Pulau Tidung, 22 November 2008
Terduduk sendiri menatap laut, entah kenapa rasanya ada yang hampa. Mungkin karena Phia tidak pergi bersama siapapun untuk menikmati deburan ombak dan pemandangan matahari yang hampir tenggelam di pesisir pantai.
Kemarin Phia memang baru saja mengikuti acara pameran busana daerah di salah satu hotel yang ada di kawasan Jakarta Utara, sehingga membuatnya memutuskan untuk mengunjungi kepulauan seribu, khususnya ke Pulau Tidung, yang lokasinya tidak terlalu jauh dari sana.
Bagi Phia, pantai bisa melepaskan sedikit rasa lelahnya. Apalagi acara kemarin cukup menguras tenaganya. Sebagai artis di samping model, tentu Phia memiliki waktu yang cukup padat untuk sesi pemotretan dan berjalan di atas panggung, belum lagi ada jumpa pers dengan wartawan. Banyak sekali hal yang harus dia jawab dan klarifikasi, dari mulai wawancara tentang film terbaru yang baru tayang di bioskop hingga kelanjutan hubungannya dengan Kim. Dunia hiburan memang sudah menganggap bahwa Kim adalah kekasihnya. Dan dari dulu Phia juga tidak pernah menyangkal, jika ada yang mengatakan bahwa dia berpacaran dengan Kim, toh apa yang terjadi di antara mereka berdua persis seperti orang yang tengah berpacaran.
“Phia, apakah Kim sedang sibuk sehingga tidak menemani anda?” tanya seorang wartawan televisi kemarin malam, karena biasanya Kim sering menyempatkan diri untuk menemani Phia menjalani aktivitasnya, terlebih jika itu acara fashion show atau juga segala hal yang menyangkut mode.
Dan Phia hanya menjawabnya dengn senyuman. Kemudian wartawan yang lain bertanya,
“Phia, kami dengar kekasih anda Kim, akan menggelar pameran desainnya di Las Vegas, Amerika Serikat minggu depan, bagaimana tanggapan anda, apakah anda akan mendampingi Kim?”
Dan lagi Phia hanya tersenyum, ada rasa resah yang menyergap jika orang lain menyinggung nama Kim akhir-akhir ini.
Jujur saja setelah enam bulan berlalu, sejak terakhir kali berhubungan dengan Kim, hatinya jadi terasa sepi. Kesunyian yang memanjang dan menyisakan gusar yang tidak berkesudahan, karena tidak ada seseorang yang biasanya menemani, ditambah pekerjaan yang tiada akhir, membuatnya tidak memiliki waktu istirahat yang cukup. Kegiatan yang selalu memaksa Phia untuk minum lebih banyak vitamin, agar tetap dapat bekerja meski tubuhnya sudah sangat lelah. Ia memang punya segalanya sekarang, tapi apakah ini kehidupan yang dia cari? Berjuang untuk mendapatkan popularitas dan kesenangan duniawi?
Apakah Phia merasa cukup dan puas?
Phia menggeleng,
Seakan ada sesuatu yang kurang, entah apa itu.
Mungkin, Kim?
Saat ini Phia tidak pernah tau apa saja kegiatan Kim dan kemana saja laki-laki itu pergi. Phia juga tidak pernah berusaha mencari keberadaan Kim lagi, karena Phia sadar dialah yang sudah membuat Kim pergi, dialah yang sudah membuat laki-laki itu kecewa dan merasa sedih. Rasanya tidak elegan, jika kemudian Phia yang kembali mencari-cari Kim. Toh ini merupakan keputusannya, untuk memilih Vann yang entah sebenarnya lebih pantas diperjuangkan ketimbang Kim atau tidak.
Sejenak Phia menghela nafasnya panjang, merasakan air laut yang membasahi bagian tubuhnya ketika pasang, untuk kemudian kembali melamun.
Apakah sekarang dia menyesal dan merindukan Kim?
Phia menggeleng, dia tidak akan pernah menyesali apa yang sudah dia putuskan. termasuk menolak Kim dengan dalih mencintai pria lain.
Sesaat Phia membuka layar handphoneya, wallpaper di telepon genggamnya adalah wajah Vann. Ya, diam-diam saat mereka bertemu, Phia memotret Vann, dan laki-laki itu sama sekali tidak menyadarinya.
“Vann apa kabar?” tanya hati Phia, sepi.
Setelah kepergian Kim, Phia juga tidak pernah mendapatkan kabar dari Vann. Dia ingin lebih sering mengunjungi vihara, mencari keberuntungan kembali untuk bertemu dengan Vann, tapi Phia sangat sibuk.
Phia sedang berpikir apakah Vann benar-benar bahagia dengan hidup sebagai biksu? Jika dia berada di posisi Vann dia pasti akan sangat menderita, hidup sangat sederhana dan tidak bisa melakukan banyak hal. Bagi Phia, keadaan yang memiliki banyak aturan, akan membuat manusia pada akhirnya berhenti mencari makna hidup itu sendiri. Sekalipun Vann sudah dengan jelas mengutarakan alasannya. Namun perasaan Phia berkali-kali memprotesnya. Memprotes, karena Vann tidak dapat dimilikinya.
Vann tidak pernah salah,
Seperti dirinya juga yang tidak pernah salah,
Ini hanya menyangkut pilihan hidup, tidak segala hal dapat dirasionalisasikan. Seperti dirinya sendiri yang menolak Kim, laki-laki yang mengagumkan dan dipuja banyak wanita. Setiap orang pasti akan menganggapnya bodoh jika tahu bahwa dia menolak laki-laki sebaik Kim.
Pilihannya kepada Vann juga sangat abnormal.
Untuk apa dia mengharapkan cinta seorang biksu?
Ini pasti gila.
Sekalipun seluruh dunia mengatakan bahwa Phia adalah gadis yang sangat cantik. Dengan mata biru tua, hidung mancung dan bibir penuhnya. Kemudian tinggi yang mencapai 175 cm, berambut panjang ikal bergelombang, bentuk tubuh yang bagus dan berat badan proposional. Tentu dia adalah wanita yang sangat menarik, ditambah profesinya sebagai aktris dan supermodel.
Lalu tentang kepribadian yang dimilikinya, Phia juga seorang pekerja keras, sibuk, dan mempunyai hidup yang produktif. Dia gadis muda yang kaya bakat, popularitas dan penghargaan. Setiap laki-laki akan sangat kesulitan untuk menolak gadis seperti Phia.
Tapi hal itu tidak berlaku bagi Vann.
Sebagai seorang biarawan, Vann harus hidup selibat yang berarti tidak akan menikah seumur hidupnya. oleh karena itu gadis secantik dan sebaik apapun yang datang kepadanya, pasti akan dia tolak. Vann hanya akan fokus berlatih menjadi seorang petapa yang memiliki pencapaian spiritual yang semakin tinggi dari hari ke hari.
Phia kembali terdiam, melihat matahari yang mulai tenggelam di ufuk barat.
Hatinya kembali menimbang antara Kim dan Vann.
Kim?
Phia memang melihat semua kesempurnaan yang lengkap pada diri Kim. Seorang laki-laki yang muda, tampan, cerdas dan sukses lebih dari pada itu memiliki sifat dan kemuliaan hati yang sungguh baik. Apa yang harus disangsikan dari diri seorang Kim?
Selama lebih dari dua tahun mereka bersama, Kim nyaris tidak pernah memperlihatkan sebuah kecacatan. Kim bahkan tidak pernah mengeluh ketika Phia melakukan banyak kesalahan.
Terlambat datang, membatalkan janji atau tidak membalas pesan berhari-hari. Tapi selama ini Kim selalu bersikap santai dan tidak pernah menampilkan kemarahan di wajahnya.
“Phia, marah itu tidak ada gunanya. Marah hanya memperumit suasana,” Ucap Kim suatu hari ketika Phia membatalkan sebuah janji untuk yang ketiga kalinya. Namun Kim masih begitu santai memaafkan.
Dan Vann?
Phia hening...
Bukankah jika Phia menawarkan seribu hari untuk Vann, laki-laki itu masih akan menjawab dengan “biarkan takdir yang menentukan.”
Phia menghela nafasnya berat.
Bukankah setelah dipikir lebih dalam. Memang tak ada harapan baginya untuk memiliki Vann dan bukankah selama ini selalu ada Kim yang mendedikasikan dirinya dengan penuh kesabaran dan kebaikan untuknya?
Bukankah setelah mengenal Kim kariernya pun semakin gemilang, semakin banyak pekerjaan, semakin banyak Fashion Show yang ia ikuti, dan film yang ia perankan, bahkan juga ia mulai belajar tentang desain baju, sehingga saat inipun ia sudah mencoba merancang beberapa pakaian.
Tapi Vann? Bukankah hanya meninggalkan resah dan gelisah yang tidak pernah tuntas. Vann yang selalu mewarnai pikirannya, tapi hanya menimbulkan kesedihan karena laki-laki tersebut tidak bisa membalas perasaanya. Barangkali memang benar sudah tidak ada lagi cara untuk mengikat hati Vann ke dalam hatinya.
Sesaat Phia ingin menyerah.
“Kim?” bisik hati Phia perlahan. Bukankah laki-laki itu yang seharusnya lebih ia lihat dan mulai ia terima?
Ya Kim Alexish, laki-laki itu sudah memenuhi semua kriteria yang diinginkan perempuan ada pada dirinya. Lantas harus sampai kapan dia terdilemakan oleh seorang laki-laki yang bahkan tidak melihatnya sebagai seorang perempuan?
Namun kemudian Phia menggeleng kembali,
Dia dan Kim sudah berakhir.
Dan dia dengan Vann masih belum benar-benar berakhir.
Phia berdiri, menatap samudra sekali lagi, sebelum kembali ke hotel dan mandi spa.
Namun baru beberapa langkah Phia berjalan, dia seolah-olah melihat dua orang yang sangat dikenalnya. nampak sepasang kekasih sedang bercengkrama di bibir pantai menikmati suasana senja menjelang malam.
“Kim?” ucap hati Phia perlahan.
Dan dadanya terasa sesak, karena semakin Phia perhatikan, dia semakin jelas melihat bahwa perempuan yang bersama Kim itu adalah Adel.
“Mengapa mereka di sini?” protes hati Phia, dan yang sedikit janggal bagi Phia adalah kenapa Kim bersama Adel berada di pantai berdua?
Phia tahu bahwa Kim dan Adel sudah lama saling mengenal.
Tentu karena setiap kali Kim mampir ke rumahnya, Adel hampir selalu ada di sana. Terkadang juga Phia membawa Kim saat acara jalan-jalan bersama Adel, karena Phia pun seringkali diajak berkenalan dengan teman-temannya Kim.
Namun setelah permasalahan yang sudah berjalan selama enam bulan ini. Phia kehilangan kontak dengan Kim. Pun dengan Adel yang sudah lebih dulu meninggalkan rumah tanpa kabar.
Lalu entah bagaimana, kini mereka berduaan duduk di tepi pantai dengan mesranya?
Hal ini benar-benar membuat Phia terkejut sekaligus gelisah.
Phia berjalan mendekati mereka, dengan sedikit ragu dan perasaan tidak tenang.
“Adel, Kim?” ucap Phia berusaha menyapa dengan nada suara yang biasa saja.
Adel dan Kim yang sedang bencengkrama pun seketika menoleh ke sumber suara yang menyebut nama mereka.
“Eh?” ucap Adel terkejut, sementara Kim tiba-tiba terdiam, dan mengalihkan pandangannya ke sudut lain, nampak seketika warna di wajah Kim tidak terlalu baik.
“Halo Phia, sudah lama sekali ya,” ucap Adel, sambil memicingkan matanya, nampak tidak nyaman.
“Apa kabar Adel, Kim?” tanya Phia lagi. Sambil lebih fokus memperhatikan Kim.
Phia melihat bahwa Kim nampak mengurus. Wajahnya lebih tirus dan tidak secerah dulu. Ingin sebetulnya Phia menyapa Kim lebih hangat, bertanya kenapa? apa laki-laki itu baik-baik saja? Phia tidak pernah melihat Kim selemah itu sebelumnya, meskipun tadi Phia melihat dari kejauhan bahwa Kim tertawa-tawa dan tersenyum ke arah Adel.
“Kita baik, lo gimana?” jawab Adel, berusaha lebih santai.
“Baik juga, kalian liburan bareng?” Phia memastikan.
“Iya Phia, dari seminggu yang lalu kok. kita ke Hongkong, China, Bali terus ke sini deh,” terang Adel, seperti memamerkan bahwa saat ini dirinya memiliki hubungan yang lebih dengan Kim.
Phia terdiam sejenak, entah kenapa ada yang terasa sakit di dalam hatinya ketika mendengarkan pernyataan Adel.
“Sejak kapan kalian dekat?” suara Phia sedikit tertahan di kerongkongan, menahan sesak di dalam dadanya.
“Aduh kapan ya tepatnya... udah lama sih,” jawab Adel, seakan mencibir Phia.
Sesaat mata Phia melihat Kim yang sedari tadi tidak buka suara. Ada kegundahan yang terpancar dari raut muka yang Kim tampilkan, yang Phia tidak tahu mengapa bisa begitu.
“Phia, gue sama Kim udah pacaran, maaf ya,” ujar Adel lagi dengan tenangnya, seolah ini bukanlah hal yang besar.
Phia menatap Adel dalam-dalam, berharap bahwa apa yang dikatakan oleh Adel hanya gurauan. Bagaimana mungkin? Adel tahu semuanya tentang hubungannya dengan Kim. Tahu bagaimana Kim selalu ada untuknya. Lantas bagaimana bisa Adel mengatakan kalau dia berpacaran dengan Kim dengan semudah ini?
“Lo serius?” tanya Phia kemudian.
“Iyalah, ya ngapain gue di sini berduaan sama dia kalau nggak ada apa-apa?” ucap Adel agak sinis.
Phia menahan nafasnya, berusaha bersabar.
“Kim, apa yang dibilang sama Adel itu benar?” tanya Phia kemudian sambil mengalihkan padangannya ke arah Kim.
Kim menatap Phia dalam-dalam.
“Iya Phia, kita pacaran,” Kim membuka suaranya.
Phia tercekat,
“Kenapa kamu melakukannya, Kim?” lanjut Phia agak pahit.
Jujur saat ini ia sedang sangat marah dengan apa yang dikatakan oleh Kim dan Adel. Mereka berdua adalah orang yang sangat dekat dengannya. Lantas bagaimana mungkin mereka mengkhianati Phia.
“Melakukan gimana sih, Phia? Ya wajar ajalah, kita nggak sengaja ketemu di diskotik. Dari sana kita sering ketemu, ngerasa cocok yaudah. Lagian suka sama suka ya pacaran,” terang Adel, nada suaranya seakan-akan mengajak Phia untuk bertengkar.
“Adel, lo punya kaca? lo punya harga diri? lo kenal tatakrama? kita sahabatan dari lama, lo tau banget hubungan gue sama Kim.
Terus tiba-tiba lo seenaknya bilang gini? lo masih punya otak atau punya hati nggak? kalau enggak, ya pantes makannya hidup lo lontang-lantung nggak jelas, karena lo nggak tau mana yang benar dan mana yang salah,” ucap Phia memanas, ada emosi yang benar-benar tengah menguasai pikirannya.
Adel terkejut, selama ini Phia selalu sabar menghadapinya dan baru kali ini Adel melihat Phia terlihat begitu marah.
“Dan kamu juga Kim, kalau pikiran kamu masih waras kamu pasti nggak akan pernah mau pacaran sama seorang gadis seperti Adel,” lanjut Phia berapi-api.
“Hallo Phia, lo yang udah nolak Kim. Gue nggak pernah merebut Kim dari lo, jadi sebenarnya semua ini salah siapa?” balas Adel tidak mau kalah.
“Gue pikir lo sahabat, tapi kok lo tega banget ngeginiin gue,
Adel?” suara Phia terdengar kecewa.
“Haha... sahabat ya? bukannya dari dulu gue bilang kalau kita udah nggak cocok sahabatan? makannya gue minggat dari rumah lo!” tekan Adel.
“Adel, sudah!” ucap Kim tiba-tiba membuat Phia dan Adel saling berpandangan.