Terbakar Delusi

Tiwi Kasavela
Chapter #2

Kedukaan

6 Maret 2006

Air mata Phia menetes deras. Kesedihannya sedang betul-betul berada di puncak. Satu-satunya orang yang paling dia kasihi, sayangi, dan dia harapkan kebahagiaannya sudah benar-benar pergi. Tepat pukul 21:00 WIB, malam kemarin, di rumah sakit tempat biasa Mama menjalani kemoterapi, Mama dinyatakan meninggal dunia.

Hal lain yang membuatnya sedih saat itu adalah karena dia tidak ada di samping Mama, melainkan berada di kawasan Bogor untuk melakukan kegiatan pemotretan. Saat itu, dia baru selesai pengambilan foto dan beristirahat, hingga tiba-tiba handphone Phia bergetar.

Ternyata, pembantu rumah mengabarkan bahwa kondisi Mama sangat buruk sehingga harus dibawa ke rumah sakit.

Malam itu juga, dari Bogor, Phia langsung mengendarai mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata menuju Bandung, karena tidak sabar untuk mengetahui kondisi Mama. Dia hampir menabrak seorang pengemudi motor dan bus pariwisata karena emosinya yang sedang tidak terkontrol. Namun, nasib baik masih berada di sisinya sehingga Phia masih bisa sampai di rumah sakit, meskipun dengan perasaan campur aduk dan kelelahan yang menguasai tubuhnya.

Langkah Phia gontai melewati koridor rumah sakit yang terasa panjang dan tidak bertepi, hingga akhirnya dia sampai di depan pintu tempat ruangan Mama dirawat. Sesaat, ia melihat Bi Jumi dan Mang Kardi yang tengah menunggu dengan wajah yang juga menyiratkan kegelisahan.

“Bi, Mang? Mama baik-baik saja, kan?” tanya Phia gundah sekali waktu itu.

Mereka terdiam.

“Kok diam?” Phia protes.

“Sedang dibantu oleh dokter Yosep, Non,” jawab Bi Jumi, raut mukanya terlihat agak kusut.

Phia menghembuskan napasnya sesaat dan cepat berjalan menuju gagang pintu, ingin memastikan kondisi Mama segera. Ketika pintu terbuka, tampak beberapa suster mengelilingi Mama. Entah apa yang sedang mereka lakukan, tetapi ada sosok yang sangat dikenalnya di sana.

“Dokter Yosep?” Phia beringsut.

Dokter Yosep, dokter paruh baya yang paling memahami kondisi Mama, selalu memberikan pelayanan terbaik.

“Phia!” suara Dokter Yosep terdengar berat namun tetap tenang.

“Bagaimana kondisi Mama, Dok? Apa Mama baik-baik saja?” tanya Phia tak sabar.

Dokter Yosep terdiam sejenak.

Ada kegusaran yang dalam tiba-tiba menyergap hati Phia.

“Phia, sudah waktunya Mamamu tertidur dengan tenang.”

“Maksud Dokter?”

“Ini pemberian Tuhan yang paling baik. Tubuh Mama sudah terlalu ringkih, lelah, dan sangat menderita selama beberapa tahun terakhir.”

“Pemberian Tuhan yang mana, Dok?”

“Mama kamu sudah meninggal, Phia. Baru saja.”

Phia lemas. Pikirannya kabur. Tanah serasa tak lagi mampu ia pijak. Air matanya menderas tanpa kontrol. Cepat-cepat dia mendekati jasad Mama yang sudah terbujur kaku.

“Mama? Mama bangun, Ma?”

“Phia pulang, Mama jangan pergi.”

“Mama bangun, Mama pasti lagi tidur saja, kan?”

“Ma, jangan tinggalkan Phia.”

“Mama, maaf kalau Phia salah. Phia janji nggak akan meninggalkan Mama lagi.”

“Mama?”

“Ma?”

Percuma.

Seberapa sering dan keras pun Phia memanggil “Mama,” kenyataannya Mama sudah meninggalkan dunia ini. Perempuan yang menghadapi hidup dengan penuh ketabahan itu telah sampai pada batas waktu untuk meneruskan perjalanan selanjutnya.

Phia tersedu, meringis, menahan sesak di dada. Isaknya tak dapat terbendung lagi.

Papa sudah meninggalkannya. Haruskah Mama juga? Kini, dengan siapa dia harus menjalani hidup? Apakah dengan kesendirian yang kian pahit? Apa gunanya hidup tanpa orang yang dicintai? Bukankah hidup akan menjadi sangat kesepian?

Phia mengutuk semuanya—dirinya, keadaannya, semesta. Ia belum sanggup menerima kepergian Mama. Ia masih terlalu muda, belum terbiasa hidup tanpa siapa pun.

“Yang sabar ya, Phia. Gue juga sedih. Gue juga kehilangan,” ujar Adel, yang baru saja tiba di rumah sakit untuk menenangkan Phia.

“Non, turut berduka cita ya. Mungkin ini sudah guratan dari Yang di Atas. Non Phia harus sabar,” ucap Bi Jumi, saat tangis Phia tak terbendung.

“Mang Kardi ikut sedih, Non. Semoga beliau diterima di sisi-Nya,” tambah Mang Kardi.

Namun, tidak ada satu kalimat pun yang mampu melipur kegundahan Phia. Kesedihan sulit disembunyikan. Hatinya robek, perasaannya hancur, seolah dunia sedang kiamat.

***

8 Maret 2006

Hari semakin sore, hujan hanya tersisa gerimis. Phia masih terpaku di depan pusara Mama. Semua orang telah menyatakan bela sungkawa, tinggal dia sendiri. Adel, yang sejak tadi menemaninya, baru saja berpamitan karena ada urusan pekerjaan.

Sekali lagi, Phia menatap tanda salib itu. Seminggu sebelum meninggal, Mama sempat berkata:

“Phia, kalau Mama meninggal, pasang tanda salib yang besar, ya?”

Di lain waktu, Mama juga berujar:

“Phia, kalau Mama sudah nggak ada, jangan lupa pergi ke gereja, baca Alkitab, dan ingat Tuhan Yesus. Siapa lagi yang akan menemani kehidupan kamu kalau bukan Tuhan?”

Waktu itu, Phia hanya bisa mengiyakan. Sebenarnya, keluarganya tidak begitu religius. Bahkan, ia lupa kapan terakhir kali ke gereja untuk misa. Surat penebusan dosa pun belum pernah ia lakukan. Hari Minggunya selalu dihabiskan untuk bekerja dan mencari hal-hal duniawi. Namun, permintaan terakhir Mama adalah agar Phia kembali kepada Tuhan.

Suasana kuburan semakin sepi, tetapi Phia tetap ingin tinggal.

“Kenapa sih, Ma? Mama harus meninggalkan Phia secepat ini?” ujar hatinya pilu.

Mama meninggal di usia yang tidak begitu tua—belum genap 46 tahun. Tetapi, tidak ada manusia yang dapat mengatur usianya sendiri. Kelahiran dan kematian adalah keniscayaan.

Sekali lagi, Phia menatap nisan itu:

Rest in Peace

Veranika Van Osch

Lahir: Rotterdam, 20 Oktober 1960

Wafat: Bandung, 6 Maret 2006

Melihatnya terus-menerus, membuat dada Phia masih sesak menahan isak. Bahkan ia kesulitan menahan tangisnya. Berat untuk beranjak, semua kenangan-kenangan yang indah itu terbayang kembali.

Saat mereka memasak bersama, jalan-jalan bersama atau nongkrong-nongkrong. Mama bisa menjadi apa saja bagi Phia,orang tua sekaligus teman, sahabat atau kakak.

Beberapa tahun lalu sebelum Mama sakit, tak terlihat tanda-tanda keletihan atau kerapuhan pada tubuh Mama. Mama adalah perempuan periang dan sangat menikmati hidup.

Mama adalah seorang investor di bidang properti di beberapa kota di Indonesa. dia hanya menyimpan uang dan menikmati hasilnya setiap bulan. Oleh karena itu, Mama memiliki banyak waktu bebas tanpa terikat apa-pun. Mama lebih sering pergi jalan-jalan dari satu tempat ke tempat lainnya, dan sesekali melakukan pemotretan atau membantu teman-temannya merintis dan membuka usaha dengan ikut menanam modal. Jiwa muda Mama amat lekat dalam ingatan Phia. Bahkan jika mereka pergi ke Mall, mereka bisa membeli baju dengan model yang sama meski berbeda warna. Tentu, karena Phia menyukai warna pink. Sementara Mama lebih suka warna ungu.

Mama adalah separuh hidupnya. Jika Mama pergi, setengah dari jiwanya juga ikut menghilang.

Kedukaan karena pengkhiantan cintalah yang mem-bawa Mama pada rasa sakit di ujung hidupnya. Haruskah kini Phia menyalahkan Papa?

Phia masih ingat kejadian sejam yang lalu saat Papa datang berkunjung.

"Phia, maafkan Papa. Ini mungkin berat buat kamu, tapi Papa harap kamu bisa belajar banyak. Akhir-akhir ini kadang Papa melihat kamu ada di majalah atau di televisi. Papa yakin kamu sudah mampu menghadapi hidupmu sendiri. kamu sudah cukup mandiri kan sekarang?" ucap Papa.

"Sekarang bukan waktunya berbicara tentang kesuksesan atau kemapanan hidup, Pa. Mama meninggal, apa Papa tidak merasa sedih sama sekali?! Mama itu sangat mencintai Papa, tapi kenapa Papa tega mengkhianati Mama? Papa betul-betul laki-laki yang jahat." tekan Phia sedikit emosi.

"Papa akui, Papa memang salah, Papa dulu tergoda kepada seorang perempuan muda dan meninggalkan Mamamu. Papa memang bodoh, pada akhirnya perempuan itu hanya jatuh cinta pada harta kekayaan Papa saja. dia sangat boros bahkan berhutang dimana-mana. Papa stress dan perusahaan hampir bangkrut, saat ini pun Papa sedang ada dalam proses perceraian dengannya," jawab Papa, memang ada rasa sesal yang terpancar di sana.

"Tahukah Pa, kalau Mama masih sangat mencintai Papa sampai akhir hayatnya," balas Phia.

"Apakah memang begitu pada kenyataanya?" suara Papa tertahan.

"Haruskah Phia berdusta?"

"Mungkin Mama sangat mencintai Papa karena ada kisah yang cukup mendalam saat pertama kali kita bertemu. Dulu saat Papa jalan-jalan ke Rotterdam dan mengunjungi pusat kota. Papa bertemu dengan Mamamu, di jalan. Seorang gadis yang sedang menghisap shabu dengan minuman keras ditangannya. Papa sangat miris, dia kasar dan kesepian. Tapi Papa berusaha membantunya, membuatnya bangkit menjadi perempuan yang normal, hidup sehat dan ceria. Mamamu adalah orang yang tidak pernah mengatakan hal-hal yang menyedihkan di masa lalu, karena kontrol emosi dia sangat buruk untuk mengingat hal-hal yang pernah terjadi."

Phia terdiam.

"Ya, dulu dengan cepat kita merasa saling cocok, memutuskan untuk berpacaran lalu menikah dan menetap di Indonesia. Mamamu selalu merasa bahwa Papa adalah penyelamat hidupnya. Tapi ada satu hal yang buruk dalam diri Papa, Papa adalah pria yang mudah tergoda dengan banyak perempuan. Papa sangat sering berselingkuh

dari dulu, tapi Mama memaafkan, mungkin kemarin adalah yang terparah sehingga kita bercerai," lanjut Papa bercerita.

"Apa Papa tidak mencintai, Mama?" Tanya Phia sedih.

"Papa tidak pernah betul-betul merasa begitu mencintai seseorang. Maafkan Papa, Papa sudah bilang sejak awal kalau Papa bukan pria yang baik, tapi Mamamu bersikeras, yasudah," ucap Papa sendu.

"Semudah itukah, Pa?" Phia kecewa.

"Beberapa bulan lalu Papa berkunjung ke rumahmu, melihat kondisi Vera yang sakit, Papa terkejut dan bertanya banyak hal. Tapi Vera menyuruh Papa untuk pergi dan tidak pernah menemuinya lagi. Mamamu hanya berpesan, untuk menjaga kamu kalau suatu saat ajal menjemputnya," ucap Papanya lagi, ada rasa sesal yang mendalam di sana.

"Phia tetap kecewa kepada Papa."

"Kecewa?"

"Ya, karena Papa tidak pernah memperjuangkan Mama. Papa tahu bahwa jiwa Mama lemah, tapi kenapa masih menyakitinya?"

"Ya, itulah penyesalan terbesar dalam hidup Papa. Saat ini Papa sudah sangat menderita karena rasa sesal, apakah kamu masih tega menambah rasa sakit itu?"

"Maafkan Phia, Pa," akhirnya Phia menahan dirinya, berusaha lebih ikhlas menerima kenyataan.

"Kalaupun marah dan saling membenci lagi, apakah itu solusi? Mamamu sudah meninggal, Papa tidak bermaksud mela-kukan kesalahan yang sama. Papa tau kamu sudah bisa menghidupi diri kamu sendiri, tapi bukan berarti Papa lepas tanggung jawab."

"Jadi apa yang berusaha Papa sampaikan?"

"Papa tidak tahu bagaimana cara meminta maaf yang baik, Phia. Tapi Papa akan tetap membiayai kuliahmu, bahkan sampai S2 atau S3 kalau kamu mau?"

"Tidak perlu repot-repot, Pa."

"Ya kamu sudah memasuki dunia hiburan dari dulu. memiliki pendidikan yang terlalu tinggi mungkin tidak terlalu menarik untukmu. Tapi kalau kamu memiliki keinginan dan sekiranya Papa bisa membantu, katakan saja. Jika kamu ingin rumah baru yang lebih luas atau mobil baru yang lebih mahal, Papa berjanji akan membelikannya untukmu, sayang."

Phia menghela nafasnya, setidaknya dia merasa lebih tenang sekarang, karena dia sudah mampu mulai berdamai dengan Papanya. Obrolan berlanjut dan Papa mengajak Phia makan siang, tapi Phia memutuskan untuk tetap berada di pemakaman selama beberapa waktu.

***

15 Maret 2006

Hari kedua dan ketiga setelah pemakaman Mama. Phia masih selalu berkunjung diam-diam. Seberapa keras pun ia berusaha untuk tetap tegar. Namun pada kenyataanya dia tidak begitu pandai menyembunyikan kegundahan hati.

Meski sudah lebih dari seminggu, Phia masih terduduk di depan makam yang sama sambil membawa karangan bunga, sese-kali menatap nisan atau mengalihkan pandangan jauh ke arah pohon kamboja yang bunganya mulai berguguran. Suasana kuburan yang sepi membuatnya terkadang merasa jauh lebih hampa.

"Tidak ada yang abadi di dalam kehidupan ini," ucap seseorang tiba-tiba.

Phia terkejut. Ia merasa sendirian saja dari tadi.

"Sabbe Sankhara Anicca, semuanya akan berubah. Setiap makhluk hidup bergerak pada kelapukan dan kematian," lanjut orang tersebut.

Seketika Phia mengalihkan pandangannya, dan nampak se-orang laki-laki berkemeja hitam, berada di sebelahnya. Tersenyum, senyum yang khas dan teduh sekali, membuat siapapun yang tengah gelisah akan merasa lebih tenang ketika menatapnya.

Phia terhenyak sesaat, sekian waktu berlalu namun wajah itu pernah lekang dari ingatannya. Mata hitam yang bulat sempurna, dengan kacamata kotak itu. Hidung mancung dengan bibir yang penuh. Wajah yang selalu mendeskripsikan dengan tepat kesempurnaan dari ketampanan seorang lelaki.

"Vann?" lirih suara itu tertahan di kerongkongan.

Phia hampir tidak percaya dengan apa yang tengah dilihatnya saat ini.

"Ya, Phia!" suara yang agak perau itu terdengar lagi di telinga Phia.

Phia hanya bisa terdiam. Di tengah kegusaran antara kenyataan dan halusinasinya. Jantungnya mulai berdegup, kencang.

"Masih ingat aku?" lanjut laki-laki itu, suaranya begitu tenang.

Suara yang masih dikenalnya, meskipun dia adalah lelaki yang masih begitu asing baginya.

Phia mengangguk, sedikit ragu.

"Phia Lin Veloso" ucap lelaki itu.

"Kamu hafal nama lengkapku?" Phia terkejut.

"Dulu Tante Vera pernah mengatakannya kepadaku. Beliau adalah seorang ibu hebat yang sangat mencintai putrinya. Aku yakin perjalanan selanjutnya yang akan beliau tempuh adalah perjalanan yang baik dan menyenangkan. Kamu jangan terlalu khawatir," ucap Vann berusaha menenangkan Phia.

Phia masih terdiam, dan hanya memandang laki-laki itu lebih dalam lagi. Ingin rasanya memeluk, tapi Phia sungkan. Meskipun dia sedang ada dalam kondisi yang buruk dan perasaan yang hancur, setidaknya dia masih tahu diri.

"Ada yang bisa aku bantu, Phia?" tawar Vann kemudian.

"Entahlah, aku hanya masih merasa sedih dengan kepergian Mama, meskipun sudah berlalu sejak beberapa hari," jawab Phia apa adanya.

"Mari kita bicara di suatu tempat."

Lihat selengkapnya