Lembang, 13 Mei 2008
Tiga bulan sudah berlalu, batas Phia untuk memutuskan tentang kelanjutan hubungannya dengan Kim tinggal besok. Beberapa minggu kebelakang Phia disibukkan dengan aktifitasnya sehingga tidak terlalu memikirkan masalah Kim atau Adel. Tapi sekarang, Phia harus mengambil keputusan, dan entah angin apa yang membuatnya pergi ke sebuah vihara di kawasan Lembang, Vipassana Graha. Sebuah vihara besar yang cukup terkenal sebagai salah satu destinasi wisata di Kabupaten Bandung.
Sebenarnya, sebagai seorang Katolik, dia harusnya pergi ke gereja, namun Phia bukanlah seorang penganut agama yang baik. Dia jarang sekali pergi ke gereja, dia tidak mengerti dengan ritual yang dilakukan dan tidak hafal dengan kidung atau pujian yang dinyanyikan saat misa. Dia kadang pergi kalau Mama menyuruhnya saja.
Phia menghela nafasnya sejenak, jujur saat ini dia memang sedang galau. Kegundahan yang tidak tersembuhkan ini adalah karena masih memikirkan Vann. Phia berharap perasaannya akan diyakinkan setelah pergi ke vihara. Setelah memarkirkan mobilnya, Phia menatap suasana vihara yang tidak terlalu ramai. Langkahnya perlahan mengamati tiap sudut vihara. Sesaat Phia terpesona menatap kemegahan bangunan yang dari jauh pun sudah mencolok. Bangunan putih dengan warna kuning di puncak atasnya. Kerimbunan pohon-pohon yang ditanam di antara bangunan-bangunan yang ditata secara rapi. Kemudian kesejukan dari suasana sepi dan ketenangan serta sensasi yang mengalir di kedamaian hatinya.
Perlahan Phia menglangkahkan kakinya mendekati sebuah tempat yang disebut Gedung Dhammasala. Terlihat ornamen yang ada di dinding dan juga patung-patung yang sebetulnya Phia tidak memahami apa itu. Kemudian dia masuk dan melihat seorang laki-laki yang sedang duduk diam sendirian menghadap rupang Buddha.
Dari belakang pria itu terlihat berkepala botak, menggunakan jubah berwarna merah marun, dan dari sana Phia sudah dapat memastikan bahwa laki-laki itu adalah seorang biksu. Phia tertarik untuk berbincang-bincang laki-laki yang membuatnya sedikit penasaran, karena jujur saja baru kali ini ia melihat seorang biksu secara langsung. Namun sepertinya biksu itu sedang bermeditasi, sehingga Phia harus menunggu terlebih dahulu, dan untuk sementara waktu, Phia hanya terduduk di halaman.
Lima belas menit berlalu,
Phia masih menikmati suasana vihara.
Tiga puluh menit berlalu,
Phia mulai sedikit merasa bosan dan memainkan handphone-nya sambil membalas pesan yang masuk.
Empat puluh lima menit berlalu,
Phia agak kesal menunggu, dan memutuskan akan menunggu tidak lama lagi.
Hampir satu jam berlalu,
Phia beranjak, dia tidak tahu kapan biksu tersebut akan benar-benar menyelesaikan meditasinya, dan dia juga bukan tipikal orang yang sanggup menunggu terlalu lama, apalagi tanpa kepastian.
Namun baru saja Phia berdiri, biksu yang dia tunggu juga baru saja keluar dari pintu Dhammasala.
Phia memperhatikan pria itu dalam-dalam, perawakan tubuhnya, jubah yang dikenakannya, kacamata kotaknya juga tentu pahatan wajahnya.
Laki-laki itu?
Jantung Phia rasanya terhenti untuk sesaat, Wajahnya mirip sekali dengan Vann, atau bahkan bisa jadi dia adalah Vann.
Phia tidak dapat berkata-kata, hingga biksu itu berjalan melintas begitu saja dari hadapan Phia yang masih terpana.
“Biksu... biksu...?!” ucap Phia setengah berteriak, Phia tidak tahu bagaimana seorang biksu harus dipanggil, tapi yang jelas dia memang harus menahan biksu itu pergi.
Biksu yang baru berjalan beberapa langkah dari samping tubuh Phia itu akhirnya membalikkan tubuhnya.
Phia tertegun.
Wajah itu tidak jauh dari hadapannya, dan semakin jelaslah guratan mukanya. Mata cokelat yang bulat dan tajam, Hidung mancung dengan dagunya yang lancip. Phia sangat mengenalnya.
“Vann...” ucap hati Phia lirih, agak tersentak.
Phia hanya dapat memandang lekat-lekat wajah laki-laki itu.
Dadanya terasa sesak, seakan semua masa lalu menggenang dalam ingatannya. Larut kembali, saat pertama kali mereka bertemu di rumah sakit. Sejak pandangan pertama melihat laki-laki itu di lobi, Phia merasa tertarik. Kemudian tanpa diduga mereka bertemu lagi, berkenalan dan berbincang. Setahun tanpa kabar, Vann tiba-tiba hadir saat dia benar-benar sedang berduka karena baru kehilangan Mama. Vann menghiburnya, menggenggam tanganya, menepuk pundaknya dan memeluknya. Sebuah pelukan yang akan dia ingat di sepanjang hidupnya. Phia juga masih ingat ketika mereka seharian mengunjungi Taman Hutan Raya Ir. H.Djuanda, sebelum Vann pergi ke Myanmar. Saat itu Phia berjanji jika mereka dapat bertemu lagi, Phia tidak akan pernah melepaskan laki-laki itu.
“Phia,” ujar biksu itu kemudian, ada sedikit ekspresi terkejut di sana.
“Vann,” Phia menahan nafasnya ketika menyebut nama itu.
Sesaat Vann yang sudah berpenampilan biksu itu berjalan mendekati Phia. Selama beberapa saat dia menatap ke arah Phia.
Padangan mereka bertemu, beberapa detik. Dan entah bagaimana hingga akhirnya Vann mengajaknya untuk bicara. Mereka pun kini sudah terduduk berdua, berjarak.
Di sebuah kursi panjang di salah satu kompleks vihara.
Untuk beberapa saat Phia hanya mampu terdiam. Ia tidak menyangka, bahwa mereka benar-benar bisa bertemu lagi setelah dua tahun berlalu. Vann nampak lebih dewasa dan gagah. Wajahnya menyiratkan sebuah ketenangan, kedamaian dan kehangatan. Phia benar-benar merasa jatuh cinta untuk yang ke sekian kalinya kepada lelaki yang sama. Hanya Vann yang bisa melakukannya dan membuatnya bisa senaif ini.
“Apa kabar?” tanya Vann pandangannya menatap awan yang putih membiru.
“Baik, ternyata kamu benar-benar menjadi seorang biksu,” ucap Phia getir, ada rasa sungkan untuk memandang wajah Vann terus-menerus. Ia hanya membuang pandangan jauh.
“Tentu saja, untuk apa aku berbohong. Oh iya bagaimana bisa sampai di Vihara Vipassana Graha?” tanya Vann, tetap sehangat dulu.
“Entahlah, aku belum pernah pergi ke tempat ini sebelumnya. Aku juga tidak mengerti mengapa tiba-tiba bisa sampai di sini. Aku hanya memikirkanmu sekilas pagi tadi, dan pergi ke vihara hanya untuk melepaskan kegusaran,” ucap Phia apa adanya. Phia tidak begitu paham bagaimana seharusnya seorang awam mengutarakan sesuatu hal kepada biksu. Maklum, dia terlahir bukan sebagai seorang Buddhis. Ia juga menganggap Vann bukan sebagai rohaniawan di agama tertentu, melainkan sebagai seorang lelaki yang dia sukai, sebagaimana dulu.
“Oh.. baiklah, setidaknya kamu bisa mengenal tempat ibadah ajaran Buddha itu seperti apa.”
“Kamu masih tampan dan selalu terlihat jauh lebih muda ketimbang usianya,” ucap Phia kemudian, kali ini dia melemparkan sebuah senyuman ke arah Vann.
“Syukurlah jika aku awet muda. Kamu pun sekarang sudah menjelma menjadi perempuan yang lebih dewasa, Phia,” Vann balas memuji.
“Hem tentu saja, aku lebih cantik kan sekarang? seandainya kamu tau, kalau aku adalah seorang aktris dan supermodel yang sedang menuju puncak kegemilangan Vann,” jelas Phia, ada kebanggaan di sana. Berharap Vann mengerti bahwa perempuan yang ada di sisinya saat ini adalah perempuan yang hebat dan berprestasi yang tidak boleh lagi diabaikan dengan alasan apapun.
Vann tersenyum sesaat.
“Ya, seperti itu. Mengejar impian dengan baik dan tidak pernah menyerah dengan kondisi apapun,” balas laki-laki itu kemudian.
“Vann, kenapa kamu harus menjalani hidup sebagai seorang biksu? Aku yakin kamu akan mendapatkan banyak pencapaian hidup jika memutuskan menjadi seorang umat yang awam dan memiliki hidup yang wajar,” ucap Phia sendu, sebuah ungkapan kekecewaan atas pilihan hidup Vann yang sejak dulu selalu mengusik pikirannya.
“Phia, kenapa kamu bertanya untuk hal yang sama? Bukankah aku sudah pernah mengatakan bahwa setiap orang memiliki aspirasi untuk memiliki kehidupan yang diidamkannya, yang diimpikannya dan jalan hidup yang akan membuatnya paling bahagia. Tujuan dari umat Buddha adalah mencapai nibbana. Untuk sampai kesana kita harus berlatih, bagaimana memurnikan batin, bagaimana menghancurkan keserakahan, kebencian dan kebodohan. Selain itupun, belajar memiliki kesadaran sehingga segala realitas tentang kehidupan ini akan terbuka dan kemelekatan pun akan terlepas. Aku ingin berlatih dengan cepat, dengan intensif dan konsisten. Jika aku menjadi umat awam, lantas bagaimana aku bisa total dalam berlatih? Karena pasti perhatianku akan terbagi dengan urusanBB duniawi,” jelas Vann, sebuah jawaban yang tidak berbeda dengan dulu, saat pertama kali Phia menanyakannya.
“Apakah kamu sekarang sudah semakin yakin untuk tidak akan pernah melepaskan jubah itu lagi, Vann?” tanya Phia mengawang berharap masih ada kesempatan untuknya yang sudah sekian waktu menyulam harapan, dan memastikan kapan ia harus benar-benar berhenti memperjuangkan perasaan yang dimilikinya.
“Ya, dan jika kamu bertanya lima kali, sepuluh kali, atau bahkan seratus kali, jawabanku tidak akan pernah berubah Phia. Aku ingin tetap menjadi seorang biksu seumur hidupku,” jawab Vann mantap. Membuat Phia terdiam seribu bahasa.
Phia gelisah dalam gulana tentang pertanyaan demi pertanyaan yang terus merongrong hatinya. Tentang cinta yang sembunyi-sembunyi dia perjuangkan. Tentang satu-satunya lelaki yang disimpan dalam hati.
Namun jika Vann harus menjadi biksu seumur hidupnya. Untuk alasan apa lagi Phia harus ragu dan tetap menunggu?
“Aku tahu kamu sudah banyak menderita, sekarang saatnya kamu melepaskan rantai cinta yang membelenggu hatimu. Aku kira sudah sejak lama kamu tidak lagi memikirkan aku.”
“Mencintaimu memang membuatku menderita, tapi sebuah penderitaan yang sangat kunikmati, kuinginkan dan aku butuhkan. Oleh karena itu, jika aku harus mencintaimu dalam penderitaan, itu bukanlah sebuah masalah. Aku ingin tetap mencintaimu, sebagaimana surat yang dulu pernah aku berikan. Aku tidak peduli apapun.
Aku suka Vann dari pandangan pertama dan seterusnya. Satu-satunya perasaan yang tidak akan pernah aku lepaskan dan sirna sampai kapanpun, bahkan sampai aku ajal menjemputku, Vann,” jawab Phia yakin.
“Tapi aku seorang biksu. Aku juga tidak bisa memaksamu terus-menerus untuk melepaskan perasaan itu. Aku hanya ingin mengatakan, bahwa aku memiliki aturan tentang bagaimana interaksiku terhadap lawan jenis. Tentu, kamu tidak bisa mengatakan berulang-ulang tentang cinta dan cinta. Kita tidak boleh sering-sering bertemu, tidak boleh berbicara selayaknya sepasang kekasih atau terlalu dekat. Diriku memiliki jarak. Aku harap suatu hari nanti kamu bisa mengerti,” jelas Vann, ada rasa kasihan yang menyelimuti hati Vann terhadap gadis itu.
“Apakah tidak apa-apa jika aku menikah dengan laki-laki lain?” ujar Phia tiba-tiba, di ingin menguji reaksi Vann.
“Jika itu baik, kenapa tidak? Menikahlah dengan laki-laki yang akan membahagiakanmu dan membuat hidupmu berkembang lebih maju lagi, Phia,” tegas Vann tanpa beban sama sekali, membuat Phia terhenyak sesaat.
“Mengapa kamu begitu jahat, Vann?” protes Phia sedih.
“Aku tidak bermaksud melukai hati seseorang.”
“Karena kamu memandang hidup ini penuh penderitaan, sehingga kamu menutup diri dari segala hal yang indah, termasuk menolak orang yang berusaha membahagiakan hidupmu. Vann, pertimbangkan aku sebentar saja,” Pinta Phia sedikit egois.
“Phia?” suara Vann agak tertahan.
“Vann, aku menginginkanmu, kita pasti akan bahagia jika bisa bersama,” tekan Phia lagi.
“Phia, caramu memandang dan menyikapi hidup berbeda denganku. Arti kebahagiaan bagimu dan bagiku juga berbeda. Sebagaimana yang aku yakini dan yang aku saksikan dengan batinku sendiri bahwa hidup ini memang penuh dengan penderitaan, derita yang disebabkan oleh keinginan manusia yang tidak pernah habis dan sulit dipuaskan. Selama manusia terikat dengan keinginan dan hasrat dia akan selalu menderita. dan satu-satunya cara agar terbebas dari penderitaan adalah memadamkan hasrat. Sekarang aku balik bertanya, bukankah kamu juga merasa terluka karena berhasrat ingin memilikiku? bukankah kamu juga kecewa karena aku menolakmu? tidakkah itu sebuah penderitaan karena keinginan? kamu pasti berdusta dengan mengatakan bahwa kamu menikmati, menginginkan dan membutuhkan penderitaan karena mencintaiku. Ujung dari semuanya toh, karena nafsu kan? kalau kamu baik-baik saja dengan penderitaan ini, mestinya kamu tidak perlu berusaha mengatakan bahwa aku harus melepaskan jubah ini. Phia tidak usah berusaha membohongi atau berusaha menghibur dirimu sendiri, lihatlah segala sesuatu dengan apa adanya,” terang Vann panjang lebar.
“Apa aku tidak boleh mencintaimu, Vann?” hanya itu pertanyaan yang keluar dari mulut Phia, sebagai simpulan dari pernyataan Vann.
“Boleh kok.”
Phia mengkernyitkan dahinya tidak mengerti.
“Tapi kamu akan menderita,” lanjut Vann.
Phia terdiam, berusaha menenangkan hatinya.
“Sang Buddha berkata, dari cinta timbul kesedihan, dari cinta timbul ketakutan. bagi orang yang sudah terbebas dari rasa cinta, tidak ada lagi kesedihan maupun ketakutan,” ucap Vann sambil menatap Phia sekilas.
“Vann, apakah kamu tidak pernah memikirkan wanita lagi?”
“Di dalam Dhammapada 343 dikatakan, barang siapa yang terikat oleh nafsu keinginan, akan berlarian kian kemari, bagaikan kelinci yang terjebak perangkap. Karenanya, seorang bhikkhu yang menginginkan kebebasan, hendaknya menyingkirkan semua nafsu keinginannya,” jawab Vann.
“Maksudmu?”
“Seorang biksu berusaha melepaskan segala macam nafsu, terutama wanita.”
“Vann?”
“Iya, Phia?”
“Apakah kita sudah benar-benar tidak ada harapan lagi?” Nampaknya Phia masih belum merasa puas dengan jawaban Vann.
“Di dalam Tanha Vagga, tentang nafsu keinginan, di syair ke 344, lanjutan dari Dhammapada 343 tertulis, setelah bebas dari nafsu keinginan, perumah tangga pergi ke hutan menjalani kehidupan petapa. Tetapi, kemudian ia kembali lagi pada kehidupan berumah tangga. Maka ia kembali lagi ke dalam belenggu kehidupan.”
“Jadi?”
“Phia? aku sudah tidak tertarik hidup sebagai umat awam. Aku hanya ingin berlatih untuk mencapai kesucian. Aku tidak ingin terbelenggu oleh nafsu keinginan dan hasrat yang semu. Aku sudah bahagia dengan hidup seperti ini, menjadi biksu. Apa kamu mengerti sekarang?” ucap Vann tajam berusaha mengakhiri perdebatan ini.
Phia terdiam sejenak, suasana menjadi benar-benar hening sekarang.
“Maafkan aku Vann, jika aku egois,” Phia merasa bersalah sekarang.
“Tidak apa-apa aku dapat memahami alasan mengapa kamu menjadi egois. Phia, cobalah untuk mencintai hal lain, sesuatu yang lain, cinta yang lebih universal. Cinta yang menyeluruh kepada semua makhluk, bukan hanya cinta kepada seorang manusia. Banyak orang yang membutuhkan cinta di dunia ini, orang yang kelaparan membutuhkan makanan, orang yang bodoh membutuhkan pendidikan dan orang yang sedih membutuhkan penghiburan,” terang Vann berharap Phia akan tetap baik-baik saja.
“Baik Vann terima kasih, nasihatmu akan aku pikirkan. Namun aku sudah memutuskan bahwa aku ingin tetap mencintai kamu. Setidaknya sekalipun tidak dapat memiliki kamu, aku masih bisa merasa bahagia hanya dengan memikirkanmu saja, dan itu sudah cukup untuk saat ini,” ucap Phia kemudian.
“Ya, terserah kamu, kesadaran memang butuh waktu. Aku hanya berpesan, apapun yang terjadi tetaplah berbuat baik dan tetaplah cintai masa depanmu. Jangan berputus asa, Phia,” balas Vann.
Phia tersenyum, dia ditolak lagi hari ini, tapi entah kenapa rasanya bahagia sekali. Mungkin, karena dia bisa bertemu dengan Vann lagi dan berbincang cukup lama dan dalam.
Tidak lama kemudian Phia melihat dua orang biksu dengan jubah warna kuning kecokelatan berjalan tidak jauh dari tempat mereka mengobrol.
“Vann kenapa kamu menggunakan jubah berwarna merah, sementara aku melihat biksu yang lain menggunakan jubah berwarna kuning kecokelatan,” tanya Phia penasaran.