Terbakar Delusi

Tiwi Kasavela
Chapter #1

Pandangan Pertama

“Aku pernah jatuh Cinta sekali, lalu dua kali, kemudian tiga kali, dan terus jatuh cinta berkali-kali hingga tidak dapat dihitung lagi. Aku suka dan ingin terus jatuh cinta, karena Perasaan cinta selalu melahirkan banyak motivasi, inspirasi, dan gairah untuk lebih menghayati kehidupan ini.” –– Tiwi Kasavela


PANDANGAN PERTAMA

Bandung, 1 Maret 2005

Lorong rumah sakit besar ini masih terlihat sama. Dengan dinding yang didominasi oleh warna putih, bau obat-obatan yang khas, dan wajah orang-orang yang terduduk gelisah di lobi.

Semuanya tidak pernah berubah sejak pertama kali Phia menginjakkan kakinya di sini. Sesaat Phia terduduk sepi dengan penuh kehampaan. Entah apa yang sebetulnya tengah dirasakannya. Semua kegundahan itu bercampur aduk menjadi satu. Antara perasaan sedih, marah, benci atau lelah dengan semua kenyataan yang tengah ia jalani.

Ya, sudah lebih dari setahun ini Mama terdiagnosa leukimia. Stadium yang sudah menuju empat itu semakin memperparah kondisinya, berat badan Mama yang menurun drastis, kulitnya yang lebih sering terlihat pucat, rambut Mama yang rontok dan memutih lebih cepat, membuat Phia merasa sedih ketika memikirkannya. belakangan Mama juga sering mengeluh kalau sendi-sendinya sering terasa sakit, sehingga sangat sulit untuk bergerak, apalagi berjalan.

Mama hanya bisa terbaring di bangsal rumah sakit, dengan infuse dan obat-obatan yang harus dikonsumsi setiap hari.

Sebagai anak tunggal, Phia hanya memendam semuanya sendirian, karena tidak ada satupun orang yang bisa dia andalkan.

Sudah tidak pernah ada kabar lagi dari Papa. Memang, sejak dua tahun lalu Mama bercerai dengan Papa, kehidupan seolah-olah benar-benar berubah. Phia yang dulunya lebih manja dan mendapatkan segala hal yang dia inginkan, kini harus belajar berpikir lebih mandiri. Selain harus menyembuhkan luka karena kedua orang tuanya berpisah, ia juga harus menghadapi kenyataan bahwa Mama sakit parah. Sakit yang membuat hatinya semakin hancur, karena dari hari ke hari kondisi Mama bukannya membaik, malah semakin memburuk. Mama sangat kecewa dengan perceraian tersebut, terlebih semua ini disebabkan Papa berselingkuh dengan wanita lain.

Tidak ada banyak hal juga yang bisa Phia lakukan. Dia hanya selalu bersikap seolah-olah semuanya baik-baik saja. Memasang wajah ceria dan penuh senyum ketika bertemu dengan Mama, meski jika seandainya saja ia bisa memilih, dia ingin menangis tersedu.

Mengatakan bahwa dia sangat menderita karena Mama sakit. Ya, dia sangat menderita melihat Mama menghabiskan waktunya di tempat tidur dengan melamun sepanjang hari.

Phia sangat ingin Mama sehat kembali. Tapi Phia tahu, dia harus belajar bijaksana dan tidak membuat Mama semakin sedih. Biasanya Phia hanya bisa menangis dihadapan Adel, sahabatnya. Namun sayang sekali sudah sejak beberapa bulan lalu Adel pergi ke Semarang untuk melanjutkan studinya.

Mereka kehilangan momen untuk bertemu dan mencurahkan isi hati satu sama lain. Phia hanya biasa saling bertukar kabar via SMS atau berbicara di telepon beberapa kali dalam waktu seminggu.

“Huft,” Phia menghela nafasnya berat.

Dia teringat pesan Mama beberapa menit yang lalu, sebelum dia pamit untuk pulang ke rumah.

“Phia sayang, apapun yang terjadi nanti kamu harus tetap menjadi perempuan yang tangguh dan sukses. Tidak boleh menyerah dan lemah dengan semua kesulitan yang kamu hadapi,” ucap Mama barusan.

Kata-kata itu masih terngiang jelas di telinganya, dan tentu, bukan hanya sekali dua kali saja Mama berkata seperti itu, tapi sering. Lalu seperti biasa Phia akan menjawab,

“Baik ma, Phia janji.

“Kalau galau, nggak usah kemana-mana, kamu pergi saja ke gereja. Hati kamu pasti akan lebih tenang kalau sudah mengunjungi rumah Tuhan,” lanjut Mama lagi.

“Iya, Ma,” balas Phia agak sendu.

Phia masih terduduk di lobi rumah sakit. Memang sudah menjadi kebiasaanya untuk duduk termenung sejenak sebelum pulang. Entah untuk memikirkan Mama, agenda perkuliahan atau soal pekerjaan. Dan malam ini, Phia merasa hatinya sedang benar-benar hampa dan tidak ada gairah. Sesaat matanya melihat ke sekitar, kemudian terdiam. Menghela nafas dan akhirnya tertunduk lesu.

Namun tiba-tiba matanya menangkap potret seseorang, ketika Phia sedang menyusuri sebrang bangku, di sisi yang paling pojok.

Seorang laki-laki dengan kepala botak, berkaus putih dan celana jeans, tengah terduduk tenang. Laki-laki itu sedang membaca buku, tatapannya fokus sekali membaca halaman-demi halaman di buku tersebut.

Phia penasaran dan semakin memperhatikannya. Phia memperkirakan kalau usia laki-laki itu sekitar dua puluhan akhir atau tiga puluh awal. Yang menarik adalah laki-laki itu memiliki wajah yang teduh, tenang dan bersih.

“Tampan sekali dia!” bisik hati Phia yakin.

Postur yang tinggi dengan bobot tubuh yang ideal membuat laki-laki itu terkesan gagah dan dewasa.

Untuk beberapa saat Phia terpesona, rasanya dia belum pernah merasa begitu tertarik dan mengagumi ketampanan seorang pria hanya dalam satu kali pandangan mata seperti ini.

Lalu tiba-tiba saja, tanpa sempat Phia menyadarinya, mata lelaki itu tengah menoleh juga kearahnya, dan tatapan mereka bertemu.

Satu detik,

Dua detik,

Tiga detik berlalu, sesaat lelaki itu memberikan senyuman sekilas kearahnya dan kembali membaca buku. Ada aura kehangatan dan keramahan di sana.

Phia seharusnya membalas senyuman itu, namun dia hanya mampu terpana.

“Vann,” seorang suster memanggil sebuah nama.

Dan seketika, lelaki itu segera beranjak dari tempat duduknya.

Untuk kemudian bersegera berjalan mengikuti suster yang memanggilnya.

Phia hening,

“Vann kah, Nama lelaki itu?” hati Phia bertanya-tanya. Sesaat pandangannya kembali terarah pada tempat di mana laki-laki itu duduk. Ada sesuatu yang tertinggal di sana, sebuah kertas.

Phia penasaran dan menghampirinya, Phia memungut kertas itu, ada sebuah kutipan di sana :

“Kesehatan adalah keuntungan yang paling besar. Kepuasan adalah kekayaan yang paling berharga. Keyakinan adalah saudara yang paling baik. Nibbana adalah kebahagiaan yang tertinggi” (Dhammapada : 204)

Phia termenung sejenak,

“Tulisan, Vann kah ini?” tanya hati Phia.

“Lalu Dhammapada itu apa ya?” bisiknya lagi.

Phia pikir ini mungkin sejenis tulisan yang diambil dari teks suci agama tertentu.

“Mungkinkah Vann seorang Buddhis?” Phia mulai menebak.

Kemudian memutuskan untuk menyimpan tulisan itu ke dalam tasnya dan beranjak pulang. Ia berharap bahwa besok-besok, ia masih bisa bertemu dengan laki-laki itu sehingga dapat berkenalan secara langsung.

***

Phia memeluk guling setengah menutup mata. Pikirannya masih berkelana seputar hal-hal yang tengah dia kerjakan saat ini.

Dia masih begitu muda, masih 19 tahun, dia berkuliah di salah satu universitas negeri ternama di Kota Bandung dengan mengambil jurusan Hubungan Internasional. Sebetulnya sejak kecil Phia berkeinginan menjadi seorang duta besar. Namun menjelang remaja dia sudah terlibat dalam dunia model dan membintangi beberapa iklan.

Seiring bergulirnya waktu, banyak tawaran bermain film pendek untuk tayangan televisi swasta, orang menyebutnya serial FTV, dan memang sejak SMA Phia langganan bermain peran di sana.

Hari-hari memang menjadi sangat sibuk dengan kegiatan dunia peran dan pemotretan. Phia sangat menikmatinya, karena dia bisa lebih cepat mandiri dari anak-anak sebayanya. Namun tentu, dia jadi tidak fokus dalam dunia pendidikan, belakangan ini kuliahnya sedikit terbengkalai meskipun baru menginjak semester dua.

Jangankan mengerjakan tugas kuliah atau menyusun makalah yang panjang dan rumit itu. Untuk beristirahat sejenak saja seakan-akan dia kehilangan waktu.

“Phia, lo kan cantik, banyak yang suka. Yaudah maksimalin aja potensi lo. Mumpung banyak tawaran iklan, FTV, foto model,” ucap Adel sering.

Cantik?

Entahlah, apa definisi kecantikan sesungguhnya. Mungkin

banyak orang yang mengatakannya cantik, di atas standar rata-rata perempuan pada umumnya. Phia tidak tahu, tapi yang jelas dia memang memiliki kecantikan yang khas. karena sekalipun Phia lahir dan besar di Kota Bandung, tapi sebetulnya dia memiliki darah campuran, ayahnya Andrea Veloso merupakan keturunan Manado -Portugis. Sementara ibunya Veranika Van Osch adalah keturunan Jawa-Belanda. Campuran nusantara dan eropa membuatnya memiliki wajah yang menarik dengan tinggi tubuh semampai.

Phia menghela nafasnya sejenak, dia melihat jam di dinding yang sudah menunjukkan angka tiga dini hari. Tapi entah kenapa matanya masih terjaga, masih banyak hal yang dia pikirkan.

“Mama?”

Memang, sudah hampir satu bulan ini Phia tidak memasuki dunia hiburan, bahkan hanya sekadar pemotretan. Phia hanya menjaga Mama dan pergi berkuliah saja, berusaha belajar lebih baik.

Namun aktivitas saat ini jauh membuatnya lebih lelah, gusar dan frustrasi. Kesehatan Mama membuat Phia galau sepanjang waktu.

“Apakah Mama bisa sembuh?” hal itulah yang sering terbesit di dalam hatinya.

Jam terus melaju menuju pagi, di antara kantuk dan lelahnya, sekelibat terbayang sebuah sosok.

Laki-laki bertubuh tinggi, tegap dengan senyuman manis. Tatapannya yang dalam, membuat Phia tidak bisa berkata apa-apa.

“Vann?” Phia beringsut.

Fragmen demi fragmen saling bermunculan di pikirannya.

Kalau tentang Mama, itu adalah mimpi yang sering mengganggu tidurnya. Tapi tentang Vann, laki-laki yang hanya sekilas dilihatnya di rumah sakit, Phia tak mengerti kenapa ikut larut dalam kegundahannya.

Sesaat Phia bangun dari tempat tidurnya, menghapiri tas yang tadi sore ia bawa ke rumah sakit, dan melihat lipatan kertas dengan kutipan yang ada di sana.

“Vann?” Phia bergumam.

Ia menyimpannya lagi dan berjalan membuka pintu kamar kemudian berdiri menikmati hawa dingin sambil menatap bulan di antara pekatnya malam. Terasa ada bayangan laki-laki itu menemaninya.

“Vann?” ada rindu di sana.

“Siapa laki-laki itu? lanjut Phia.

“Kenapa wajahnya terbayang-bayang di kepalaku? Gumam Phia gusar.

***

2 Maret 2005

Sehabis pulang kuliah seperti biasa, Phia selalu pergi ke rumah sakit untuk menemani Mama. Langkah Phia agak gontai, karena takut kondisi Mama akan kristis lagi seperti beberapa hari yang kebelakang.

Leukimia, memang bukan sakit yang ringan, sel kanker ganas yang selalu tumbuh tidak terkendali melebihi batas normal kemudian menyerang jaringan organ tubuh ini sangat sulit dikendalikan.

Phia pun dapat melihat dengan jelas perubahan pada tubuh Mama yang bobotnya terus menurun. Sebelum terdiagnosa Leukimia, Mama memang sudah mulai jarang makan, badan Mama kurus sekali. Selain itu, Mama juga tidak pernah berpergian ke banyak tempat lagi karena mudah lelah, sering mengalami panas dingin, gampang terluka, berdarah bahkan mimisan.

Sebelum menemui Mama, Phia sengaja menemui Dokter Yosep terlebih dahulu. Dokter yang selama ini menangani pasien-pasien kanker di rumah sakit ini. Phia berdiskusi mengenai pengobatan terbaik bagi Mama. Dan Dokter Yosep mengatakan kepada Phia, bahwa penyakit kanker tidak mudah disembuhkan bahkan oleh kemoterapi.

“Dokter, apakah kemoterapi hanya untuk memperpanjang usia pasien?” tanya Phia khawatir.

Dokter Yosep hanya tersenyum.

“Tergantung, manusia hanya bisa berusaha dengan maksimal dan berdo’a Phia. Tentang kesembuhan dan usia ada di tangan Tuhan,” jawabnya.

Phia terdiam lagi.

“Di waktu muda dulu, Mamamu adalah seorang perokok yang aktif, pecandu alkohol dan pernah menggunakan obat-obatan terlarang. Selanjutnya, dia memiliki potensi genetik untuk menderita penyakit kanker. Stress dan tekanan batin yang kuat beberapa waktu ke belakang membuat Mamamu betul-betul menderita penyakit ini,” jelas Dokter Yosep membuat dada Phia terasa sesak.

“Mama seorang perokok, pecandu alkohol dan mengkonsumsi narkoba?” Phia mengkernyitkan dahinya.

“Dulu, saat beliau masih remaja, saat dia masih tinggal di Belanda. Apa dia tidak pernah memberitahumu?” Dokter Yosep bertanya.

Phia menggelengkan kepalanya.

“Ah mungkin Mamamu tidak ingin kamu tahu, karena ini bukan hal yang baik. Tapi sudahlah, keputusan ada di tanganmu

Phia, tetap merawat Mama di kota ini, atau mencari berbagai alternatif pengobatan sampai ke luar negeri. Bagusnya memang komunikasikan terlebih dahulu dengan Mamamu,” ucap Dokter Yosep kemudian.

Phia mengangguk, ada gundah di hatinya. tentang Mama, karena menyembunyikan sesuatu darinya. Tapi toh untuk apa marah? Bukankah hanya akan memperumit masalah yang ada.

Phia hanya menghela nafasnya sejenak kemudian pamit dan mempercepat langkahnya. Untuk selanjutnya menaiki lift dan melewati lorong untuk segera sampai di kamar nomor 221, kamar di mana Mama dirawat.

Langkahnya cepat, hingga tidak lama kemudian Phia sudah sampai di depan pintu,

Tanpa menunggu, Phia langsung membuka gagang pintu kamar yang tidak terkunci itu.

Tapi?

Phia tertegun sejanak, agak heran karena ada orang lain di kamar Mama. Bukan dokter ataupun perawat yang khas dengan pakaian berwarna putih ala rumah sakit. Melainkan, di seberang ranjang Mama, berdiri seorang laki-laki berkaus merah tua yang nampak sedang berbincang akrab dengan Mama, sehingga mereka tidak menyadari bahwa Phia baru saja membuka pintu.

Laki-laki itu? Phia mencoba memperhatikannya lebih intens.

“Ah?”

Phia nyaris tidak percaya dengan apa yang dia lihat saat ini.

Phia sangat dapat memastikan bahwa laki-laki tersebut adalah lelaki kemarin yang duduk di lobi.

“Vann?” Phia menyebut nama laki-laki itu dalam hati.

Hingga perlahan Phia berjalan mendekat, agak ragu.

Mama mulai menyadari keberadaannya.

“Phia, nak... sini,” ucap Mama semangat sekali, ada senyum di wajah Mama yang akhir-akhir ini sudah jarang terlihat.

Phia berjalan sedikit lebih cepat, hingga akhirnya sampai di kiri ranjang Mama. Jaraknya dengan laki-laki itu hanya beberapa senti saja.

Phia memperhatikan pria itu lamat-lamat.

Lelaki itu tersenyum lagi.

Terlihat tampan dan manis sekali, sama seperti kemarin.

“Vann, kenalkan ini anak tunggal tante, namanya Phia. Dia baru 19 tahun. Hobinya main film sama jadi foto model. Selain cantik dia juga baik, tante sayang banget sama dia, Vann,” puji Mama tiba-tiba, membuat Phia agak malu sekaligus senang.

“Ah Mama bisa saja!” Phia tersenyum ke arah Vann agak salah tingkah.

Entah bagaimana, memandang wajah lelaki yang disebut Vann itu membuat jantungnya berdegup lebih kencang lagi.

Ada apa sebenarnya dengan dirinya, Phia tidak paham.

“Hallo, Phia!” ucap Vann menyapa, karena sedari tadi Phia hanya terpaku menatapnya.

Tangan kanan laki-laki itu mengajaknya bersalaman.

“Kenalkan, aku Vann,” lanjutnya sambil mengembangkan sebuah senyuman, giginya yang rapi itu menampilkan keceriaan.

“Oh Vann...” Phia meraih tangan Vann, sesaat.

Phia menahan nafasnya karena gugup.

“Aku Phia. Oh iya sepertinya Vann lebih tua dari aku ya?

Baiknya aku panggil dengan sebutan abang, kakak atau...?” tanya

Lihat selengkapnya