Cibodas, 14 Februari 2008
Waktu masih menunjukkan pukul enam pagi ketika Phia menyeruput Mocacinnonya yang panas. Sementara itu, udara yang dingin di kawasan puncak Cipanas, Cianjur membuat Phia merekatkan jaketnya. Dilihatnya Kim yang juga tengah asik menikmati Teh Srilanka, minuman favoritnya. Entahlah, ada banyak jenis minuman di dunia ini, tapi Kim sangat suka Teh Srilanka, dan membawanya kemanapun dia pergi.
“Ada yang khas, wanginya, rasanya selalu mengantarkanku pada ketenangan dan nostalgia-nostalgia yang indah tentang hidup,” ujar Kim di suatu waktu, ketika Phia bertanya.
Dan saat ini mereka hanya fokus menikmati suasana pagi. Mungkin karena keadaan yang sunyi dan karena ingatan pada fragmen-fragmen masa lalu.
“Phia, hidup ini indah ya, jika kita punya seseorang yang kita sukai, kita perjuangkan dan kita upayakan agar dia selalu bahagia,” ujar Kim tiba-tiba. Pandangannya jauh menatap puncak Gunung Gede Pangrango yang masih samar diselubungi kabut.
“Ya Kim, hidup memang begitu,” balas Phia.
Pagi ini, hanya ada mereka berdua di villa ini sejak kemarin malam, tapi tidak ada yang mereka lakukan selain diskusi dan membicarakan banyak hal dimulai dari mulai mode, pekerjaan, rencana masa depan dan juga hal sehari-hari.
Kebetulan Phia baru menyelesaikan shooting filmnya dan Kim baru pulang dari Malaysia untuk agenda kerjanya, sehingga mereka ingin menghabiskan masa istirahatnya di Villa milik keluarga Phia di kawasan Cibodas, Cianjur.
Dulu di Villa ini selalu ada tawa dirinya, Mama dan Papa. Tapi sekarang hanya menjadi miliknya seorang, karena Mama sudah meninggal dan Papa sudah lebih sibuk dan pindah ke Jakarta. Phia jarang bertemu dengan Papa, sejak Mama meninggal dua tahun lalu.
Phia hanya sempat bertemu dengan Papa dua kali saja.
Lalu Kim adalah teman lelaki pertama yang Phia ajak ke Villa ini. Karena Phia tidak akan pernah membawa masuk seseorang lebih jauh ke dalam hidupnya, kecuali jika ia betul-betul mempercayai dan menganggap orang itu penting. Dan Kim, sudah mampu meraih kepercayaannya. Selain Adel, tentu. Meski sekarang Adel sudah banyak berubah, karena pergaulannya dengan dunia malam yang membuat tingkah lakunya semakin tidak terkendali. Meskipun sudah sudah dirawat di rumah sakit karena overdosis, tapi Adel tidak jera. Dan yang lebih parah akhir-akhir ini Phia malah memergoki Adel membawa beberapa lelaki ke kamarnya. Tentu saja hal ini membuatnya sangat kesal, sehingga mereka sempat bertengkar dan akhirnya Adel memutuskan pergi dari rumah. Phia tidak tahu apakah dengan membiarkan Adel pergi begitu saja adalah hal yang cukup tepat. Namun Phia juga sudah lelah dengan sikap Adel yang menurutnya sudah sangat keterlaluan ini.
“Phia, jalan-jalan yuk?!” lirih Kim ketika mereka sedang asik dengan pikiran masing-masing.
“Kemana Kim?” tanya Phia kemudian.
“Ke Kebun Raya Cibodas? bukankah dekat dari sini?”
Phia terdiam sesaat, rasanya ide yang bagus ketimbang hanya mengobrol di villa. Dia juga ingin menikmati suasana yang lain.
“Jadi bagaimana, Phia?” tanya Kim memastikan sekali lagi.
“Oke, tapi tunggu sampai jam sembilan pagi nanti ya Kim, aku ingin bersantai sebentar,” tawar Phia.
“Oke sip, tentu saja boleh Phia,” jawab laki-laki itu terlihat sangat senang.
***
Phia menatap rimbun dedaunan dan pohon-pohon pinus yang menjulang tinggi ke atas. Kesegaran, ketenangan, dan pesona alam berbaur menjadi satu di sana. Benar-benar sebuah hari yang sangat menyenangkan.
Beberapa kali Kim sempat memotretnya, tentu karena Kim pun memiliki hobi dalam dunia fotografi. Kemampuannya dalam memotret seorang model setara dengan keahliannya dalam membuat desain pakaian yang unik dan mewah. Seorang lelaki yang multitalenta dan dapat melakukan apa saja.
“Ah segarnya, bahagia sekali bisa berada di sini!” ucap Kim sambil memicingkan matanya, dan memotret pemandangan alam.
Kebetulan hari ini Kebun Raya Cibodas cukup ramai dengan beberapa turis yang kelihatannya berasal dari Timur Tengah.
Perempuannya menggunakan jilbab dan cadar hitam. Sementara pria arab itu terlihat gagah dan tinggi. Bahkan Kim yang punya badan proposional dengan tinggi 183 cm pun menjadi terlihat biasa jika dibandingkan dengan mereka.
“Jadi Kim, apa rencanamu ke depan?” tanya Phia kepada Kim yang sedang asik melihat-lihat hasil potretannya barusan, sambil terduduk di kursi kayu di antara pohon-pohon besar.
“Aku ingin menikah!” ujar Kim kemudian.
Phia terhenyak sesaat, sebuah kata yang tidak pernah Kim sebut-sebut dalam perbincangan mereka selama kedekatan yang terjadi hampir dua tahun ini adalah “menikah”. Kim pun tidak pernah bercerita tentang perempuan lain.
“Dengan siapa?” tanya Phia mengira-ngira.
“Dengan kamu!” jawab Kim cepat.
Phia benar-benar tercenung dengan pernyataan Kim. Ia takut salah mendengar, tapi apa yang barusan Kim katakan begitu jelas di telinganya.
“Kim kamu serius?” Phia memastikan.
“Tentu saja, bukahkah kamu juga dapat merasakan kenyamanan yang sama? Kesenangan yang sama? Kecocokan yang sama denganku? Sehingga sesibuk apapun kamu, kamu selalu punya waktu untuk menghubungiku, untuk bertemu denganku. Bukan begitu Phia?” ucap Kim membuatnya tertohok.
Memang, kalau Phia pikir-pikir untuk apa selama ini dia menjalin hubungan yang akrab dengan Kim jika dia tidak merasakan sebuah kenyamanan atau kebutuhan? Tapi mulanya kedekatan yang dibangun dengan Kim bukanlah perasaan yang lahir dari ketertarikan seorang perempuan terhadap lawan jenisnya, melainkan sebuah empati karena Kim yang memintanya menjadi temannya, kemudian hubungan terus berlanjut sehingga mereka sering bertemu di sela kesibukan, mungkin dua minggu sekali atau paling lama sebulan sekali.
Di setiap kali mereka bertemu, Kim selalu membawakan banyak oleh-oleh untuknya. Entah itu pakaian trend mode terbaru buatannya, sepatu juga tas dari brand ternama di berbagai macam negara atau makanan-makanan yang Kim bawa dari luar negeri. Dan hadiah-hadiah lain yang begitu banyak. Bahkan akhir-akhir ini Kim menjemput Phia ke tempat shooting. Dan menyetir untuknya sampai ke Bandung. Meski begitu sampai di rumah beberapa jam saja, Kim harus kembali pergi untuk melanjutkan kembali aktifitasnya.
Di lain waktu Phia juga biasa menemani Kim mendesain, bertemu rekan bisnis atau datang ke panti asuhan dan panti jompo yang Kim bangun. Ikut berdiskusi bersama anak-anak yang berada di sana. Bulan lalu bahkan Phia ikut Kim pulang ke kampung halamannya di Phnom Penh, Kamboja untuk bertemu dengan lagi dengan ayahnya. Saat itu Phia yakin bahwa Om Sinn, sudah memastikan bahwa dialah kekasih Kim.
“Phia, tolong jaga Kim, buat dia selalu tersenyum dan bahagia seperti saat ini,” pesan Om Sinn saat sarapan pagi, sebelum Kim mengantar Phia pulang ke Indonesia.
Phia akui mereka begitu dekat, bahkan sangat dekat. Mereka adalah sepasang kekasih yang cocok, hangat dan saling mendukung serta membangun satu sama lain. Terlebih dua minggu lalu, Phia juga memperkenalkan Kim kepada Papanya. Phia mengatakan bahwa Kim adalah laki-laki yang dekat dengannya. Namun tidak sampai seserius mengungkapkan bahwa Kim adalah sosok laki-laki yang akan menemaninya seumur hidup. Lagi pula sebelumnya Phia sudah banyak bercerita kepada Papa tentang Vann, Phia berujar kalau dia sejauh ini hanya menyukai Vann, dan saat itu Papa tidak banyak berkomentar karena urusan perasaan adalah hal yang sulit, meskipun Papa menyuruh Phia berpikir lebih rasional, siapa laki-laki yang lebih pantas dia perjuangkan. Vann atau Kim?
“Jadi bagaimana, Phia? Mari kita menikah saja. Kita sudah cukup saling mengenal. Kamu sangat tahu segala hal tentang aku.
Aku rasa, aku pun demikian,” ucap Kim lagi sambil terus menatap Phia lama-lama.
Phia masih terdiam, semua memang berjalan sempurna. Phia merasa Kim begitu memahaminya. Mereka nyaris tidak pernah bertengkar selama ini. Setiap kesalahan yang Phia lakukan selalu Kim maafkan. Misalnya ketika Kim harus menunggu lebih dari dua jam, ketika mereka janjian di suatu tempat. Tapi saat itu Kim tidak marah sama sekali, malah tersenyum dan menyapa dengan wajah gembira.
Padahal Phia tahu, saat itu Kim sibuk dan tidak punya waktu banyak. Atau ketika Phia pergi ke Taiwan seminggu lalu karena ada Fashion Show.
Sehabis acara tersebut Phia bosan dan mengalami kendala untuk pulang. Saat itu Phia meminta Kim untuk datang, padahal ketika itu Kim sedang ada di Thailand. Parahnya sesaat setelah Kim sampai di Taiwan. Setengah jam sebelumnya Phia sudah naik pesawat untuk pulang ke Indonesia. Saat itu Phia merasa betul-betul bersalah karena sudah merepotkan Kim. Namun saat Phia menelepon, dengan santainya Kim berkata tidak apa-apa. Dan beberapa hari kemudian saat mereka bertemu lagi, Kim memperlakukan Phia biasa saja. Dan Phia paham kalau laki-laki itu adalah pria penyabar dan tidak suka membesar-besarkan permasalahan. Padahal jika seandainya dia berada di posisi Kim, dia pasti akan sangat marah, dan mungkin butuh lebih banyak waktu untuk berdamai dengan orang yang bersangkutan.
Apapun yang Phia minta selalu Kim berikan. Kapan pun Phia membutuhkan Kim, laki-laki itu pasti akan datang, meski harus mengorbankan banyak kepentinganya. Terakhir Phia ingat ketika dia wisuda beberapa minggu lalu, demi mendampingi Phia di hari kelulusannya, Kim bahkan tidak menghadiri acara penobatannya sebagai desainer muda yang berprestasi tahun ini, bersama seniman-seniman muda lainnya, karena menganggap bahwa ada di samping Phia jauh lebih berarti dari pada penghargaan yang sangat sudah lama Kim nantikan.
Phia masih terdiam, hatinya terus bergumam dia tidak punya alasan untuk menolak laki-laki yang seloyal, setotal dan sebaik ini?