Terbakar Delusi

Tiwi Kasavela
Chapter #9

MERAPUH


Bandung, 3 Juni 2012

Tiga tahun bukanlah waktu yang singkat, tiga tahun adalah waktu yang cukup untuk mengukir banyak kisah indah dan bahagia, karena tiga tahun terakhir ini adalah semua tentang Phia dan Vann.

Ah, bukan tiga tahun akan tetapi tujuh tahun. Empat tahun untuk sebuah penantian dan tiga tahun untuk sebuah kebersamaan yang total.

Vann, adalah segalanya bagi Phia.

Dan sekarang, mereka akan kembali berjalan-jalan seperti biasa, entah sebenarnya Vann mau mengajak Phia kemana. Namun yang jelas hari ini, sebelum jam tujuh pagi Vann sudah sampai di depan pagar rumah Phia, dengan motor kesayangannya, Harley Davidson.

Vann nampak tampan, tubuhnya yang tinggi tegap, menampilkan sebuah kegagahan. Dengan gaya nyentrik, seperti pagi ini dengan jaket kulit dan dalaman kaos hitam juga celana jeans serta sepatu boots merah maroon. Membuatnya terlihat begitu enerjik dan sempurna.

Sebetulnya Vann tidak terlalu sering menggunakan motor, tapi kemarin laki-laki itu beralasan,

“Bosan Phia jika hanya berjalan-jalan dengan mobil terus, sekali-sekali aku ingin berpergian dengan motor,” ujar Vann saat mereka makan malam di sebuah kafe di kawasan Dago, yang lokasinya tidak terlalu jauh dari rumah Phia.

Phia hanya mengiyakan. Phia mengerti tentang kepribadian Vann yang terkadang penuh kejutan dan petualangan. Menjadi kekasih Vann adalah berkah yang belum tentu dapat Phia temui di kehidupan berikutnya.

“Jadi Vann mau pergi kemana kita?” tanya Phia ketika dia baru saja naik ke motor Vann.

“Ke sebuah tempat yang di penuhi dengan kesegaran, kenyamanan dan kebahagiaan. Hanya jangan lupa untuk pegang erat-erat, karena perjalanan kita akan sangat panjang dan melelahkan Nona Phia!” ucap Vann penuh semangat.

Kini motor Vann melaju kencang. Entah kemana sebetulnya tujuan Vann, Phia tidak ingin bertanya terlalu banyak, dan setelah tiga jam hampir berlalu, Phia tahu mereka menuju kawasan Ciamis.

“Kamu nggak lelah Vann?” tanya Phia, ketika Vann masih begitu fokus mengendarai motornya.

“Terkadang menikmati kelelahan itu sangat menyenangkan Phia,” jawab Vann ringan, tanpa kehilangan konsentrasi.

Dan entah apa yang Phia rasakan saat ini adalah bahagia. Sebuah perasaan di mana dia merasa hidupnya begitu lengkap, saat dia mempercayakan hidupnya pada seorang lelaki yang kini benar- benar tinggal dan tidak akan pernah melepaskannya pergi.

Phia terus memperhatikan pemandangan sekitar, meski sebelumnya ia sering pergi dengan kendaraan yang lebih nyaman dan aman ke berbagai macam tempat yang indah dan menakjubkan, namun tidak akan pernah ada perjalanan yang lebih indah dari pada perjalanannya bersama Vann.

Hingga sekian lama berlalu Vann menghentikan motornya tepat di depan samudra, tepatnya di bibir Pantai Barat Pangandaran.

“Phia, coba lihat ombak itu, seakan-akan membawaku ingin tenggelam pada damai. Riak-riaknya adalah buah kerinduan pada mimpi dan angan-angan. Aku benar-benar mencintai hidupku,” ucap Vann, matanya teduh menatap lautan.

“Lain kali lebihlah sering pergi berkunjung ke pantai Vann.

Aku juga sangat suka pantai, seperti kamu,” jawab Phia kemudian.

“Semoga, Phia.”

Phia merasa sedikit janggal dengan jawaban Vann, tapi dia tidak memikirkan hal itu terlalu banyak karena dia sedang ingin lebih dalam menikmati pemandangan samudra di hadapannya.

Untuk beberapa saat Phia dan Vann berjalan menyusuri pesisir kemudian terduduk di tepi pantai sambil menikmati matahari yang mulai tenggelam.

“Phia, menurutmu apa artinya hidup ini?” tanya Vann kemudian, tatapannya menerawang jauh menembus langit temaram.

Sesekali beralih pada ombak yang pasang surut menyentuh kaki mereka berdua.

“Aku tidak pernah berpikir sejauh itu Vann, aku hanya sekedar menjalani hidup saja. Aku juga tidak tahu apa definisi terbaik tentang hidup dan bagaimana harus menjalani hidup. Aku hanya berusaha menjadi manusia yang lebih produktif dan lebih progresif, memangnya kenapa?” tanya Phia khawatir, sudah lama Vann tidak bertanya tentang sesuatu yang filosofis seperti ini.

“Jangan hanya sekedar hidup, tapi cobalah pikirkan tentang banyak hal yang membuatmu lebih memahami apa artinya hidup ini dan bagaimana cara terbaik untuk menghayatinya. Jika sudah tahu, hidup ini akan lebih mudah untuk dinikmati bukan?” jelas Vann sambil tiba-tiba menyentuh tangan Phia.

Dada Phia berdebar kencang, ada perasaan berbeda yang menyelimuti hatinya saat ini, gusar dan bimbang tentang apa yang sebenarnya ingin Vann sampaikan kepadanya.

“Phia, aku ingin melajang seumur hidup,” kata-kata itu membuat Phia terhenyak seketika.

Sebuah pernyataan yang tidak pernah dia pikirkan sebelumnya, sebuah kalimat yang Phia pikir tidak akan pernah keluar dari mulut Vann.

Di usia Vann yang sudah menjelang 38 tahun, Phia pikir Vann akan mengajaknya menikah, hidup bersama, memiliki anak-anak yang tampan dan cantik, menua bersama sampai mati. Dan setelah penantian panjang, ketulusan serta kesetiaan yang nyaris tidak tergoyahkan ini, pada akhirnya Vann tetap memilih untuk melajang seumur hidupnya? Lantas apa bedanya, ketika dulu Vann menjadi biksu dengan saat ini? Bukankah sama-sama menjadi seorang lelaki yang tidak bisa ia miliki dalam hidupnya.

Phia terdiam, entah apa yang akan dikatakannya. Rasanya lidah Phia kelu, badannya mendadak lemas, dan seolah rasa dingin menyergap saking kecewa dan terkejutnya dengan pernyataan Vann barusan.

Vann melepaskan genggaman tangannya, dan ganti merangkulnya.

“Phia sayang, aku ingin hidup bebas seperti burung rajawali yang tidak mengenal batas dalam perjalanannya. Ia hanya akan berhenti, ketika ia benar-benar merasa lelah. Aku ingin hidup tanpa banyak beban yang memenuhi pikiranku. Aku suka melajang, aku tidak ingin berumah tangga, tidak ingin memiliki belenggu karena memiliki isteri dan anak. Aku ingin sendirian menyelami semua fenomena kehidupan,” jelas Vann membuat Phia lagi-lagi hanya bisa terdiam menatap pasir, yang entah mengapa terasa begitu hampa.

“Apakah sekarang kau benar-benar ingin mengatakan kepadaku bahwa, kita harus berakhir? Aku sangat mencintaimu, Vann!” ucap Phia menahan kesedihan yang tiba-tiba menguasai hatinya. Air mata itu turun dengan mudahnya.

“Phia, tidak pernah ada ungkapan untuk mengakhiri sebuah hubungan. Bukankah kita tetap masih bisa bersama sekalipun tanpa sebuah ikatan pernikahan?”

“Kamu Gila! Kamu pasti tidak pernah mencintaiku, Vann!”

Lihat selengkapnya