Terawang

Catalysh
Chapter #32

Penjelajahan (Bagian Pertama)

“Kita sarapan di mana?” tanya Saut pada kedua temannya. Sepertinya dia berusaha melirihkan suaranya, hanya saja dalam jarak sedekat itu usahanya pastilah sia-sia.

Zakky mengeluh. Dia sedang memegang ponsel untuk mengambil gambar ketiga gadis yang berpose di tengah tangga. Konsentrasinya terganggu sesaat, tapi dia segera melanjutkan tugasnya.

“Kalau di perkebunan biasanya orang nggak sarapan, Ut,” kata Ayana dengan wajah serius. “Bangun pagi biasanya langsung ke kebun, kerja. Kalau kerjanya bagus baru dapat makan siang, kalau nggak cuma dapat makan malam,” lanjutnya sambil menuruni tangga bersama Khairi dan Syifa.

“Masa sih? Waktu kecil aku pernah diajak ke perkebunan kopi di Sidikalang sama Ompung, sarapan lappet di sana. Aku boleh tambah sebanyak-banyaknya,” Saut menanggapi dengan nada tidak percaya.

“Beda propinsi, Ut,” kata Daffa. Dia menolehkan kepala agar tidak terlihat menahan tawa.

“Mana ada di Indonesia orang nggak sarapan,” Saut melanjutkan protesnya. Tampaknya dia cukup persisten kalau menyangkut makanan.

Khairi menatap ke arah Saut. Mereka memang sering mengganggu Saut, tapi seminggu ini memang tampaknya Saut agak berbeda, bahkan nyaris aneh. Untuk hal tertentu terlalu mudah, tidak seperti layaknya seorang mahasiswa. Apakah dia sengaja untuk melucu? Ataukah ada sebab lain? Gadis itu diam-diam menjalankan metode pernapasannya lalu menutup dan membuka mata. Seketika waktu di sekitarnya seperti melambat. Dia melihat ke arah temannya, aliran energi di tubuh Saut terlihat normal. 

Saat dia hendak menghentikan pemeriksaannya mendadak dari sudut matanya Khairi melihat ada sebuah kerlipan memancar dari arah jantung temannya itu. Khairi melancarkan benang emas yang sangat halus dari Mata Ketiga. Dia menjalankan benang tersebut menembus bekas luka di leher yang kini sudah tertutup sempurna, lalu turun melalui pembuluh darah. Jalur itu terasa familier, itu jalur yang ditempuhnya berkali-kali malam itu. Di ujung jalur tersebut ada jantung Saut yang sempat terkontaminasi darah makhluk gelap. Kerlipan itu berasal dari benda yang menempel di dinding bagian dalam jantung temannya itu. Jika Khairi tidak salah ingat pelajarannya waktu sekolah dulu, ini adalah serambi kanan. Tampaknya ada sebuah benda seperti kristal transparan yang sangat kecil di sana. Dia yakin sekali benda itu tidak ada malam itu. Benang emasnya mencoba membungkus kristal itu, berhasil. Dia sedang memikirkan bagaimana mengeluarkan kristal itu dari tubuh Saut saat intuisinya tergelitik. Kristal yang ada di dalam gelungan benang emas terasa tidak rata, seakan patahan dari sesuatu. Khairi memutuskan memeriksa lagi aura Saut, benar ada satu titik yang auranya berbeda. Posisinya kira-kira di atas ginjal. Khairi membuat cabang dari benang emasnya di dalam pembuluh darah lalu membelok menuju lokasi tersebut. Tampak sebuah kristal yang hampir sempurna terbungkus, tertanam di dinding bagian dalam. Sepertinya yang sekarang ada dalam jantung adalah serpihan dari benda ini. Sekilas, benda ini sudah ada dalam tubuh Saut sejak lama dan sudah menyatu. Kejadian minggu lalu membuatnya terbuka dan menyerpih.

Khairi yang khawatir langsung bertindak, dia langsung mengambil botol Attar, menaruh satu tetes di telapak tangannya. Benang halus dari mata ketiganya melengkung dan menyentuh tetesan itu serta langsung membawanya memasuki tubuh Saut melalui jalur yang sudah dibuat. Tetesan itu langsung dilancarkan ke arah kristal tadi, melewati serpihannya yang kini sudah ditarik dan dipindahkan ke jalur yang dilewati Attar. Kristal itu maupun serpihannya langsung berpendar dan memancarkan warna pelangi. Tapi hanya itu, setelah beberapa saat pendar itu semakin samar dan akhirnya hilang. Gadis itu menarik benang emasnya keluar, serpihan kristal ikut keluar bersama benang emas. Khairi melihat pecahan kristal di tangannya sambil berpikir.

“Khai, apa, apa yang terjadi barusan?” tanya Ayana. Matanya terbelalak.

Syifa, Saut dan Divit yang dapat melihat benang itu juga tampak kaget. Mereka melihat Khairi bergerak dengan kecepatan tinggi, dari saat dia mulai mengirimkan benang sampai dia berhenti hanya membutuhkan beberapa detik saja.

“Ut, apa kau merasa ada yang aneh dengan tubuhmu?” tanya Khairi.

“Selain aku lapar terus? Nggak ada,” jawabnya sambil menatap ke atas. “Oh ya, ada, kalau aku mencoba berpikir keras terkadang aku malah jadi tertidur sekilas,” lanjutnya.

Wajah Khairi berubah, mungkinkah dia harus memeriksa lebih detail? Tapi entah kenapa reaksi terhadap Attar tadi sedikit membuatnya lebih tenang.

“Lokasi tadi Itu kelenjar anak ginjal atau kelenjar adrenal namanya,” kata Divit yang berdiri di samping Khairi. Tampaknya dia bisa mengikuti tindakan Khairi tadi. “Memang bisa punya pengaruh ke otak, agak panjang ceritanya, nanti aku jelaskan,” lanjutnya.

“Oh ya, Kak Divit kedokteran ya,” kata Khairi.

“Ada yang kau khawatirkan, Khai?” tanya Ayana.

“Ya, nanti aku jelaskan,” kata Khairi. Dia tidak mau membuka hal ini dulu untuk saat ini. “Tapi Ut, selama kita di sini, jangan jauh-jauh dari aku, dan kalau ada apa-apa, pusing atau ada yang aneh, langsung bilang ya,” tegasnya.

“Kalau lapar bilang juga?” tanya Saut polos.

“Nggak perlu,” sergah Ayana, “yang ada tiap lima menit kau bakal ganggu Khairi.”

“Ok,” kata Saut sambil berjalan mendekati Khairi. Dia berhenti sekitar setengah langkah di samping gadis itu.

“Nggak sedekat itu juga, Saut,” Syifa berkata sambil tertawa, “Ada konsep personal space, lho, ngaco deh.”

“Oh,” kata Saut sambil mundur selangkah.

“Lima meter masih aman kok, Ut,” kali ini Zakky yang tidak tahan untuk ikut berkomentar.

“Ok, paham,” kata Saut sambil mundur lagi.

Masih sambil tertawa dan menggeleng-gelengkan kepala Syifa memandu mereka ke pintu depan melalui beberapa pintu berlapis. Setiap kalinya dia membuka dan mengunci pintu yang mereka lewati.

“Syifa, ini memang harus langsung dikunci lagi begitu lewat? Waktu semalam aku pikir karena sudah malam langsung dikunci,” tanya Ayana penasaran.

“Iya ya, aku baru sadar agak aneh,” kata Syifa. “Tapi ini ajaran Eyang dulu, jadi secara otomatis masih aku lakukan,” lanjutnya.

“Kau cukup dekat dengan nenekmu ya?” kata Khairi.

“Iya, waktu kecil ibuku sering pergi untuk menjalankan misi. Setiap kali aku akan dititipkan ke Eyang,” mata gadis yang berperasaan halus itu mulai berkaca-kaca, “Sedih sekali waktu Eyang meninggal, apalagi tidak lama setelah itu Ibu juga meninggal. Bisa dibilang aku dekat dengan keduanya, tapi dengan cara yang berbeda. Aku akrab sekali dengan ibuku, tapi saat bersama Eyang ada sesuatu dalam diriku yang-” dia terhenti sejenak mencari kata-kata sebelum melanjutkan, “beresonansi? Mungkin itu istilah yang tepat ya.”

“Seperti yang kau bilang kemarin, nama eyangmu, Jivya, dan versi lain namamu, Shifa, memang berhubungan dengan kehidupan dan penyembuhan,” kata Khairi sambil menatap lukisan nenek Syifa.

Tak terasa mereka sudah tiba di ruang paling depan dari rumah itu. Syifa membuka pintu depan dengan kunci terbesar dari renteng yang dia pegang. Saat pintu terbuka tampak ada yang seakan sudah menanti mereka di sana.

Seekor kucing.

Kucing itu langsung mendekati Syifa dan menengadahkan kepalanya. Syifa mengangkat kucing tersebut dan memeluknya.

“Tahu aja aku lagi di sini,” kata Syifa sambil mencium kepala kucing tersebut.

“Namanya siapa?” tanya Zakky sambil berusaha mengelus kepala kucing tersebut. Sayangnya kucing tersebut mengelak.

“Keyla,” jawab Syifa sambil mengangkat salah satu kaki depan kucing itu dan melambai-lambaikannya. “Keyla ayo kasih salam ke semua,” katanya dengan lembut.

Kucing itu mengeong. Dia menatap teman-teman Syifa secara bergantian, termasuk Divit yang ikut melambai-lambai. Mendadak kucing itu meronta dan turun dari pelukan Syifa. Dia berjalan ke arah Khairi. Gadis itu berjongkok dan mengajukan tangan kanannya ke depan. Tangan itu dibentuk seperti kepalan, tapi sendi jari telunjuknya sedikit diajukan ke depan. Kucing itu menyentuhkan hidungnya ke sendi jari itu dan menjilatnya sekilas.

Betul begitu, Khairi,” mendadak penglihatan gadis itu terpicu.

Tampak Khairi kecil sedang berjongkok dan melakukan hal yang sama dengan hal yang sedang dia lakukan. Kucing di hadapan Khairi kecil juga mirip sekali dengan kucing di hadapannya. Suara itu adalah suara Eyang Sumaya yang sedang berdiri di sebelah wanita yang ada di lukisan di ruang depan, Eyang Jivya. Hanya saja Eyang Jivya yang tampak di sini sudah berumur jauh lebih tua dibandingkan dengan di lukisan.

Wah, Keyla langsung suka denganmu, Khairi cantik,” terdengar suara Eyang Jivya.

Lihat selengkapnya