumah utama, ada tiga di kanan dan tiga di kiri, yang kita lewati tadi. Tapi sebenarnya, rumah ini yang pertama kali dibangun setelah rumah utama,” papar Syifa sambil mengajak mereka menaiki tangga.
“Semua kamar ada di atas?” tanya Ayana. Gadis itu berjalan mengikuti Syifa.
“Iya, tapi kalau lorong belakang ini diteruskan ada dua ruangan lagi di sana,” jawab Syifa. “Satunya semacam ruang tempat Eyangku menyimpan koleksi pribadinya dan satunya lagi dulu digunakan untuk melakukan inisiasi. Memang rumah ini agak aneh. Tidak ada jendela di lantai satu, semuanya di lantai dua. Selain itu semua jendela juga dipasang terali. Tadi siapa yang bilang rumah ini seperti benteng? Memang ada benarnya,” lanjutnya sambil menengok ke bawah dari puncak tangga.
“Inisiasi? Inisiasi apa, Syifa?” tanya Ayana.
“Tempat ini dulu pernah dijadikan tempat pelatihan prajurit baru. Jadi ini seperti yang kau lakukan dengan Nol-mu, Khairi,” jawabnya sambil berpikir. “Bukankah kalau sedang menyeberang seseorang akan semacam mati suri? Aku pernah masuk, dalam kamar itu ada meja batu yang disekelilingnya dibangun panggung kayu. Jadi Nol yang bentuk fisiknya adalah sebuah benda yang bisa dipindahkan akan dibawa ke ruangan itu dan diletakkan di meja batu. Nah ini yang seru, terkadang bisa tiga atau empat orang akan melakukan inisiasi bersama. Mereka akan duduk bersila mengelilingi Nol dan melakukan ujian inisiasi mereka. Akan ada seseorang yang ditugaskan untuk menemani dan menjaga mereka, memastikan mereka tidak terganggu selama proses tersebut,” paparnya.
“Syifa, apa pernah dapat info umumnya berapa lama proses inisiasi dilakukan,” Khairi tiba-tiba terpikir untuk bertanya.
“Menurut cerita Pak Asep bisa beberapa hari,” jawab Syifa, ”Katanya yang paling berat itu ujian di awalnya, untungnya jalannya waktu di dunia itu dan di dunia kita berbeda. Terkadang butuh berminggu-minggu atau bahkan berbulan-bulan di dunia itu untuk menyelesaikan seluruh rangkaian ujian.”
Khairi terperangah dan menghentikan langkahnya, untungnya teman-teman yang lain berjalan santai dan menjaga jarak sehingga tidak menabraknya. Sepertinya jalan yang ditempuhnya di proses inisiasi sangat singkat. Sejak ujian awal sampai dia kembali memasuki pusaran mungkin hanya sekitar satu hari di dunia itu.
“Selain itu bisa berminggu-minggu juga untuk mencapai tahap awal dan diperbolehkan kembali oleh pelatih kita di sana,” lanjut Syifa. “Jadi terkadang seluruh proses inisiasi menurut waktu dunia kita bisa mencapai satu sampai dua minggu, terkadang ada yang sampai satu bulan,” lanjutnya.
“Ada juga yang tidak kembali ya,” kata Khairi perlahan. Dia juga sudah sampai di puncak tangga.
“Betul,” tegas Syifa. “Proses inisiasi penuh dengan resiko. Jika dalam satu bulan dia tidak kembali, umumnya dia tidak akan pernah kembali lagi. Penjaga akan berusaha sekeras mungkin untuk memastikan tubuhnya tidak rusak, tapi sangat sulit mempertahankan tubuh yang ditinggal sukmanya lebih dari satu bulan. Selain itu ada juga yang kembali tapi jiwanya terganggu. Aliansi Keluarga punya rumah sakit khusus untuk merawat mereka ini,” lanjutnya sambil menerawang.
“Ya, aku bertemu seorang petarung wanita yang sukmanya sudah terdampar di dunia itu mungkin lebih dari beberapa ratus tahun dunia kita. Aku tidak akan pernah melupakannya, wajahnya penuh penderitaan. Andaikan saja aku tahu cara membantunya,” kata Khairi sedih. Dia kembali mengingat sosok wanita yang diduganya berasal dari Thailand atau negara-negara tetangganya tersebut. Dia berjanji dalam hati akan menanyakan pada Radha atau Ratu apakah ada yang bisa dilakukannya untuk membantu.
“Berarti persiapan kita harus benar-benar matang sebelum masuk ke sana. Tidak bisa setengah-setengah,” kata Ayana. Mata gadis itu memancarkan keteguhan hatinya.
“Aku percaya kok dengan kedua sepupu-sepupuku ini,” kata Khairi sambil tersenyum. “Aku tidak bisa cerita terlalu detail ya, terutama soal ujiannya. Selain bisa saja tiap orang berbeda ujiannya, menurut pendapatku ada hal yang memang harus kalian temukan sendiri agar pemahamannya maksimal,” lanjutnya.
Kedua teman sekaligus keluarga jauhnya itu mengangguk. Mereka juga paham hal tersebut.
“Nah kita sudah sampai, ini kamar nenekku dan ini kamar tamunya,” kata Syifa sambil menunjukkan dua kamar yang bersikuan. “Kita bertiga di kamar nenekku ya. Cowok-cowok di kamar tamu,” lanjutnya.
“Sebulan berapa ya? Ada kamar mandi dalam? WiFi? Di depan ada minimarket dan laundry kiloan nggak?” tanya Zakky berusaha melucu.
“Gratis, asal mau bantu di perkebunan tanpa digaji, dapat makan tiga kali sehari juga,” jawab Syifa menanggapi sambil tersenyum.
“Mau deh,” kata Zakky tanpa pikir panjang.
“Hus hus, sana cowok-cowok ke kamar kalian,” kata Ayana sambil mengibas-ngibaskan tangannya seperti mengusir ayam. “Khai, aku mau minta diramal nanti ya, setelah mandi,” lanjutnya.
“Eh, aku mau lihat, nanti di ruang tengah ini saja ya,” kata Saut bersemangat sambil menunjuk meja bulat besar yang ada di ruang di depan kedua kamar tersebut.
Khairi mengangguk sambil menarik koper kecilnya masuk ke kamar yang akan mereka tempati. Entah kenapa saat melintasi pintu dia merasa seperti ada seutas benang terputus oleh tubuhnya. Lalu benang itu kembali tersambung di belakangnya. Dia juga merasa menyeberang dari zaman modern ke zaman yang sudah lampau. Di hadapannya terdapat sebuah tempat tidur tua yang sangat besar. Di sisi sebelahnya ada sebuah tempat tidur yang lebih kecil. Sebuah lemari kuno dan meja yang kokoh mengisi kamar tersebut. Di meja tersebut sudah tersedia seperangkat poci berisi teh dan cangkir-cangkirnya. Gadis itu tertegun sejenak, entah mengapa dia merasa pernah melihat ruangan ini sebelumnya.
“Nanti aku berdua di tempat yang berdua dengan Ayana ya. Khairi nanti di tempat tidur kecil ya, aku yakin kau pasti memilih di sana,” kata Syifa.
“Eh, mengapa?” tanya Ayana penasaran.
“Pak Asep bilang dia diceritakan pendahulunya bahwa Eyang Sumaya kalau datang akan menginap di kamar ini, bukan di kamar tamu. Mereka biasa ngobrol sampai malam sekali dan sekali-sekali minta tambahan teh dari pengurus dapur pribadinya dengan membunyikan bel ini,” Syifa menunjukkan sebuah tali yang tergantung di dinding.
“Yang paling penting ada dua, pertama, Eyang Sumaya biasa tidur di tempat tidur kecil ini,” gadis itu sengaja berhenti dan menatap Khairi. “Dan kedua, dia pernah membawa seorang gadis kecil yang manis,” katanya dengan nada penuh kemenangan.
“Eh? Jadi Khairi sudah pernah menginap di sini?” tanya Ayana.
“Sangat mungkin,” jawab Syifa.
“Bisa aku, bisa juga Kak Ajani, bisa juga dua-duanya pernah. Tergantung kapannya, usia kami beda sekitar sepuluh tahun,” kata Khairi. “Tapi, aku tadi masuk dan merasa pernah melihat ruangan ini sebelumnya, jadi memang sepertinya aku pernah diajak Eyang menginap di sini,” gadis itu mendekat lalu mengelus tempat tidur itu.
Khairi berharap bahwa ingatannya akan terpicu, tapi saat itu tidak ada yang terjadi. Mungkin dia sudah terlalu lelah hari itu atau mungkin memang tidak ada yang sangat berkesan sehingga tidak ada yang dia ingat. Gadis itu melihat ke sekeliling dan menduga bahwa penyebab yang pertama lebih mungkin, tidak mungkin ruangan seperti ini tidak berkesan buat diri kecilnya.