Terbang ke Dasar Laut

Yesno S
Chapter #2

Di Bawah Pohon Ketapang

Kalian bertiga mengaso di bawah pohon ketapang sembari memandangi Laut Arafura yang terbentang luas.

Senja itu laut mulai gelisah. Di atas kalian langit berwarna pinang masak. Di depan kalian ombak-ombak bergulungan, saling menyerobot pantai.

Mulanya, satu di antara kalian ada yang menyebutnya taj na larm - laut yang bersuara. Laut yang bergemuruh. Dua yang lain dari kalian menyebutnya laut yang menyimpan suara jeritan yang memekakkan telinga, sekaligus menimbulkan rasa pilu orang yang mendengarnya. Tapi kalian sadar, nama itu terlalu panjang, terlalu sulit diingat.

Akhirnya kalian bulat sepakat, menyebutnya: laut yang berisik.

Supaya laut itu tidak mengeluarkan suara yang gaduh, kalian saling mengingatkan untuk menahan diri dari godaan ombak yang berdebur, dan tetap berada di bawah pohon ketapang bersama-sama.

Kalian saling berpandangan, saat ombak berdebur-debur. Jarak dari pohon ketapang tempat kalian mengaso ke bibir pantai tak lebih dari seratus langkah orang dewasa. Meski demikian, tak juga mudah bagi kalian untuk sekadar menginjak-injak pasir di pantai itu, sambil membasahi mata kaki.

Kalian masih saling menunggu, barangkali ada sepasang kaki salah satu dari kalian yang berani bergerak, lalu lari ke arah pantai sambil melempar baju sekenanya. Siapa pun kalian yang berani memulai, dua dari kalian punya alasan untuk membuntuti dari belakang. Itu yang kalian harapkan. Juga kalian takutkan.

Kalian masih menunggu. Di sela-sela itu juga kalian saling mengingatkan untuk tidak membuat badan berbau garam. Sudah sepekan ini kalian merasakan hidup damai tanpa suara-suara berisik. Kalian berjanji tak ingin mengubah kedamaian ini dengan suara gemuruh di sepanjang pantai.

Angin sore berdegam-degam. Ombak merajalela di pantai. Asal badan bisa basah di laut, kalian rela kaki baret-baret, palau-palau, lecet, bahkan luka saat berlarian menginjak pecahan koral dan cangkang keong. Tapi jauh sebelum itu terjadi, kaki kalian langsung terasa berat.

Ombak-ombak meluncur di pantai. Lidah ombaknya binasa di bebatuan karang. Buihnya hilang lenyap sementara waktu. Lalu anak-anak ombak bersusulan dari jauh, seperti memanggil nama kalian bertiga untuk segera datang ke sana. Kalian seperti tak tahan, ingin segera nyebur, berbasah-basah, sekalian menyelam bila mungkin.

Tapi laut itu tabu airnya.

Kalau saja Mama Nongowoeng Delop Kandagam tahu, ada salah satu dari kalian yang berdiri di bibir pantai itu, maka akan terdengar suaranya yang melengking.

Seperti inilah kisahnya.

Di waktu lalu, pernah terjadi beberapa kali peristiwa di pantai itu. Pabila salah satu dari kalian berada di sana, seperti sedang membangunkan Kul Si Afala Taj, begitu orang Jarjui[1] menyebut si Raja Ombak. Sebelum ia datang menempur pantai, biasanya didahului suara-suara mencekam. Orang-orang akan berlarian menjauhi pantai.

Begitu juga jika salah satu dari kalian kedapatan nyemplung di laut, maka orang-orang mengira suara si Raja Ombak yang masih tersimpan di dasar laut akan menguasai pantai. Orang-orang yang berada di pantai berlarian ke arah kalian. Mereka ingin menyelamatkan kalian, karena sumber suara ada di sana. Mereka mengerumini kalian semua dengan tampang cemas. Mereka mengira ada sebuah tragedi yang menimpa seorang ibu dengan tiga anaknya di pinggir laut sebelum ombak besar datang.

Tapi ketika Mama Nongowoeng Delop Kandagam mulai mengomeli kalian, merepet ke urusan uang jajan, lalu menjalar ke masalah ompol, juga pertengkaran kalian yang memperebutkan bantal, mereka semua balik badan. Mereka bubar ke arah masing-masing.

Sambil mengeringkan badan, kalian mendengarkan semua omelan Mama Nongowoeng Delop Kandagam. Sambil menahan gigil, kalian tidak lagi bisa menerima omongannya yang makin nyelekit. Biasanya salah satu dari kalian yang berbadan paling kecil jadi alasan. Dua yang lain dari kalian akan saling menguatkan alasan.

Suara di pantai itu membikin orang-orang menggelengkan kepala. Mereka yang masih tersisa di pantai tergesa menjauh, ketika kalian semua baku suara di bibir pantai.

Hilang sudah panorama pantai di kala senja berpayung langit jingga. Pantai telah dikuasai kalian semua. Yang tersisa hanyalah bunyi seperti lengkingan peluit, dan suara kalian bertiga yang adu kencang dengan desingan angin.

Biasanya kalian akan terus bergantian memberikan alasan, sebelum Mama Nongowoeng Delop Kandagam menunjuk salah satu dari kalian, siapa pun kamu, yang dianggap si biang onar. Dan biasanya itu sia-sia.

Di banyak kejadian sudah terbukti. Benar saja. Siapa pun salah satu dari kalian, yang tertangkap basah sedang berbasah-basah di pantai itu maka akan membangkitkan suara pekik larangan, sederet seruan, kadang terdengar juga isak tangis berseling dengan suara mengaduh-aduh.

Mama Nongowoeng Delop Kandagam tak akan berhenti sampai di situ. Siapa pun kamu yang sedang berada di pantai, dua yang lain dari kalian juga kena basah jeram pecah lidah ombak. Kalian semua kena getahnya. Omonganya merembet ke mana-mana. Semua terbawa-bawa.

Dari soal televisi yang akan dijual, atau siapa yang sulit makan sayur, atau siapa yang punya kebiasaan mengigau di tengah malam, atau siapa yang merasa sering mendengar bisikan aneh, atau siapa yang gemar meledek anak yang masih mengompol, atau siapa yang lupa mengerjakan pekerjaan rumah, atau siapa yang kerap menangis dengan suara kencang, atau pun kalian yang sulit bangun pagi. Yang tidak ada hubungannya dengan laut pun akan dibahas sampai tuntas. Tepat di pantai itu juga.

Yang sudah pasti, setelah itu kalian akan dilarang memegang handphone umum milik Mama Nongowoeng Delop Kandagam selama seminggu, uang jajan kalian yang dikurangi, dan aturan ke luar rumah yang lebih ketat lagi.

Sudah lima bulan ini ia melarang keras kalian semua jalan-jalan di tepi pantai, dan berenang. Apalagi menyelam. 

Maka setiap baku kumpul di bawah pohon ketapang itu, kalian hanya bisa saling menunjuk ke sebuah titik di pemandangan yang membentang. Sambil duduk-duduk di dekat akar ketapang, tangan kalian mengurai serat seludang pelepah sagu, kalian saling menceritakan titik-titik yang menyimpan kisah seru.

Di sana kalian juga bertukar cerita tentang titik yang paling disukai. Lalu cerita-cerita itu mengalir begitu saja sambil memandangi datangnya ombak petang yang seakan melambaikan tangan pada kalian.

Orang-orang di sekitar pantai tak mampu lagi melarang kalian. Mereka akan merelakan kalian bercerita apa saja. Termasuk ombak yang menurut kalian mempunyai tangan, dan dadah-dadah pada kalian. Sebab kalian bertiga menceritakan kejadian itu dengan kalimat yang kurang lebih sama. Seringnya kalian ucapkan bergantian, saling melengkapi. Susul-menyusul. Mirip anak-anak ombak petang yang menyamun di pantai itu.

Sambil mengaso, tak lupa kalian saling mengingatkan untuk sama-sama mengamati sebuah titik tabu. Nun jauh di sana. Di jalan setapak yang menembus ke pasar ikan.

*

Lima bulan yang lalu kalian berjanji menjadi kakak beradik yang kompak. Sepembuluh darah, sekeras batu karang. Pohon ketapang yang sedikit doyong ke kiri itu jadi saksinya.

Sejak lima bulan lalu pula Mama Nongowoeng Delop Kandagam menganggap kalian: yang berbadan jangkung, yang berbadan sedang, dan yang berbadan paling kecil, tak ubahnya siput sebatu karang. Setali tiga uang. Sama-sama antap kulitnya. Sama-sama amis isinya. Sepantun seirama lagunya. Hanya ukuran cangkangnya saja yang berbeda.

Kamu sekalian tidak bisa menolak ketika lima bulan yang lalu ia mengganggap kalian sama saja untuk urusan laut. Ia menganggap kalian selalu mencuri kesempatan bermain di pantai. Bak akal buih meniris di pantai.

Suatu pagi yang cerah di lima bulan yang lalu, kalian mengunjungi lapak tempatnya berjualan ikan. Saat itu kalian menyampaikan pesan padanya: “Nama Mama disebut-sebut di sana.” Kalian katakan pesan itu dengan ujaran yang mirip-mirip, tambal sulam, dan saling melengkapi.

Bergegas ia tutup lapaknya, melaju ke tempat yang kalian maksud. Ia tak pernah tega mengecewakan orang yang membutuhkannya. Apalagi sudah bertahun-tahun ia tak sempat bertandang ke kampung nelayan yang letaknya jauh, sebelah utara pulau ini.

Lihat selengkapnya