Terbakar Delusi

Tiwi Kasavela
Chapter #11

HASRAT YANG MEMBATU

29 Juli 2013

Hari-hari berlalu, Vann semakin rajin pergi bermeditasi. Phia hampir tidak pernah melihat Vann jalan-jalan atau banyak menghabiskan waktu di luar lagi. Kalau tidak mengurusi bisnis paling-paling dia bermeditasi. Dan Phia tidak pernah berusaha menganggunya, dia pun sibuk dengan agenda film, pemotretan ataupun acara talkshow.

Terkadang mereka hanya makan malam di kafe atau menonton film di bioskop bersama. Lucunya, kadang Phia menonton film yang ia perankan sediri dan sesekali Vann bergurau menggodanya,

“Peranmu tangguh sekali, kenyataannya tidak sebaik itu Nona Phia,” seloroh Vann saat Phia memainkan film aksi.

Di lain waktu mereka lebih sering pergi ke seminar, pergi ke luar negeri bersama untuk membereskan suatu agenda, atau jika memang benar-benar senggang Phia sering ikut Vann mengikuti kegiatan-kegiatan Ajaran Buddha. Terkadang mereka berdiskusi tentang konsep alam semesta, berbagai fenomena seperti bisnis, ekonomi dan pemerintahan. Namun Vann nampak biasa saja memandang ketimpangan-ketimpangan sosial. Dia tidak pernah mencaci para koruptor, memaki orang-orang kapitalis. Vann selalu lebih bersemangat ketika mengulas makna kehidupan dan segala hal yang berkaitan dengan pemurnian batin.

Phia pun mulai membaca buku-buku tentang Buddhisme yang biasanya banyak disediakan secara gratis di beberapa vihara.

Membaca beberapa bagian kitab-kitabnya juga. Namun, terkadang ia masih pergi ke gereja bila ia rindu Mamanya.

Sementara itu, Vann semakin lama semakin mapan, ia sangat cerdas sehingga deviden perusahaan naik dari waktu ke waktu. Saat ini, Vann juga merupakan kepala manager operasional, dan meski ditawari Om Hendrick untuk menjadi direktur, Vann selalu menolak.

“Aku tidak ingin berjalan terlalu jauh,” jawab Vann, di sebuah sore ketika Phia bertanya.

Ya, Phia paham maksud Vann, barangkali suatu hari nanti Vann akan benar-benar memasuki kehidupan biara di waktu yang tepat. Entah kapan, Phia tidak yakin kapan itu akan benar-benar terjadi, karena Vann pun tidak pernah secara langsung menyinggung-nyinggungnya lagi.

Adapun tentang Kim, terkadang Phia bertemu dengannya untuk jalan-jalan bersama. Sebenarnya Kim sudah tahu tentang Vann meskipun tidak secara mendetail. Yang Kim tahu, laki-laki yang Phia ceritakan dulu sudah menjadi kekasihnya. Itu saja. Lagi pula Kim tidak terlalu bernafsu untuk mengetahui lebih lanjut tentang Vann. Sudah beberapa kali Phia mengajak Kim untuk bertemu dengan Vann, namun Kim selalu menolak dengan berbagai macam alasan. Phia pun berusaha memahaminya.

“Phia, semoga suatu hari nanti aku bisa jatuh cinta kepada perempuan lain, sehingga tidak harus hidup dalam bayang-bayangmu. Semoga aku bisa melupakan kamu,” ucap Kim di sela-sela makan malamnya ketika terakhir kali mereka bertemu, dua minggu yang lalu.

Phia lebih lega, karena saat ini Kim lebih memperlakukannya sebagai seorang sahabat ketimbang seorang kekasih, meski sesekali Phia dapat merasakan bahwa Kim masih memiliki harapan dan di waktu tertentu akan berkata bahwa dia menyukai Phia. Namun Phia tidak mempermasalahkan hal tersebut.

Dan di saat Vann begitu sibuk dengan pekerjaan atau meditasinya, Phia sering menghabiskan waktu bersama Kim. Entahlah, sesibuk apapun Kim, laki-laki itu selalu memiliki waktu luang untuk Phia. Ya, Kim selalu ada untuknya, seperti sejak pertama kali mereka bertemu.

***

Bandung, 22 September 2013

“Phia, apakah kamu mau ikut bersamaku mengikuti kegiatan retreat meditasi selama sebulan di Bogor?” tanya Vann saat Phia baru saja selesai berdandan pagi ini.

Ya, hari ini mereka berencana untuk pergi berlibur ke kawasan Situ Cileunca di kawasan Pangalengan. Vann juga meng- ajaknya untuk melakukan Arung Jeram di Sungai Palayangan yang letaknya tidak terlalu jauh dari sana.

“Boleh Vann, kapan?” tanya Phia cepat.

Rasanya apapun yang Vann minta, Phia hanya mampu mengiyakan. Kemanapun Vann pergi, Phia akan berusaha untuk mengikutinya meskipun harus mengorbankan banyak hal, waktu, pekerjaan atau kesibukannya yang lain, sepenting apapun itu.

“Minggu depan. Tapi aturan dalam bermeditasi, kita tidak tidak diperkenankan berbicara, kemudian juga tidak boleh menggunakan telepon genggam. Bagaimana, apakah seorang Phia dapat menyanggupinya?” tawar Vann.

“Apa? Sebulan tanpa bicara dan handphone? Gila! Aku pasti akan sangat kesulitan mengatur jadwal pekerjaanku, Vann!” protes Phia.

“Bebas Phia, aku tidak pernah memaksamu. Tapi tentu jika kamu tidak ikut. Selama sebulan kedepan kita tidak akan saling berkabar dan juga tidak bisa saling bertemu,” jelas Vann membuat

Phia terdiam sejenak.

Phia berpikir beberapa lama, rasanya akan sangat gelisah kalau harus hidup sebulan tanpa Vann. Beberapa waktu lalu saja saat Vann pergi ke Hongkong dan mereka tidak berkabar selama tiga hari karena beberapa faktor. Itu saja sudah membuatnya cukup uring-uringan, takut ada hal buruk yang terjadi pada laki-laki itu.

Apalagi jika rentang waktunya adalah sebulan, tentu hari-hari akan jadi sangat sepi dan kurang menyenangkan.

“Oke, aku ikut saja deh,” jawab Phia, agak terpaksa sebenarnya.

“Meditasi itu baik, Phia untuk menenangkan jiwa dan menjaga konsentrasi pikiran serta keseimbangan batin. Setiap kali aku punya masalah, aku selalu bermeditasi. Lagi pula sekarang meditasi menjadi hal yang umum. Bukan hanya untuk penganut Ajaran Buddha saja, tapi kalau kamu pergi ke tempat retreat meditasi kamu akan menemukan peserta dari berbagai macam agama. Tentu saja yang mereka cari adalah ketenangan,” tambah Vann.

Untuk selanjutnya mereka pergi. Kali ini Vann memilih menggunakan mobil karena memang musim sudah berganti dari hujan ke panas dan dengan mobil terasa lebih nyaman. Tentu liburan yang sangat mengasyikan bagi Vann dan Phia ketika mereka sampai di Situ Cileunca dan menikamati wisata air sambil berkeliling kebun jeruk dan tomat. Mereka juga sempat memanen buah Strawberry sendiri. Memang daerah Pangalengan juga Ciwidey ini khas dengan buah Strawberry yang pada akhirnya diolah menjadi beberapa sajian yang khas. Mulai dari selai, gula-gula, permen, dodol dan lain sebagainya.

Setelah puas menikmati pemandangan Kebun Strawberry dan danau. Phia dan Vann juga tidak lupa mengikuti Arung Jeram yang menambah asik piknik mereka. Beberapa kali Phia dan Vann terjatuh dari perahu.

Baju dan tubuh mereka basah oleh air sungai, tapi yang tersisa hanya tawa saja. Beberapa kali tangan Vann menyentuh tangan Phia agar tidak terbawa derasnya air sungai. Dan Phia dapat merasakan betapa Vann sangat memperhatikan dan mengkhawatirkannya.

Laki-laki yang selalu mengisi seluruh sisi kebahagiaanya. Laki-laki yang sudah menyempurnakan hidupnya.

“Vann aku ingin bersamamu selamanya, tidak peduli apapun yang terjadi nanti,” ucap Phia ketika mereka baru saja menepi dari perahu, kemudian meminum jahe panas, untuk menghangatkan badan.

“Jika itu membuatmu bahagia Phia, lakukanlah,” jawab Vann sambil tersenyum ke arahnya. Rambut dan wajahnya yang masih basah itu membuatnya terlihat seksi dan semakin tampan. Dan Phia tidak pernah berhenti mengagumi ketampanan Vann. Bagi Phia, Vann adalah laki-laki yang paling tampan di dunia.

Setelah merasa cukup minum-minum, mereka juga tidak lupa untuk berselfie. Hal yang selalu Phia lakukan ketika pergi ke tempat baru bersama Vann. Mengabadikan setiap momen indah dalam kamera atau handphone agar tetap bisa diingat meski waktu akan terus berlalu kemudian.

Sore menjelang malam, Phia dan Vann makan di sebuah restoran seafood. Sebenarnya Vann tidak terlalu suka makan daging, tapi kalau sedang bersama Phia, Vann tidak pernah memprotes di mana mereka makan, atau menu apa yang dipesan. Biasanya Vann hanya makan sedikit, seperti juga malam ini dari Ikan Bawal bakar, Udang Goreng, Cumi Tepung dan juga lainnya. Laki-laki itu hanya makan ikan dan sayur kangkung.

“Vann, kenapa makan tidak terlalu banyak?” tanya Phia ketika ia belum lama menjadi kekasih Vann.

“Makan terlalu banyak memiliki dampak negatif terhadap kondisi fisik dan kejiwaan Phia. Kebiasaan yang melahirkan penyakit dan kondisi tidak produktif di masa yang akan datang,” jelas Vann.

Phia hanya mengiyakan saja, toh Phia mengerti barangkali karena dulunya Vann adalah seorang biksu sehingga dia juga menjaga pola makan. Atau bisa jadi untuk mengurangi keserakahan.

Usai makan, Vann juga menemani Phia pergi ke tempat oleh-oleh, belanja baju dan lain sebagainya. Tentu dengan kacamata hitam, topi dan aksesoris lain yang membuat wajah Phia tidak terlalu mencolok. Maklum, dia seorang aktris, kadang sulit sekali memiliki privasi. Bahkan kemarin-kemarin sempat beredar foto Phia yang sedang makan berdua dengan Vann di sebuah kafe di kawasan Jakarta. Ini membuat Phia sedikit terpukul, karena selama ini sudah berjuang keras menutupi hubungannya dengan Vann dari media.

Dan ketika Phia mengatakannya kepada Vann sekaligus meminta maaf, Vann hanya tersenyum dan berkata,

“Tidak apa-apa Phia, biarkan saja,” ucapnya santai.

Beberapa wartawan juga menghubunginya dan bertanya siapa laki-laki yang duduk berdua dengannya di restoran tersebut.

“Apakah itu kekasih baru anda?”

“Sudah berapa lama anda menjalin hubungan dengannya?”

“Apakah anda memiliki rencana untuk menikah dengan kekasih anda dalam waktu dekat ini?”

“Apa sebetulnya profesi kekasih anda? Apakah seorang eksekutif muda? Bekerja di ranah hiburan juga atau lainnya?”

“Lantas bagaimana dengan Kim, bukankah kemarin anda berlibur bersama ke Thailand dengannya?”

Pertanyaan demi pertanyaan yang tidak jauh-jauh dari ini biasanya terus dilontarkan kepadanya. Dan sulit bagi Phia untuk mengatakan sesuatu. Tentu saja sulit, memang betul Vann adalah kekasihnya, tapi mengatakan bahwa mereka akan menikah di suatu hari nanti adalah sebuah harapan yang begitu berat untuk dikatakan, karena sepertinya Vann tidak pernah berencana menikah dan membangun rumah tangga.

***

Bogor, 1 Oktober 2013

Kota Bogor memang dikenal sebagai kota hujan, kawasannya yang terletak di kaki gunung membuatnya terasa jauh lebih dingin, ketimbang di perkotaan. Dan kebetulan Vann dan Phia baru saja sampai di tempat reatret meditasi ketika senja mulai memerah.

Kawasan yang cukup luas dengan dikelilingi gunung, Phia dapat merasakan kesejukan di tempat ini.

“Mulai besok Phia kamu harus bangun jam setengah 4 pagi.

Lalu melakukan meditasi hampir dua belas jam dalam sehari. Oh iya, untuk makan hanya dua kali saja, yakni pukul 6 dan sebelum jam 12 siang,” jelas Vann, ketika mereka berdua terduduk dan bersantai setelah perjalanan yang cukup melelahkan dari Bandung.

“Apa? Makan sebelum jam 12?” pekik Phia agak gusar.

“Ya, karena kamu harus mengambil delapan sila Buddhis, biasanya umat awam hanya melakukan lima sila yakni menghindari pembunuhan, menghindari pencurian, menghindari perzinahan, menghindari perkataan dusta dan menghindari sesuatu yang memabukkan. Karena kita ikut retreat ditambah tiga sila selanjutnya yakni menghindari tempat tidur yang tinggi, menghindari segala sesuatu yang berbau dengan hiburan seperti musik, film dan lain sebagainya. Juga Phia tidak diperkenankan mempercantik diri, tanpa aksesories dan juga makan hanya dua kali di saat sarapan dan jam 11 siang. Selebihnya kamu hanya boleh minum, itupun tidak semua jenis minuman boleh kamu minum. Baiknya konsumsi air putih saja,” jelas Vann lagi.

“Jadi aku juga nggak boleh dandan?” Phia mengkernyitkan dahinya. Jujur saja, Phia memang tidak bisa dipisahkan dengan make up. Apalagi profesinya sebagai seorang artis. Make up bukan lagi sebatas keinginan untuk terlihat cantik, melainkan juga kebutuhan yang penting untuk menunjang penampilannya.

“Nggak apa-apa dong Phia di sini nggak dandan, toh kamu juga cuman mau meditasi. Nggak fashion show atau pemotretan juga kan?” komentar Vann sedikit meledeknya.

“Hmm,” Phia berdehem sambil memicingkan matanya ke arah Vann, agak kesal.

“Iya sih, tapi rasanya kurang percaya diri saja kalau nggak dandan sama sekali, Vann,” ucap Phia kemudian.

“Kamu masih boleh pulang kok sebelum retreatnya dimulai. Lagi pula besok kita sudah tidak diperkenankan berbicara lagi,” tekan Vann membuat Phia hening seketika.

“Jadi bagaimana, Phiaku?” tanya Vann lagi, karena selama beberapa saat Phia hanya tercenung saja. Tapi dipanggil oleh Vann dengan tambahan kata ‘ku’ dibelakang namanya membuat Phia jadi salah tingkah. Jujur saja, Vann adalah tipikal laki-laki yang cukup pendiam, jauh dari romantis, apalagi mengumbar kata-kata rayuan.

Kata-kata semacam sayang, beb, darling dan semacam adalah kata yang sangat jarang sekali dikatakan oleh Vann, kecuali kalau memang sedang membicarakan hal-hal yang serius dan pertanyaan atau penyataan yang memiliki tekanan di dalamnya.

“Oke nggak apa-apa, toh aku sudah terlanjur berada di sini, membawa banyak pakaian dan sudah membatalkan banyak agenda.

Tidak mungkin rasanya jika aku harus kembali lagi. Aku yakin semuanya akan baik-baik saja, selama ada kamu di sini, separah apapun kondisinya aku pasti bisa bertahan,” ucap Phia pada akhirnya.

Merekapun terus berbincang seputar apa saja yang harus dilakukan dan dihindari ketika meditasi. Setelah itu Phia dan Vann pergi ke meja administrasi untuk melakukan daftar ulang, menyerahkan handphone dan mendapat penjelasan mengenai kegiatan retreat ini.

Namun ada hal yang cukup mengejutkan ketika mereka mendaftar ulang. Karena panitia retreat meditasi, Hendi mengenal mereka berdua.

“Sepertinya saya tidak asing dengan wajah anda berdua,” ucap Hendi sambil menatap Phia dan Vann lamat-lamat. Saat itu dia dan Vann hanya tersenyum saja.

“Anda, bukankah Bhante Ananda kan? Oh iya.... anda juga bukankah artis dan model, Phia Lin Veloso kan?” lanjut Hendi lagi.

Dan mau tidak mau pada akhirnya mereka harus bercerita juga. Memang Vann dulu juga dikenal sebagai guru meditasi. Sering mengajar retreat di beberapa kota besar di Indonesia, terutama Jakarta. Sehingga ia cukup dikenal meski sudah lebih dari empat tahun tidak hidup dalam biara dan menanggalkan jubah kebiksuan.

“Saya mendengar kalau dulu anda sempat mengalami kecelakaan dan hilang ingatan, apakah sudah pulih kembali?” tanya Hendi antusias.

“Butuh waktu yang cukup lama untuk bisa mengingat semua hal dengan jelas, saya banyak belajar dan berlatih,” jawab Vann dengan senyum khasnya.

“Dulu saya cukup mengagumi anda, masih muda namun sudah mantap hidup dalam kebiksuan. Anda juga dikenal sebagai biksu yang cerdas. Beberapa kali saya ikut pelatihan meditasi yang sempat anda ajarkan. Saya juga rindu dengan pembabaran dhamma yang anda sampaikan. Senang sekali bisa bertemu dengan anda lagi, meski saat ini anda datang bukan sebagai pembimbing retreat melainkan peserta meditasi,” jelas Hendi, membuat Phia terpaku.

Agak kesal karena, rasanya ketimbang dengan dirinya, Hendi lebih tertarik untuk berbicara dengan Vann. Jujur saja Phia juga tidak menyangka bahwa di masa lalu Vann adalah biksu yang memiliki banyak penggemar. Phia masih ingat ketika dia bertemu dengan Tante Lusi, perempuan itu juga mengatakan bahwa dia suka pergi ke kelas meditasi yang dibimbing oleh Vann, ketika masih menjadi Bhante Ananda. Sekarang Phia semakin paham kenapa Vann merindukan masa-masa sebagai biksu. Karena laki-laki itu sudah bukan lagi hanya sebatas biksu yang sekadar suka bermeditasi atau mengunjungi vihara. Namun Vann suka mengajar kemudian dikenal oleh banyak umat Buddha di Indonesia, dan menyadari hal ini entah kenapa membuat dada Phia terasa sesak.

“Apakah anda memiliki rencana untuk menjadi biksu lagi?” tanya Hendi lagi kepada Vann. Nampaknya pemuda usia 20-an akhir itu begitu penasaran dengan kehidupan Vann saat ini.

Vann terdiam sejenak, sementara Phia hanya bisa terdiam.

Sedang gusar dan sedikit resah dengan pernyataan-pernyataan yang Hendi lontarkan. Karena seakan membuka sosok Vann yang tidak banyak Phia ketahui.

“Saya sedang fokus menyelesaikan beberapa hal terlebih dahulu sebelum kembali,” jawab Vann sederhana.

“Dulu anda juga pernah menjadi pendamping sayadaw yang mengajar meditasi di sini. Saat itu saya masih menjadi peserta, dan baru dua tahun terakhir ini menjadi panitia acara meditasi,” ucap Hendi bercerita.

“Itulah kenapa saya datang ke mari, karena memang saya rindu untuk bertemu dengan guru saya,” balas Vann.

“Wah, nampaknya sayadaw akan senang sekali dengan kehadiran anda,” komentar Hendi terlihat senang.

“Oh iya, Nona Phia?” lanjut Hendi.

“Ya?” Phia beringsut, takut ada pertanyaan-pertanyaan yang susah dijawab yang terlontar dari mulut laki-laki itu.

“Apakah Nona Phia adalah saudaranya Bhante Ananda?” tanya Hendi penasaran.

“Bukan, lagi pula sekarang Vann sudah bukan Bhante Ananda lagi. Vann adalah pacar saya,” jawab Phia tajam, dia tidak bisa menyembunyikan rasa kesalnya terhadap Hendi yang menurutnya sangat cerewet.

Saat itu juga Vann dan Hendi menatapnya bersamaan. Entah harus menyesal atau tidak mengatakan hal itu. Tapi memang Phia agak risih juga jika terlalu ditanya macam-macam terlalu dalam.

Meskipun pada akhirnya Phia mengenal sisi kehidupan Vann yang lain saat laki-laki itu masih menjadi biksu.

Tidak lama kemudian mereka pun keluar dari ruangan dan berjalan, hendak menuju kamar masing-masing untuk beristirahat.

Selama beberapa detik mereka hanya bisa terdiam.

“Vann, kenapa kamu tidak pernah bilang kalau dulu kamu adalah biksu yang cukup dikenal banyak orang?” protes Phia kecewa.

“Aku tidak merasa bahwa aku terkenal Phia,” bantah Vann.

“Tapi banyak orang yang mengenal kamu,” balas Phia mempertahankan pendapatnya.

“Bukankah dari dulu aku sempat mengatakan bahwa aku sudah terbiasa berkeliling dari satu vihara ke vihara lainnya di berbagai kota di Indonesia, dan terkadang aku juga bepergian ke berbagai kawasan di Asia Tenggara. Bukankah dari sana kamu juga sudah dapat menyadari bahwa mungkin ada orang-orang Buddha yang mengenaliku,” Vann memberikan penjelasan.

Lihat selengkapnya