PASAR IKAN LINGKAS, 1970.
“Siapa nama anak kecil itu? Dari tadi dia terus mengelilingi Pasar Ikan. Apakah anak itu adalah anaknya preman pasar ini?” selentingan suara ibu-ibu terdengar hingga ke telinga bocah berusia delapan tahun itu. Onggy kecil yang bergerak begitu gesit menyusuri lorong-lorong lapak Pasar Ikan Lingkas. Pasar ikan yang berada di bibir dermaga.
“Namanya Onggy,” sahut salah satu penjual ikan. Kalau para ibu-ibu itu membutuhkan data yang lebih lengkap, sebenarnya bisa saja penjual ikan itu menyebutkan nama lengkap Onggy, yaitu Onggy Hianata Chunnardi.
“Onggy? Iya, tapi siapa dia? Anak preman pasar?” tanya pemilik lapak ikan asap itu kembali. Dia sendiri tak yakin dengan perkiraannya. Tangannya mengibas-ngibaskan lipatan koran bekas untuk mengusir lalat-lalat di antara tumpukan ikan. Dahinya berkerut, keringatnya mulai jatuh. Walaupun kurus, anak bernama Onggy ini mengenakan pakaian yang bersih. Kakinya pun mengenakan sandal. Larinya begitu kencang.
“Bukan, dia bukan anak preman pasar, tapi dia memang selalu senang bermain di sini,” penjual itu kembali merapikan dagangan ikan agar memudahkan para pembeli untuk memilah-milih kualitas ikan yang terbaik.
Onggy senang berlama-lama di tengah kerumunan pasar. Riuh pedagang dan tawar-menawar dengan pembeli, menumbuhkan sesuatu yang bergerak pelan dalam dada Onggy. Ditambah letaknya yang tak jauh dari pantai membuat anak kecil ini begitu puas memperhatikan sekelilingnya. Kalau sudah bosan berkeliling pasar ikan, dia akan kembali memandangi laut. Dia bisa sampai melamun memperhatikan hamparan air biru itu.
“Apa mungkin surga juga berwarna biru?” Onggy bergumam. Biru di kanvas langit dan di hamparan laut selalu membuat Onggy terpukau.
Jika sudah bosan, pilihannya hanyalah pulang ke rumah.
Berbeda dengan hari ini. Sebelum berpikir untuk pulang, Onggy berhenti di ujung luar pasar ikan. Ada yang menarik perhatian Onggy. Kedua telinganya mendengarkan sebuah suara yang berasal dari ember milik seorang penjual ikan. Dari dalam ember, tampak beberapa ikan menggelepar. Kecipaknya begitu kuat. Air muntah dari sisi ember. Sebuah ember di sampingnya begitu penuh ikan segar, beberapa berjatuhan. Ikan-ikan yang jatuh itu mengentak-entakkan tubuhnya di sisi dermaga.
Onggy melihat ikan-ikan berontak, melompat-lompat sekuat tenaga, seolah ingin membebaskan diri. Mungkin mereka tak rela kesenangan hidupnya diganggu. Sedang santainya berenang di lautan biru, tiba-tiba saja manusia menangkapnya ke atas daratan.
Beberapa menit kemudian, seekor ikan berhasil bebas, keluar dari ember. Ikan itu jatuh ke dermaga kayu. Badannya menggelepar.
Tanpa rasa takut, tangan mungil Onggy meraih ikan itu. Seperti orang yang tak pernah melihat ikan sebelumnya, dia mengangkatnya ke depan wajah. Dia perhatikan lekat-lekat mata, mulut, dan sirip ikan itu. Semakin lama, gerakan ikan itu semakin melemah. Dia butuh air. Mungkin sama halnya seperti manusia yang membutuhkan mimpi dalam hidupnya. Jika tak ada mimpi, hidup seperti ikan di hadapan pedagang. Menunggu dibeli dan dimasak sesampainya rumah.
“Hey anak kecil!” tiba-tiba tangan renta nelayan merebut ikan dari tangan Onggy, “Bukannya sekolah, malah main-main di pasar! Sana pergi!”
Onggy tak cepat pergi, justru memperhatikan nelayan tua itu. Wajahnya kelam akibat dihajar panas matahari setiap hari ketika melaut. Tangannya kasar akibat terus bergesekan dengan tambang dan cantrang.
Kalau Onggy senang menatap laut dan setiap hari main ke pasar ikan seperti saat ini, apakah nanti ujung-ujungnya dia akan menjadi nelayan, pikir Onggy. Bukannya dia menganggap remeh pekerjaan tersebut. Akan tetapi, dia merasa nasib bapak tua ini sebenarnya bisa lebih baik lagi daripada saat ini. Begitu pula dengan dirinya. Onggy tak mau terjebak dalam lingkaran nelayan seperti bapak tua ini.
“Hey! Kau tidak dengar, ya?” melihat Onggy tak beranjak sedikit pun dari tempatnya, pak nelayan kembali menegur. “Pergi sana! Kau hanya menggangguku bekerja!”
“Apa Bapak dulu sekolah?” refleks, Onggy menanyakan hal ini kepada si nelayan tua.
Pertanyaan Onggy terasa menusuk kalbu nelayan tua. Lelaki yang tidak sekolah baru saja menyuruh Onggy untuk sekolah. Apakah anak kecil ini bermaksud membalas dendam kepadanya?