Terawang

Catalysh
Chapter #33

Penjelajahan (Bagian Kedua)

“Daffa, semangat,” kata Syifa sambil meletakkan ransel di atas batu lalu merenggangkan tubuh sebelum duduk di sebelah Khairi dan Ayana yang sudah duduk terlebih dahulu.

“Berat ya? Mau aku bawakan?” tawar Zakky yang sepanjang jalan tidak pernah jauh dari gadis itu.

Mereka sebenarnya sudah hampir tiba ke puncak bukit yang mereka tuju. Menurut Syifa, tak sampai lima belas menit lagi seharusnya mereka sudah tiba. Hanya saja Daffa tertinggal agak jauh dan terlihat kelelahan sehingga diputuskan untuk berhenti sekali lagi.

“Nggak perlu kok,” jawab Syifa sambil tersenyum. “Ranselnya ringan banget, isinya yang paling berat cuma walkie talkie kecil. Jaga-jaga kalau kita tidak dapat sinyal,” lanjutnya. 

Gadis itu membuka tasnya dan menunjukkan perangkat yang dimaksud. Walkie talkie itu kecil, mungkin hanya seukuran telapak tangan.

“Ini jaraknya maksimal sekitar lima kilometer lho. Sebentar, aku mau periksa apa makanan kita sudah siap,” kata Syifa.

Saut yang baru tiba bersama Daffa langsung mengacungkan jempol dengan semangat.

Syifa memutar sebuah tombol di bagian atas walkie talkie, terdengar suara dalam bahasa Inggris dari alat tersebut, “Fifteen.”

“Kalian sudah pernah pakai walkie talkie? Ini untuk menyalakan sekaligus volume. Ini tombol channel,” Syifa menunjuk dua tombol dengan tanda panah naik dan turun. “Di Keluarga ada aturan, channel satu sampai sembilan dikosongkan untuk dipakai koordinasi masing-masing Keluarga jika dibutuhkan. Sepuluh adalah channel untuk koordinasi umum. Sebelas dipakai koordinasi tuan rumah atau acara. Dua belas ke atas dipakai tim kecil. Nah, yang ini tombol untuk bicara. Ditekan kalau mau bicara, terus dilepas supaya bisa mendengarkan kalau ada jawaban.”

Gadis itu menekan tombol bicara, “Mang Adjat, ini Syifa, apa sudah tiba?”

Selang beberapa detik setelah gadis itu melepaskan tombol terdengar jawaban dari alat itu, “Sudah Neng Syifa, rumahnya sudah bersih, ini lagi ditata makanannya. Paling lima menit juga selesai.” Suaranya terdengar mengalun dengan logat Sunda yang kental.

“Kami sekitar lima belas menit lagi tiba. Ditunggu sebentar ya, Mang,” kata Syifa sambil menekan lagi tombol bicara.

Terdengar jawaban Mang Adjat memberikan konfirmasi. Syifa menyimpan kembali walkie talkie ke dalam tas lalu menatap ke arah Daffa yang duduk terkulai di rumput. Yang lain ikut melihat ke arah teman mereka itu.

“Aman kok, lima menit lagi kita lanjut,” kata Daffa.

“Berarti waktunya foto-foto lagi,” kata Zakky dengan semangat, “Yuk kumpul di sekitar Daffa, habis itu kita ke batu yang bentuknya aneh ini.”

Dia langsung memasang tripod dan mengambil tempat di sebelah Syifa. Tampaknya dialah yang paling senang dengan penjelajahan mereka hari ini. Entah sudah berapa banyak foto bersama dengan dia berada di sebelah Syifa, belum ditambah beberapa foto yang hanya berdua. Gadis itu pun tampaknya tidak keberatan dengan usaha Zakky, dia selalu tersenyum cerah di semua foto itu. Khairi dan Ayana saling melempar pandang diam-diam, tampaknya kedua teman mereka itu semakin dekat. Tinggal apakah mereka bisa membatalkan keputusan perjodohan untuk Syifa.

Mendadak Khairi yang sedang berpose dengan jari membentuk hati bersama Ayana tertegun. Seperti ada yang bergerak ke arah mereka dan masuk dalam jangkauan penglihatan mata ketiganya. Hal ini bukan seperti ancaman yang dia rasakan dari makhluk gelap yang ditemuinya di kampus maupun dari restoran Jepang. Tapi dia bisa memastikan bahwa ini bukan orang biasa yang kebetulan lewat. Batu putih dari Satu yang ada di dalam tempat penyimpanan langsung muncul dalam genggaman tangannya yang lain. Gadis itu dengan cepat mengaktifkan kekuatan batu itu. Selama satu minggu ini dia sudah berlatih dan kini dia sudah lebih paham cara menggunakan batu itu untuk menyembunyikan aura. Khairi juga menarik Ayana dan Syifa agar berada hampir menempel dengannya dan dengan kalimat singkat meminta Divit agar menjauh dari mereka. Mata gadis itu melihat ke kejauhan, tampak serombongan orang datang ke arah mereka. Gadis itu mengenali wajah mereka.

“Orang-orang yang tadi kita lihat sedang ke sini. Entah kenapa aku berpikir sebaiknya kita tidak menunjukkan kita siapa,” kata Khairi perlahan.

“Apa ada yang berbahaya untuk kita?” tanya Syifa dengan wajah khawatir.

“Aku tidak yakin,” kata Khairi. “Hanya saja lebih baik berhati-hati. Kalau pun ternyata mereka anggota Keluarga, akan sangat mengganggu kalau mereka mencari alasan untuk mengikuti kita,” lanjutnya.

“Serahkan padaku,” kata Zakky, ”Aku yang akan berbicara.”

Khairi dan kedua gadis yang lain kembali duduk di rumput di sebelah Daffa dan Saut. Syifa membalikkan badan lalu membuka tasnya kembali dan mengambil walkie talkie, dia mengucapkan beberapa kata pada Mang Adjat dan memintanya untuk bersiap. Zakky dengan santai berdiri bersandar pada sebuah batu setinggi meja sambil melihat ponselnya menghadap ke arah orang-orang yang sedang mendatangi mereka. Entah kenapa Keyla yang tadinya berada di kaki Syifa ikut naik ke batu tersebut lalu duduk sambil menjilat bulunya.

“Punten aa,” sapa seorang pemuda yang kira-kira seumuran dengan mereka. Di sebelahnya seorang pemuda yang kira-kira seumuran ikut maju.

“Eh, Mangga?” jawab Zakky dengan nada tidak yakin. Dia memang tidak terlalu tahu bagaimana tata cara bertegur sapa dalam bahasa Sunda.

“Bukan orang sini ya, Kang?” tanyanya lagi.

“Bukan, kita mahasiswa pecinta alam dari Jakarta,” kata Zakky.

“Oh begitu. Kok ke sini? Di sini hitungannya masih bukit, bukan gunung. Kayaknya belum pernah ada mahasiswa pencinta alam ke sini,” katanya dengan mata penuh selidik.

“Bawa anak baru. Mulainya ya dari yang rendah dulu, kalau sudah bisa baru makin tinggi dan makin tinggi,” elak Zakky. Nada suaranya mulai naik.

“Menginap di mana?” teman di sebelahnya ikut mencecar.

“Di salah satu Agrowisata,” jawab Zakky dengan suara yang mulai ketus, “Ada apa ya, kok bertanya terus? Mas Ketua RT di sini?”

“Oh bukan, tapi-” kalimatnya terhenti dan dia menatap pada laki-laki di belakangnya seakan hendak meminta persetujuan.

Khairi yang duduk di tanah memperhatikan rombongan itu dari sudut matanya. Selain kedua pemuda itu ada empat laki-laki berkacamata hitam. Bisa dibilang keempatnya mengenakan pakaian berwarna gelap dari topi sampai sepatu. Wajah mereka sulit dilihat karena topi dan kacamata hitam tersebut. Hanya saja, sekilas mereka juga pendatang seperti Khairi dan rombongannya. Khairi dan teman-temannya terus menunduk dan memegang ponsel masing-masing sambil bercakap-cakap tentang hal yang tidak penting dengan suara pelan seperti tidak peduli ada yang datang.

“Kami bermaksud baik, kalian tidak perlu khawatir,” kata laki-laki yang berada di belakang kedua pemuda itu. Dia berjalan maju ke depan. “Nama saya Puja dan-” langkahnya terhenti karena saat itu Keyla yang tadinya duduk santai menegakkan tubuh dan menatap ke arahnya.

“Bawa kucing ya?” katanya sambil melihat ke Keyla.

“Iya, kucing ini maskot resmi klub pencinta alam kita,” kata Zakky enteng.

“Maaf nggak dekat-dekat. Saya alergi sama kucing,” kata orang itu.

“Wah kasihan, sebaiknya sekarang langsung ke dokter kalau begitu. Kucingnya dari tadi lari-lari di sana, pasti banyak bulunya di mana-mana,” Zakky menunjuk ke tempat mereka berada.

“Ya sudah, selamat hiking ya,” katanya sambil mundur pelan-pelan, matanya tidak lepas dari arah Keyla. Setelah mencapai jarak tertentu barulah dia membalikkan badan dan melangkah pergi diikuti rombongannya.

Zakky tidak mengatakan apa-apa dan pura-pura terus sibuk bermain dengan ponselnya. Setelah mereka berada di luar jangkauan penglihatan mata ketiganya, barulah Khairi berdiri. Zakky dengan cepat mendatangi Khairi, meninggalkan Keyla yang dengan santai meneruskan acara menjilat-jilat bulunya.

“Kak Zakky galak,” kata Syifa sambil mengacungkan kedua jempolnya.

“Tapi dia takutnya sama Keyla, bukan Zakky,” kata Ayana sambil tersenyum simpul.

“Nggak kok, aku nggak berusaha menakut-nakuti dia,” ujar Zakky dengan senyum lebar. Apapun yang dikatakan Ayana tidak akan berpengaruh selama Syifa memujinya.

“Aku tidak tahu apakah kita terlalu hati-hati atau bagaimana,” kata Khairi beberapa saat kemudian setelah semua orang terdiam. “Tapi entah bagaimana aku merasa bahwa tindakan kita tepat,” lanjutnya.

“Empat orang yang seperti pakai seragam dari topi, jaket sampai sepatu bot. Semuanya juga nggak bercukur dan pakai kaca mata hitam seperti mau menyembunyikan wajah. Aku justru nggak menemukan satu hal wajar pun dari mereka,” kata Ayana mendukung sahabatnya itu.

“Seragam perusahaan? Ada toko lagi cuci gudang?” kata Syifa memberikan alternatif sambil tersenyum. 

Lihat selengkapnya