Jakarta, 5 Maret 2014
Phia menanti Vann yang tiba di Bandara Soekarno Hatta sore ini. Dan ketika laki-laki itu tiba, dia langsung memeluk Phia sesaat, begitu hangat. Untuk kemudian menggenggam tangan Phia, berjalan santai menuju sebuah rumah makan dan memesan soto.
“Aku senang sekali Phia, bisa melihat Papaku,” ucap Vann sambil menikmati soto panasnya.
“Oh iya? Apa yang terjadi kemudian, Vann?” tanya Phia antusias.
“Papa berkata sangat menyesali perbuatannya di masa lalu. Dia pun tersiksa menahan semuanya sendiri. Namun karena gengsi yang begitu mendalam dia tidak melakukan apa-apa. Kini dia sudah mulai menua, ini fotonya,” ucap Vann sambil menunjukkan sosok lelaki usia menjelang usia 70 tahun, rambutnya mulai memutih namun ketampanan di masa mudanya masih terlihat di sana.
Phia terdiam sejenak, mengingat sosok laki-laki tua itu. Ya, ia pernah bertemu dengannya dua kali. Saat Phia berlibur ke Queensland dan Kamboja, dulu Om Sinn terlihat masih terlihat penuh semangat. Tapi sekarang memang nampak sudah cukup berumur, mungkin karena sudah beberapa lama ini dia sakit.
“Kamu lebih mirip dengan ibumu, Vann. Sementara ayahmu, sangat identik dengan Kim,” komentar Phia, begitulah adanya.
Memang, wajah Om Sinn dan Vann sangat jauh berbeda, sehingga meski Phia mengetahui Kim dan Vann berasal dari negara yang sama, namun tidak pernah terbesit di hati Phia, bahwa mereka bersaudara.
“Ya sepertinya memang seperti itu, Phia. Oh iya Papaku sekarang sering sakit-sakitan. Dia pecandu rokok aktif, paru-parunya bermasalah. Kim pulang ke Indonesia belakangan ini sebetulnya disuruh papa untuk mencari aku dan Mama. Karena sudah begitu lama kehilangan kontak. Sebenarnya Papa sangat mencintai Mama. Oleh karena itu sekalipun dia menjadi duda saat usianya persis seusiaku. Dia tetap memutuskan hidup sendiri tanpa wanita dan hanya bergelut dengan kesibukannya. Papa mengatakan bahwa dia sangat marah dan kesal juga kecewa karena kepindahan agama Mama. Apalagi saat Mama ingin menjadi biksuni, Papa sangat emosi, dan menganggap hubungan mereka benar-benar selesai. Papa menyesal karena dulu ia tidak bersikap lebih toleran. Sekalipun harus berpisah, seharusnya Papa masih tetap mau mengunjungi Mama. Karena keegoisan itulah akhirnya membuat anak harus terpisah dari ibunya juga saudaranya. Papa menyesal, dan bulan depan dia akan ke Indonesia untuk berziarah.” jelas Vann.
Phia hanya mengangguk-ngangguk. Begitu takjub pada kisah perjalanan hidup Vann yang sangat dramatis.
“Namun ada satu hal yang membuatku jauh lebih bahagia,” lanjut Vann.
“Apakah itu?” tanya Phia penasaran, sudah lama Phia tidak melihat Vann menjadi secerewet ini.
“Papaku mengijinkanku menjadi seorang biksu kembali,” sahut Vann bersemangat,
“Apa?” suara Phia tertahan di kerongkongannya. Berharap bahwa apa yang dia dengar barusan adalah salah.
“Ya Phia maafkan aku, tapi betapapun aku harus tetap mengatakannya juga. Sejak awal aku ingin menjadi biksu namun karena beberapa pertimbangan aku masih menjadi awam kan? Phia, aku selalu mengatakan bahwa aku ingin hidup melajang. Semua itu aku inginkan agar kelak jika tiba di momen aku kembali ke biara aku tidak akan begitu kesulitan meninggalkan banyak hal lagi. Coba kamu bayangkan kalau aku menikah denganmu? Lalu kita punya anak? Pasti berat bagiku,” jelas Vann membuat Phia terdiam seribu bahasa.
Vann menggenggam tangan Phia erat.
“Maaf, maafkan aku, maafkan aku Phia, maaf.”
Phia hening, tidak tahu harus berkata apa.
“Kamu tahu sudah lama aku ingin menjadi biksu. Tapi sebelum itu aku mengajakmu mengenal Ajaran Buddha terlebih dahulu. Membuka pengetahuanmu tentang konsep penderitaan, kemelekatan dan sebagainya. Sampai meditasi, agar ketika aku benar-benar pergi kamu paham dengan jalan hidup yang aku pilih dan kamu tidak akan terlalu merasa sedih.”
Phia masih diam.
“Phia orang-orang yang berumah tangga memang bahagia. Tapi kebahagiaan sejati bagiku adalah melewati jalan spiritual dan menjadi biksu. Kehidupan sebagai awam sangatlah berisiko dan terbatas. Namun di dalam biara semuanya menjadi lebih luas dan bebas. Ini adalah kebahagiaan sejati yang ingin aku tempuh. Karena aku tidak ingin sekadar menikmati kebahagiaan yang fana.”
“Semendesak itukah hasratmu untuk menjadi biksu saat ini, Vann?” tanya Phia menatap wajah laki-laki itu dalam-dalam.
“Ya aku ingin segera melakukan upasampada yaitu melepaskan hidup duniawi kemudian menjadi seorang biksu. Dunia ini tidak kekal dan hanya diselimuti oleh tiga faktor yakni penderitaan, tanpa inti dan tidak kekal. Semuanya adalah kosong semata-mata, Phia.” jelas Vann, ada semangat yang membara di dalam diri laki-laki itu untuk segera menjadi biksu. Phia belum sanggup untuk mengatakan apapun, hanya bisa menatap laki-laki dihadapannya.
***
6 Juni 2014
Hari-hari yang begitu sibuk, Phia kembali bermain film layar lebar bahkan harus menetap beberapa bulan di Amerika. Sementara Vann fokus berlatih di beberapa tempat retreat meditasi untuk selanjutnya pergi ke Myanmar, menjadi samanera hingga akhirnya ditasbihkan sebagai seorang biksu.
“Phia apa kabar?” suara Vann terdengar dari seberang telepon, maklum mereka sudah tidak bertemu seintens dulu.
“Baik, kenapa emangnya?” suara Phia tertahan. Phia begitu kecewa dengan keputusan Vann sehingga membiarkan laki-laki itu pergi kemanapun tanpa menghubunginya. Mungkin Phia sudah cukup lelah, bingung bagaimana lagi membuat Vann mau menjadi umat awam dan mau hidup bersama dengannya saja.
“Nggak apa-apa kok, ngomong-ngomong kamu sedang apa? Sudah sarapan pagi?” tanya Vann perhatian.
“Entahlah, aku sedang pusing,” jawab Phia acuh tak acuh.
“Phia penyebab dari permasalahan kamu adalah keinginanmu itu sendiri, harapan kamu, impian kamu yang kadangkala sulit dipuaskan.”
“Sudahlah, aku sedang tidak butuh nasihatmu Vann,” ujar Phia, tidak bisa menyembunyikan rasa amarahnya kepada Vann yang selama ini tersimpan di dalam diam.
“Maafkan aku, tapi kalau sedang pusing sebaiknya bermeditasilah.”
“Hmm...” Phia hanya bergumam.
“Baiklah, selamat pagi Phia, semoga agenda pemotretan kamu pagi ini berjalan lancar. Sampai jumpa, ” ucap Vann lagi dan telepon terputus.
Meditasi? Phia menghela nafasnya berat. Dia terlalu sibuk dengan pekerjaan dan kalaupun ada waktu senggang dia lebih suka tidur. Karena di hari-hari biasa, dia selalu kekurangan tidur.
Teringat sebuah buku yang pernah Vann berikan kepadanya beberapa bulan lalu, tentang paduan retreat meditasi oleh Bhante Sujiva. Dan Phia kembali membacanya, memang dalam bermeditasi seseorang tidak bisa bermeditasi seenaknya. Setidaknya terdapat empat pelindung meditasi yaitu cinta kasih, perenungan nilai-nilai luhur sang Buddha, perenungan akan tubuh yang menjijikkan, dan perenungan akan kematian. Selain itu, meditasi juga memiliki banyak teknik yang terangkum dalam meditasi samatha yang fokus untuk melatih konsentrasi dan vipassana untuk mendapatkan pandangan terang. Yang jelas dalam bermeditasi, ada sebuah tujuan yang hendak dicapai, yaitu memutuskan kekotoran batin, entah keserakahan, kebencian dan juga kebodohan. Ketika kita sudah berhasil memotong sumber-sumber penderitaan tersebut maka akan muncul kesadaran, dan segala hal-hal yang tidak terungkapkan di muka bumi ini akan terbuka dengan sendirinya.
Setidaknya ketika seseorang ingin berlartih dengan baik dalam meditasi dan ingin mendapatkan perubahan yang cukup signifikan setidaknya orang tersebut harus melewati lima rintangan atau niravana yakni nafsu indera, niat jahat atau kemarahan, kemalasan atau kelambanan, kegelisahan dan kekhawatiran juga Keragu-raguan.
Phia juga sempat membaca kalimat yang menarik di buku itu,
“Ketika kita mengharapkan kebahagiaan orang lain, kita terbebas dari nilai jahat dan kebencian.”
Kalimat tersebut mengingatkannya pada sosok Vann. Laki-laki itu juga pernah mengatakan,
“Phia kebanyakan manusia selalu berpikir untuk mendapat, mendapat dan mendapat... kalau keinginannya bisa didapatkan dia akan menjadi serakah. Kalau keinginannya terhalang dia akan jadi marah, kecewa dan ujungnya membenci. Kalau manusia sudah berpikir untuk tidak sebatas membahagiakan dirinya sendiri, tapi juga mencoba membahagiakan orang lain. Dia pasti akan kekurangan rasa benci.”
Phia kembali terdiam, apakah saat ini dia sedang berusaha memercikan api kemarahan bahkan kebencian terhadap Vann, karena merasa diabaikan dan ditolak?
Phia tidak tahu, tapi faktanya kalau dia memang mencintai Vann dan ingin Vann bisa bahagia. Dia sama sekali tidak boleh menghalangi laki-laki itu untuk pergi.
Dia juga ingat obrolannya beberapa waktu lalu dengan seorang biksuni di Malaysia, saat ia sengaja jalan-jalan sendirian ke sebuah vihara untuk menenangkan diri.
“Kalau kamu menyukainya, dukunglah dia. Toh apa yang akan dia kerjakan merupakan hal yang sangat baik, untuk berlatih guna mencapai kesucian? Kenapa jalan hidup yang baik harus ditentang? Tidak usah gelisah memikirkan masa depan atau takut kehilangan orientasi. Itu kekhawatiran yang tidak beralasan. Sang Buddha mengajarkan kita untuk hidup hanya pada saat ini, melakukan yang terbaik pada saat ini saja. Orang yang berbahagia adalah orang yang bisa hidup pada hari ini, tidak digalaukan dengan kemarin atau besok,” jelas Biksuni Dhammayani.
Baiklah mulai saat ini Phia akan berusaha untuk lebih ikhlas dalam menerima kenyataan, bahwa Vann tidak akan bisa dimiliki seutuhnya sebagai seorang laki-laki.
Dan Phia juga harus berlapang dada karena Kim, laki-laki yang selama ini selalu perhatian, ada dan baik hati akan melepaskan masa lajangnya dengan model cantik asal Kamboja yang merupakan pilihan Papanya, anak dari kolega bisnis Om Sinn.
***
Phnom Penh, 20 Juli 2014
Butuh waktu berbulan-bulan hingga pada akhirnya Phia bisa bersikap biasa lagi kepada Vann setelah mendiamkan laki-laki itu beberapa lama. Memang menyembuhkan kekecewaan butuh kesendirian, sekalipun mendapatkan banyak nasihat, namun untuk menyerap nasihat-nasihat tersebut tetap membutuhkan waktu.
Hingga dua hari lalu mereka bertemu lagi tepat di jantung negara Kamboja, Phnom Penh di mana dulu Vann dilahirkan dan tumbuh selama beberapa tahun.
Kemudian kemarin Phia dan Vann ikut merayakan hari pernikahan Kim dan isterinya. Yang belakangan Phia tau namanya adalah Carrie, seorang gadis cantik dengan kulit putih susu dan rambut pirang panjang bergelombang. Hidungnya mancung khas wanita Asia, matanya bulat sempurna. Phia merasa bahwa Carrie jauh lebih cantik ketimbang dia.
“Phia maaf ya ngeduluin,” ucap Kim sambil tertawa ringan ketika Phia memberinya ucapan selamat.
Phia hanya mampu tersenyum saat itu. Apakah suatu hari nanti ia akan benar-benar menikah juga ia masih tidak yakin.
Apalagi Vann sudah bulat memutuskan untuk hidup menjadi seorang biksu, mungkin dia pun akan melajang seumur hidup.
Sempat ada hal yang sedikit lucu ketika Phia menemui Om Sinn, pria tua itu tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya ke arah Phia.
“Kamu beruntung sekali disukai oleh dua anakku sekaligus, Phia. tapi tidak apa, hidup ini memang penuh misteri dan segala hal bisa saja terjadi. Tapi syukurilah barangkali ini sebuah pengalaman dan keindahan dalam hidup yang tidak dapat dirasakan dua kali,” ucap Om Sinn, entah pria itu merasa senang atau malah berduka, karena Phia yakin, Om Sinn sudah tau bahwa akhir cerita dari kisah cinta mereka bertiga adalah tidak ada yang saling memiliki. Pada akhirnya Phia harus melepas Kim pergi karena dia sudah beristri, dan juga Vann karena laki-laki itu akan segera menjadi seorang biksu.
Apa Phia menyesal sekarang?
Phia hanya tersenyum, dia tidak akan menyesal, dia sudah berjanji kepada dirinya sendiri, bahwa dia akan tetap bahagia dan ikhlas dengan apapun yang terjadi, toh semua yang ia hadapi adalah apa yang sudah dia pilih sebelumnya.
Dan saat ini Phia sedang berada di rumah keluarga Vann di Phnom Penh. Om Sinn sudah pergi ke luar kota dalam agenda yang tidak bisa ditinggalkannya, sementara Kim dan Carrie sudah berlibur juga ke Perancis. hanya ada mereka berdua di rumah besar yang unik, klasik sekaligus sepi ini.
“Phia, kita jalan-jalan yuk selama dua minggu ini, kita bisa traveling ke beberapa negara di Asia,” ajak Vann.
“Dua minggu?” Phia mengkernyitkan dahinya. Jadwal pemotretan dan lain sebagainya sudah menunggu sejak dua hari ke depan dan seterusnya.
“Akhir bulan Agustus nanti aku sudah memastikan diri untuk memasuki kehidupan biara. Tapi sebelum itu terjadi aku ingin menghabiskan waktu bersamamu, berkeliling ke banyak tempat di berbagai negara, berdua saja. Karena nanti sudah tidak akan pernah bisa lagi, Phia.”
Phia menghela nafasnya berat sekali.
“Aku merasa kamu mencintaiku, tapi kamu meninggalkan aku. Aku jadi bingung,” ucap Phia frustrasi, karena jika saja mereka benar-benar pergi dan menghabiskan sepanjang hari hanya berdua.
Bagaimana mungkin Phia bisa belajar untuk melupakan laki-laki itu.
Apa yang sebenarnya Vann inginkan? Phia tidak paham sama sekali.
Seandainya saja Vann mengabaikannya begitu saja, bukankah akan lebih mudah?
Tapi ah?! Bukankah di masa lalu ketika Vann mengabaikannya pun, Phia masih tetap bisa bertahan? Hingga kini ternyata guliran waktu sudah berjalan selama sembilan tahun, dan dia masih teguh untuk mencintai laki-laki yang sama.
“Aku mencintaimu, tapi aku lebih mencintai kehidupan biara Phia. Datanglah sesekali jika merindukanku,” ujar Vann.
“Benarkah kita bisa saling bertemu dan bicara lagi?” tanya Phia menatap dalam ke mata Vann.
“Tentu saja, jika ingin mengatakan sesuatu katakan saja. Jika ingin bertemu, temui aku, sekalipun aku sudah menjadi biksu.
Hanya tetap dalam koridor yang wajar, sebagaimana hubungan antara kaum biarawan dengan awam. Kelak kita memiliki interaksi yang lebih terbatas,” jelas Vann.
Phia terhenyak sesaat, kini ia benar-benar merasakan bahwa Vann tidak pernah meninggalkannya atau menyuruhnya pergi. Vann selalu ada untuknya dengan caranya sendiri. Laki-laki itu tetap membuka ruang hatinya untuk Phia.
“Aku seolah merasa, bahwa kekasihku hanya pergi sesaat dan akan kembali lagi,” ujar Phia kemudian.
“Aku tidak pernah pergi kemanapun Phia.”
“Tentu Vann, karena kamu selalu tinggal di dalam hatiku.”
“Terima kasih, Phia.”
“Iya sama-sama Vann.”
Vann tersenyum,
“Tapi apakah tidak apa-apa jika kita masih saling berhubungan? Apa itu tidak akan melanggar aturan kebiksuan?” Phia khawatir.
“Sebatas diskusi kenapa tidak? Dan besok-besok baiknya tidak usah ada ungkapan-ungkapan cinta yang dilontarkan, kita bisa berteman baik dalam urusan spiritual saja,” lanjut Vann.
“Baiklah, meskipun kehidupan kita sudah jauh berbeda, tapi setidaknya kita masih bisa bertemu pun, aku sudah merasa sangat bahagia,” ungkap Phia.
“Ya, Tentu saja,” Vann kembali memastikan.
“Oke Vann, sepertinya saat ini aku sudah lebih mampu berlapang dada dengan keputusanmu,” sahut Phia tertawa riang.
“Oh iya, sebelum mengunjungi negara Asia yang lain, bagaimana kalau kita berziarah terlebih dahulu ke India? Selama ini aku belum sempat mengunjungi tempat di mana sang Buddha dilahirkan, membabarkan dhamma kemudian parinibbana.” tawar Vann lagi.
“Ah tentu saja, aku juga penasaran,” jawab Phia antusias,
Vann pun nampak senang dan mereka lanjut berdiskusi untuk mengatur acara perjalanan yang akan segera dilakukan beberapa waktu ke depan.
***
19 Agustus 2014
Perjalanan panjang Vann dan Phia dimulai dari India. Dan sebelum pergi berziarah, mereka memutuskan untuk mengunjungi sebuah tempat yang sangat terkenal di India bahkan di seluruh dunia, yakni Taj Mahal.
Taj Mahal adalah bangunan yang didirikan pada jaman Kaisar Mughal untuk mengenang isterinya, Mumtaz Mahal yang meninggal dunia. Sebagai ujud rasa cinta yang mendalam akhirnya dibangunlah Taj Mahal pada tahun 1631-1653 oleh puluhan ribu orang pekerja. Dan setelah bangunan tuntas, sang raja memerintahkan untuk memotong semua tangan para pekerja agar tidak ada lagi yang akan membuat bangunan serupa.
Sebuah simbol dari keabadian cinta. Tapi cukup mengerikan bagi Phia ketika mengetahui bahwa para pekerja harus menerima kenyataan tangan mereka dipotong karena rasa kekhawatiran sang raja. Demikian hebat memang kekuatan dari cinta. Sesaat Phia berpikir apa yang bisa ia berikan untuk Vann sebagai ujud pengabadian rasa cinta. Untuk beberapa saat, Phia hanya terdiam memandang Vann yang sedang menikmati arsitektur bangunan.
Setelah itu mereka memutuskan untuk pegi ke Lumbini, Bodhgaya dan juga Benares. Setelah puas berkeliling India, Vann dan Phia melanjutkan perjalanan ke Bangladesh, Pakistan dan beberapa negara yang lainnya. Sehingga perjalanan mereka melebihi dua minggu. Sudah hampir sebulan mereka berkeliling dan melihat betapa menakjubkan dan beranekaragamnya dunia ini.
Dan negara terakhir yang akan dikunjungi adalah Myanmar. Dimana Phia akan mengantarkan Vann pergi menjadi seorang biksu.
Myanmar merupakan negara dengan mayoritas penduduk beragama Buddha, sehingga banyak sekali pagoda yang dibangun dan memberikan sensasi khas yang belum tentu dapat Phia temukan di tempat lain.
“Sudah cukup lama aku tidak tinggal di negeri yang sangat aku cintai ini,” ujar Vann sambil menatap langit, senyumnya mengembang di sana, sesaat ketika mereka baru saja sampai di sebuah situs sejarah kuno, rentuntuhan Mrauk U.
“Kamu sangat mencintai Myanmar?”
“Setidaknya hampir sepuluh tahun aku pernah tinggal di negara ini Phia. Tentu saja banyak yang aku ingat dari perjalanan spiritual yang sempat aku jejaki. Ketika aku yang masih begitu muda memutuskan pergi ke vihara hutan lalu menghabiskan seluruh waktuku untuk duduk bermeditasi. Sesekali mendengarkan pengajaran dari Sayadaw, melakukan pindapatta dan berdiskusi dhamma. Semuanya menenangkan dan penuh kedamaian,” jelasnya, nampak sekali kebahagiaan dari raut wajah Vann ketika mengatakannya.
“Ya aku dapat melihatnya di matamu.”
“Phia, adakah tempat yang ingin kau kunjungi di negara ini, mari kita pergi ke sana,” tawar Vann lagi, bersemangat, mungkin karena dia sadar bahwa dia tidak memiliki banyak waktu lagi dengan Phia.
“Aku ingin ke Bagan, aku ingin naik balon terbang dan melihat Pagoda-pagoda indah dari ketinggian hanya berdua dengan kamu.”
“Baiklah, kita akan pergi ke sana,” sahut laki-laki itu antusias, kemudian Vann menarik tangan Phia ke dalam genggamannya, seolah-olah mereka tidak akan pernah berpisah.
Setelah beberapa lama, akhirnya mereka pun sampai di Bagan dan menaiki balon terbang. Berada di atas ketinggian membuat Phia merasakan sensasi lain di dalam hidup, kebahagiaan yang begitu mendalam. Belum pernah dia mengalami perjalanan yang selama dan seindah ini sebelumnya. Berkeliling selama hampir satu bulan di beberapa negara Asia, bersama seorang laki-laki yang sangat dia cintai.
Phia merasa bahwa cintanya untuk Vann saat ini sudah seratus persen, dia sudah tidak memiliki sedikitpun ruang untuk jatuh cinta atau tertarik kepada laki-laki lain. Sekalipun tidak bisa bersama, Phia yakin bahwa hati dan hidupnya hanya untuk Vann seorang, pria yang sangat mempesona dan luar biasa.
“Vann aku ingin hidup seribu tahun lagi,” ujar Phia saat matanya takjub menatap keindahan.
“Wah, itu lama sekali Phia,” komentar Vann yang juga sama-sama sedang menikmati keadaan sekitar.
“Bahkan seratus ribu tahun lagi, asalkan bisa bersamamu aku sanggup,” lanjut Phia, dan Vann hanya memberikan senyuman yang entah apa maknanya.
Setelah puas berkeliling Bagan, mereka juga berkunjung ke kota Yangon yang dulunya adalah ibu kota Myanmar. Ada Pagoda Shwedagon yang mempesona karena penuh kilauan di bagian stupa, sebuah pagoda yang sangat indah.
“Dulu aku sering berkunjung ke Shwedagon, Phia bersama beberapa biksu yang lain. Entah saat perayaan waisak, Mangga Puja, Asadha atau Kathina,” ucap Vann bahagia sambil mengingat kejadian-kejadian masa lalu yang pernah dia lewati di tempat ini.
Sebelumnya ketika di Indonesia, Vann pun pernah mengajak Phia berkunjung ke Pagoda Emas Lumbini di Kaki Gunung Sibayak, Berastagi, kabupaten Karo Sumatera Utara. Yang merupakan replika dari Shwedagon Myanmar. ketika berkunjung ke sana saja Phia sudah merasakan ketenangan dan kebahagiaan, apalagi ketika benar-benar mengunjungi Shwedagon yang asli, membuat hatinya lebih bersyukur lagi.
Perjalanan mereka belum selesai, Vann juga mengajak Phia mengunjungi Golden Rock Pagoda yang berada di puncak Gunung Kyaiktiyo. Juga pergi ke Jembatan U Bein. Sebuah jembatan yang didirikan di tahun 1800-san dan memiliki panjang 1.200 meter yang terbentang di kawasan Danau Thaungtaman. Yang menarik jembatan ini terbuat dari kayu jati. Mereka sempat menikmati matahari terbenam di sana. Kebersamaan sebagai sepasang kekasih yang belum tentu dapat mereka rasakan lagi di masa yang akan datang.
“Barangkali, tiga atau empat tahun lagi aku mungkin akan kembali berkunjung ke Indonesia. Tidak akan apa-apakan, Phia?” tanya Vann sambil menatap langit.
“Ah kenapa aku harus menunggumu untuk pulang ke Indonesia. Kapanpun aku mau, aku bisa datang ke Myanmar,” jawab Phia ringan.
“Kamu tidak boleh lupa, bahwa kehidupan biksu dan awam sangat berbeda. Kita tidak boleh pergi dan berjalan bersama-sama lagi.” jelas Vann sambil menghela nafasnya.
“Ah aku sudah sangat tau bahwa kehidupan biksu sangat penuh pantangan, tapi kalau bicara berdua saja tidak akan sampai dikeluarkan dari biara kan, Vann?”
“Phia, aturan seorang biksu terbagi ke dalam beberapa hal, namun memang ada yang disebut dengan pelanggaran berat yang membuatnya harus melepaskan jubah atau istilahnya parajika. Dan kalau dia melakukannya, dia tidak akan diperkenankan lagi menjadi seorang biksu seumur hidupnya,” terang Vann.
“Hem, memangnya apa saja Vann pelanggaran berat tersebut?” tanya Phia, dia agak lupa-lupa ingat meskipun sempat membacanya dulu di sebuah laman internet.
“Larangan untuk berhubungan seksual, mengambil barang yang bukan miliknya senilai 5 masaka, membunuh manusia, berbohong telah mencapai kekuatan supranatural. ke empat hal itu adalah sesuatu yang sangat terlarang untuk dilakukan.”
“Baiklah Vann aku tidak akan pernah membuatmu melakukan salah satu dari ke empat hal itu kok.”
“Terima kasih, Phia.” Vann tersenyum.
Phia membalas senyuman Vann untuk kemudian matanya beralih kembali menikmati indahnya danau yang penuh sensasi damai dan aura ketenangan.
“Phia, jadikan hidupmu seperti samudra yang memiliki ruang yang tidak terbatas dan penuh kebebasan.”
“Tentu!” sahut Phia bersemangat.
“Jadi sekarang sudah tidak ada beban lagi yang tersisa?
“Ya, aku sudah ikhlas. Jika itu sudah menjadi keputusan bulatmu. Bukankah kau pernah mengatakan kepadaku, bahwa cinta yang tulus dan sejati itu tidak pernah menuntut, tidak pernah memaksa. Tapi membebaskan dan hanya mengharapkan orang yang dicintainya bahagia? Jadi jika aku memaksakan kehendak maka itu bukan cinta, tapi itu nafsu. Tidak peduli apapun yang kamu lakukan dan kemanapun kamu pergi. Cinta tetap cinta, cintaku akan mengantarkanmu pada pilihan hidupmu. Tidak akan memberatkan atau membuatmu terbebani lagi, Vann,” jawab Phia tulus.
“Haha... kamu sudah mempelajari filosofis cinta yang baik dariku rupanya, Phia. Baiklah, jika begini aku bisa pergi dengan damai,” jawab Vann lebih tenang.
“Vann?”
“Ya.”
“Jangan pernah melupakan aku ya?”
“Tidak akan pernah kok, kamu jaga diri baik-baik. Jaga kesehatan dan berjanjilah untuk hidup bahagia,” pesan Vann sambil menatap mata Phia dalam-dalam.
“Ya aku pasti akan sehat dan bahagia selama kamu juga baik-baik saja.”
“Aku pasti akan selalu baik-baik saja Phia,” balas Vann tenang, untuk kemudian mereka kembali berjalan menyusuri jembatan yang serasa semakin indah di senja menjelang malam.
Dan besok, adalah hari terakhir kebersamaan Phia bersama Vann sebagai seorang awam. Besok pagi mereka akan pergi ke vihara hutan, di mana dulu pertama kali Vann berlatih menjadi seorang petapa atau samana. Di tempat itu juga Vann akan kembali memperdalam konsentrasi dan intensitasnya dalam bermeditasi.
“Aku akan memutuskan menjadi biksu hutan selama beberapa bulan, atau mungkin beberapa tahun. Tidak akan terlalu banyak pergi keluar,” jelas Vann.
“Jadi kamu akan tinggal di hutan yang dingin, gelap dan sepi?” Phia merasa ngeri.
“Ya, dan itu tidak akan semenakutkan seperti apa yang kamu pikirkan.”
“Baiklah, apapun yang kamu inginkan, aku akan mendukungnya,” Phia hanya bisa mengiyakan saja.
Vann menepuk bahu Phia untuk kemudian memeluknya.
Barangkali pelukan terakhir yang bisa Phia dapatkan dari laki-laki itu, ada rasa haru yang menyeruak begitu dalam. Tapi apa lagi yang bisa dia lakukan? Selain hanya memelihara cinta yang sudah terlanjur berakar dan tumbuh dari dasar jiwanya. Karena alasan tidak pernah bisa melupakan Vann adalah, disebabkan laki-laki itu tidak pernah meninggalkannya pergi. Laki-laki itu selalu ada untuknya. Bagi Phia, Vann hanya sedang mengejar impian dan cita-citanya.
Sebenarnya Phia menyadari jika ia masih selalu mencintai Vann dia pasti akan menderita. Apalagi jika memakasakan untuk terus bertemu laki-laki itu. Bukankah ini bisa jadi menganggu latihan dan kemurniannya sebagai seorang biksu? Bukankah seorang biksu memang harus benar-benar menjaga jarak dengan wanita. Sekalipun bahwa dia adalah perempuan yang sangat dekat dengan Vann sebelumnya. Tapi menahan perasaan dan benar-benar melepaskan laki-laki itu adalah sebuah penderitaan yang lebih hebat dan menyakitkan lagi.
“Vann mencintaimu itu sangat berat, tapi melupakanmu adalah hal yang jauh lebih berat,” lirih Phia, terdengar jelas di telinga Vann.
“Tidak apa-apa, ini mungkin adalah karma kita. Tapi semoga kemelekatan akan berkurang seiring bergulirnya waktu, Phia,” balas Vann tetap tenang, selalu seperti itu. Tidak pernah terlihat aura kecemasan atau kebimbangan. Phia pun tidak mengerti mengapa Vann bisa sedamai ini.
***
Vihara Hutan, 25 Agustus 2014
Pagi ini Phia duduk di sebuah vihara yang ada di kawasan hutan yang tidak terlalu jauh dari kota. sejak dia datang ke tempat ini dia dapat melihat biksu dengan pakaian merah maroon dimana-mana. Dan seumur hidup Phia baru menemukan biksu yang sebanyak ini.
“Ada ribuan biksu yang tinggal di vihara hutan, Phia,” ujar Vann kemarin.
Memang barangkali kalau di Indonesia, Phia sangat kesulitan melihat seorang biksu, karena umat Buddha di Indonesia minoritas.
Selain itu tentu, tidak banyak umat Buddha yang mendedikasikan dirinya dalam kehidupan biara. Namun di Myanmar, biksu sangat mudah ditemukan di mana-mana. Dan saat itu Phia hanya mampu menghela nafasnya dalam. Ia merasa tidak bingung lagi kenapa Vann nyaman-nyaman saja hidup sebagai seorang biksu. Karena tentu, Vann memiliki banyak sekali teman-teman yang memiliki tujuan hidup yang serupa dengannya. Oleh karena itu, Vann tidak akan merasa begitu kesepian seperti yang Phia pikirkan pada mulanya.
Phia tidak hanya sendiri di sini, tapi juga ada Om Sinn, Om Hendrik, Kim juga Carrie yang mengantarkan Vann untuk menjalani hidup sebagai seorang biksu. Dan Vann tidak langsung ditasbihkan sebagai biksu, melainkan dia akan tinggal di vihara sebagai samanera, menjalani beberapa latihan sebelum akhirnya, mengambil sumpah sebagai seorang biksu dengan berusaha dengan total untuk mensucikan batin. Ada haru yang begitu dalam sehingga menyebabkan mereka semua sempat meneteskan air mata. Seolah-olah Vann memang sudah benar-benar meninggalkan kehidupan sebagai awam dan tidak akan pernah melepaskan jubahnya lagi.
“Phia, terima kasih untuk semuanya. Kamu mengenal baik kedua putraku, jangan lagi merasa sungkan denganku, anggaplah bahwa aku ini adalah ayahmu sendiri,” ucap Om Sinn begitu hangat, sesaat setelah Vann pergi memasuki biara.
“Terima kasih juga Om, saya yang seharusnya berterima kasih karena anda memiliki dua orang putera yang luar biasa baik hati dan mau dekat dengan saya,” balas Phia, menahan rasa sedih di hatinya dan berusaha untuk tetap tersenyum.
“Kamu masih muda, sangat cantik dan berbakat. Jangan begitu tersiksa karena Vann saat ini sudah menjadi biksu dan Kim sudah menikah. Saya yakin kamu akan mendapatkan laki-laki yang pantas. Barangkali laki-laki yang jauh lebih baik dari Vann yang akan membahagiakan hidupmu dan menemanimu seumur hidup,” jelas Om Sinn berusaha menghibur.
“Saya tidak berhasrat lagi untuk membangun sebuah rumah tangga sejak saat ini. Barangkali saya akan lebih fokus dalam berkarir atau berwirausaha saja, Om,” tekan Phia, memang saat ini dia sudah tidak memiliki keinginan memiliki keluarga, toh laki-laki yang disukainya pun memutuskan untuk melajang di sepanjang hidupnya.
“Phia Lin Veloso kamu luar biasa, cinta yang penuh pengabdian dan kesetiaan yang teruji. Memang sulit menebak hati lelaki, tapi untuk kesabaran yang kamu milki, Om merasa takjub. Saya hanya berharap semoga kamu akan selalu bahagia, Phia,” komentar Om Hendrick kemudian, ikut menyambung pembicaraan mereka.
Phia tersenyum pelan, dia memang sudah menjadi perempuan yang sangat setia kali ini.
“Phia, kamu perempuan terbaik. Aku tidak paham kenapa kakakku bersikeras menjadi biksu padahal ada perempuan yang sangat sempurna dan sebaik kamu di sisinya.” Kim ikut angkat bicara, sementara Carrie hanya menjadi pendengar karena mungkin belum mengerti apa yang sedang terjadi sesungguhnya.