Karawang, 1 Mei 2009
Kaki langkah Phia perlahan-lahan terdengar memasuki lorong rumah sakit untuk mencari sebuah kamar, di mana tempat Vann dirawat.
Lorong yang panjang dan putih ini mengingatkan Phia pada momen saat dia sering mengantarkan Mamanya untuk berobat beberapa tahun ke belakang. Lorong rumah sakit juga yang membawanya bertemu dengan Vann.
Phia terus melangkah dengan capet, hingga nomor kamar yang dia cari sudah ada di hadapannya. Perlahan ia mendorong gagang pintu, dan untuk sesaat, pintu itu pun terbuka.
Pandangan Phia nanar melihat seorang laki-laki yang sedang terduduk menghadap ke arahnya, dengan pakaian rumah sakit.
Perban masih nampak terbalut di kepalanya, dan jarum infuse yang masih ada tertancap di tangan laki-laki tersebut. Pandangan matanya sayu, sedikit bingung melihat Phia yang datang secara tiba-tiba.
Phia pun sedikit terkejut, Melihat wajah Vann yang masih meninggalkan beberapa luka di wajahnya, namun tetap, ketampanannya tidak pernah memudar.
“Vann?” ucap hati Phia, ada sedikit gamang sekaligus kerinduan yang sangat sulit untuk dijelaskan.
Perlahan Phia menghampiri Vann dan menyentuh tangan Vann, terasa dingin. Ada sedikit air mata yang menetes namun belum ada kata-kata yang sempat diucapkan oleh Phia, dia sedang berusaha menetralisir rasa keterkejutannya terlebih dahulu.
Sementara itu Vann masih terdiam, membiarkan Phia menggenggam erat sebelah tangannya. Barangkali Vann sedikit bingung, dan tidak tahu juga apa yang harus dia lakukan.
“Vann?” ucap Phia
“Apa kamu baik-baik saja?” lanjut Phia, dan hanya dibalas dengan sebuah tatapan yang dalam mengarah ke matanya.
“Apa aku boleh memelukmu?” tanya Phia lagi.
Dan Vann masih terdiam.
Phia menganggapnya bahwa itu sebuah pesetujuan dan ia pun segera memeluk Vann, cukup lama, hampir lima menit sambil terisak menahan sesak di dadanya.
Dan Phia tahu bahwa Vann tidak membalas pelukannya sama sekali. Phia menebak barangkali laki-laki itu baru saja hilang ingatan, untuk saat ini dia belum bisa memutuskan apapun, selain lebih banyak melihat, mendengar dan mencari tahu segala hal yang sudah terlupakan.
“Vann, kamu tahu tidak selama ini aku sudah sering merindukan kamu,” ucap Phia lagi sambil terus menatap mata Vann sendu.
“Tarimakasih,” jawab Vann akhirnya.
Dan hal itu membuat senyuman Phia mengembang, dia bahagia sekali mendengar kata barusan yang pertama kali meluncur dari mulut Vann.
Kata “terima kasih” membuat dia merasa dihargai, meski Vann tidak menggingat siapa dirinya.
Phia memperhatikan Vann sekali lagi. Laki-laki yang tetap sama, meski sekarang nampak lebih kurus dengan dua bola mata cokelat tajam, hidung yang mancung dan bibir yang penuh. Ya, Vann memang selalu menawan. Dia akan selalu terlihat lebih muda dari pada usianya, dan semakin Phia melihat Vann, Phia semakin merasa dirinya mencintai laki-laki itu secara maksimal, hingga tak ada celah baginya untuk mampu mengagumi laki-laki lain.
“Maaf nona, siapa anda?” tanya Vann, sambil balas menatap Phia.
Phia tersenyum, dia merasa girang disebut nona oleh Vann.
“Aku Phia, adalah perempuan yang sangat mencintai dirimu, Vann,” jawab Phia refleks, tegas mengutarakan isi hatinya, tanpa beban.
“Apakah aku pernah memiliki kekasih yang secantik ini sebelumnya?” tanya Vann memastikan.