Yogyakarta, 10 Agustus 1996. Fajar belum lama menyingkap keindahan kota Jogja di pagi hari. Tembok batu Candi Prambanan masih hitam pekat dibasahi udara dingin dan embun laksana hujan tapi tanpa jatuh dari langit. Deretan pepohonan yang banyak terlihat di sawah-sawah yang mulai tergerus perkembangan zaman di pinggir jalan raya, juga terlihat seperti habis diguyur hujan karena daun-daunnya saling lempar butiran air yang diranting seperti estafet dari pucuk tertinggi dibuang ke daun yang paling bawah dan jatuh ke tanah. Beruntung kalau airnya bisa masuk ke dalam tanah dan dinikmati akar pohonnya. Tapi biasanya tanah dipenuhi rumput liar yang tidak terlalu tinggi karena hampir dipastikan setiap sore dibabat oleh kawanan kambing atau sapi yang merumput. Rumput liar itu, tidak seperti dedaunan di pohon, bukan cuma meneteskan embun, tapi basah total. Jadi jika menginjaknya tanpa memakai alas kaki, akan serasa berjalan di rumput sehabis turun hujan, padahal tidak. Pagi itu, suara burung berkicau merdu bisa didengar meskipun menurut Pak Hadinata yang kaca mobilnya dibuka lebar-lebar, sudah tidak senyaring masa mudanya dulu sebelum dekade berganti ke tahun 70-an.
Jalan Laksda Adisutcipto masih cukup sepi sepagi ini dibandingkan dengan kota Jakarta dan sekitarnya. Tetapi jika diamati baik-baik, tampak lebih ramai dari biasanya. Memang, hanya segelintir kendaraan saja yang kelihatan melintas kencang menyalip Kijang Super LSX merah milik Pak Hadinata yang melaju dengan kecepatan 60 kilometer per jam itu. Namun sedari tadi, sepertinya bus Baker jumlahnya naik dua kali lipat dan selalu terisi penuh oleh orang-orang muda berbusana putih-hitam lengkap dengan dasi. Anak gadis Pak Hadinata melihat sebuah bus Baker yang melenggang menyalip Kijang ayahnya dengan menyerukan klakson pendek. “Pak, agak cepetan sedikit, niki sampun terlambat!” pinta Nareswari Ayuningtyas (yang biasa disapa Nares) pada ayahnya, supaya ia bisa segera sampai di kampus.
“Iya, Nduk, iki sudah ngebut!” ayahnya menimpali dengan santai tanpa menambah kecepatan. “Orang acaranya baru mulai jam setengah enam, masih ada waktu to?”
“Dua puluh menit lagi, lho Pak!”
“Alah, ini sudah lewat IAIN, dikit lagi nyampe. Ndak usah grusa-grusu, sluman-slumun slamet.” Kijang kotak Super LSX yang berusia 10 tahun yang dulunya diiklankan sebagai ‘Kijang Baru’ oleh Dewi Yull dan Ray Sahetapy itu melenggang melewati Institut Agama Islam Negeri [IAIN].
Pak Hadinata meraba tombol audio tape mobilnya yang baru saja diganti model baru. Ia mengganti saluran berita di radio ke saluran yang memutar lagu karawitan dan sinden. “Ini kondangan tempatnya siapa, ya?” tanya Nareswari setelah mendengar alunan gamelan dan nyanyian sinden keluar dari speaker di dalam mobil.
“Apik tenan suarane! Bagus ini tapenya, ora kemresek!” Pak Hadinata memuji-muji tape mobilnya. Tak terasa, Kijang itu telah sampai di utara Rumah Sakit Panti Rapih dan cukup kesulitan untuk melaju kencang lagi karena kawasan itu ramai sekali pagi ini. Ada banyak bus, besar dan kecil, juga angkot atau kol, yang menurunkan orang-orang muda berpakaian seragam hitam-putih. Kelihatan jelas simbah-simbah yang nginang [mengunyah daun sirih] susur [menggosok gigi dengan tembakau] di banyak kendaraan umum merasa terganggu karena mereka jadi kesulitan memegangi tas gendong mereka yang terbuat dari kayu atau anyaman bambu yang terisi penuh sayur mayur atau ayam jago dari pasar—mereka jadi tidak bisa menikmati nggayemi [mengunyah] sirih mereka. Para sopir dan kondektur juga terlihat judes dan kesal karena banyak barang dari pasar yang terpaksa diikat di atap angkot mereka—pekerjaan tambahan yang merepotkan. Tapi, hati mereka sebetulnya sumringah karena hari itu mereka dijamin kaya sesaat dan terhindar dari kicauan tajam istri-istri mereka.
“Masih ada 10 menit, Pak. Aku turun sini saja, sudah dekat Gerha Sabha, itu sudah kelihatan.” Nareswari bersiap membuka pintu mobil.
“Sebentar to, Nduk, ini bisa kok. Sabar. Kalau kamu turun di jalan sini terus lari-lari rebutan lewat sama anak yang lain nanti berantakan seragamnya. Hari pertama kok hadir tidak rapi. Sudah, tunggu, ini maju sedikit lagi Bapak antar sampai bundaran depan gerbang situ!”
Ini adalah hari pertama OSPEK mahasiswa baru Universitas Gadjah Mada. Semua mahasiswa baru S1 diminta berkumpul di lapangan Gerha Sabha menyesuaikan barisan fakultas mereka masing-masing. Nareswari diterima di jurusan Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial. Beberapa temannya semasa SMA juga diterima di UGM, tetapi mereka mengambil jurusan yang berbeda-beda. Pintu masuk kawasan kampus dijaga oleh banyak mahasiswa yang memakai jas almamater yang menjaga agar tidak ada kendaraan yang masuk. “Mahasiswa baru tidak diperkenankan membawa kendaraan sendiri selama OSPEK,” begitu bunyi pengumuman di dalam surat edaran yang diterima Nareswari beberapa hari sebelumnya. Pak Hadinata menarik rem tangan mobilnya setelah sampai di depan gerbang masuk. Di depan dan belakangnya ada mobil-mobil lain yang juga mengantarkan mahasiswa mengikuti OSPEK, terparkir membentuk sebuah garis antrian panjang. Nareswari membuka pintu mobil dan mengutarakan harapan, “Semoga lancar ya, Pak!”
“Pasti lancar!” sahut Pak Hadinata mantap. Setelah pintu mobilnya ditutup dan Nareswari menghampiri salah satu mahasiswa penjaga gerbang, Pak Hadinata memutar mentok kemudinya ke kanan dan mendahului Suzuki Katana abu-abu di depannya yang masih berhenti. Daihatsu Taft yang tadi berada di belakang Kijang, maju mengisi posisi kosong yang ditinggalkan Kijang tadi. Kijang itu kemudian lincah berlari di bawah matahari pagi, persis seperti yang dijanjikan Dewi Yull dalam iklannya. “Anakku sudah besar,” batin Pak Hadinata sambil tersenyum lalu ikut bernyanyi mengikuti radionya, “Dhek jaman berjuang, njur kelingan anak lanang…” [lagu Caping Gunung]
“Jurusannya apa?” tanya salah seorang kakak tingkat yang membawa berlembar-lembar dokumen.
“Hubungan Internasional.”
“Oh, FISIPOL. Ndu! Pandu, ini FISIPOL!” kakak tingkat itu memanggil temannya yang juga membawa dokumen. Pandu menghampiri Nareswari dan mencari-cari lembar daftar hadir mahasiswa baru Hubungan Internasional. Setelah ketemu, ia menyodorkan dokumen itu dan sebuah pena kepada Nareswari. “Cari nama kamu dan tanda tangan dua kali, ya. Nanti setelah acara selesai tanda tangan dua kali lagi, jadi jangan langsung pulang dulu.”
“Iya, Kak,” Nareswari mengiyakan. Gadis itu memindai nama demi nama di daftar urutan nama berhuruf depan ‘N’ yang diketik dengan mesin tik yang ditekan terlalu kuat sehingga tinta dari pitanya terkesan belepotan di beberapa bagian. Setelah namanya ketemu, ia menandatangani presensinya, dan mengembalikannya pada Pandu yang memberikan arahan, “Kamu jalan terus, nanti di sana ada kakak tingkat yang bawa plakat sesuai jurusan. Nah, kamu langsung gabung saja di barisan kakak itu, ya.”
Nareswari mengangguk, berterima kasih, lalu berjalan menuju kerumunan mahasiswa baru. Cukup sulit menemukan barisan jurusannya karena ada banyak sekali orang di sana. Suasana pun sangat berisik. Suara orang ngobrol dan tertawa beradu dengan dengkingan TOA dan teriakan panitia OSPEK yang saling menyahut satu sama lain: “Kak Sri Riyanti, di mana, ya, ditunggu di barisan Antropologi,” “Kamu yang di depan tiang, bajunya dimasukkan yang rapih!” “Eh, kamu diterima di sini juga?” dan lain sebagainya.
Setelah menerjang ombak manusia, akhirnya Nares menemukan barisannya yang masih compang-camping menunggu arahan lebih lanjut dari kakak panitia atau pendamping. Kepada kakak tingkatnya yang mengangkat papan karton bertuluskan HUBUNGAN INTERNASIONAL ia melapor, “Saya Nareswari, Kak. Hubungan Internasional.”