Terdengar deru motor berhenti di halaman sebuah bangunan berlantai dua yang di depannya terpasang sebuah papan raksasa bertuliskan ‘Cetak Foto Agata’. Nareswari turun dari motor. Ia melepaskan helm cakil [helm yang tidak berstandar SNI] dengan hati-hati supaya tidak menyakiti kupingnya yang dibekap kabel headphone dari Walkman [pemutar kaset pita yang dibuat oleh Sony], dan menyodorkan lembaran-lembaran uang bergambar orangutan dari saku bajunya kepada pengemudi motor seraya berkata, “Makasih ya, Kang.”
“Iya, sama-sama, Neng.” Pengemudi ojek itu menerima uang dari Nares, mengikatkan helmnya ke pengait di leher motornya, lalu memacau Yamaha Crypton yang belum lunas dikredit menjauh kembali ke pangkalannya di dekat Cetak Foto Agata. Nareswari membuka pintu kaca yang dihiasi stiker ‘Cetak Foto Agata’ dan menyambut pria di balik meja resepsionis dengan pertanyaan, “Bapak pergi, Kang Anton?”
Kang Anton menjawab, “Eh si Eneng sudah pulang. Nembe mawon, Neng, Bapak sama Ibuk keluar. Katanya mau kondangan di Bantul.”
“Kang Anton kok sendiri. Andi mana?”
“Tadi diminta Bapak ambil pesanan film, stoknya sudah habis. Yang Kodak sama FujiFilm harus diambil di rumah temennya Bapak, Neng.”
“Ooh. Yaudah deh.” Nareswari berjalan lemas menaiki tangga. Rumahnya memiliki dua lantai, lantai dasar dijadikan studio dan percetakan foto, sedangkan lantai atas adalah rumah tempat tinggal keluarga Nares. Di momen tahun ajaran baru seperti ini, order pencetakan foto naik drastis. Biasanya jam tujuh malam Cetak Foto Agata sudah tutup, tapi di bulan Juli-Agustus ini Pak Hadinata membuka percetakan sampai pukul delapan malam. Nareswari sampai rumah pukul setengah tujuh malam. Percetakan sudah sepi, tetapi masih ada satu-dua pelanggan yang datang. Sebuah Honda Accord Cielo biru yang kap mesinnya masih dihiasi bunga dan pita, parkir di halaman Cetak Foto. Pasangan muda-mudi yang baru saja menikah turun dari mobil dan masuk ke dalam percetakan.
“Mari, silakan,” sambut Kang Anton. Pasangan itu menghampirinya membawa tiga buah rol film kamera.
“Kami mau cetak ini, Mas. Kalau sekalian minta di-copy ke CD sudah bisa belum ya?”
Kang Anton mengambil ketiga rol kamera itu. “Bisa, Mas, tapi kalau CD belum bisa kilat. Ngapunten, Masnya sudah pakai Windows yang 95 belum, nggih, soalnya nanti kalau Microsoft yang lama takutnya foto tidak kebaca.”
“Kemarin sudah dipasangkan CD Drive-nya, kan Yang?” tanya istri pemuda itu.
“Iya tapi belum aku ganti yang Windows 95. Kalau pakai disket pasti bisa ya? Tapi nanti perlu banyak disket,” keluh sang suami. “Kalau sampai 10MB atau lebih, repot nanti.”
“Atau dibuatkan CD saja, nanti asal disimpan tidak kena banyak goresan bisa dipakai kalau sudah pasang yang 95. Atau mungkin kalau Windows yang lama tapi sudah versi terbaru sudah bisa. Mungkin di CD Drive-nya ada decoder atau bagaimana, semoga saja, tapi saya juga kurang paham ngapunten ini.”
Suami istri itu saling menatap sejenak dan setelah seolah keduanya sepakat di dalam hati, sang suami mengiyakan, “Yaudah, deh Mas, dicetak fotonya sama minta CD.”
Kang Anton mencatat permintaan pelanggannya.
“Buku album fotonya sekalian, Yang, hampir kelupaan!” sang istri mengingatkan.
“Oh, mari, Mbak, albumnya banyak pilihannya, mau yang ukuran seberapa, warnanya apa, bisa pilih motif sampulnya juga,” Kang Anton menawarkan.
Samar-samar Nareswari bisa mendengar keasyikan pasangan muda di lantai bawah memilih album foto. Suara mereka lenyap ketika Nareswari menyalakan TV yang langsung menyambutnya dengan senandung, “RCTI Okeeeee.”
***
Kang Anton dan Andi sedang mengunci rolling door Cetak Foto Agata saat dua sorot lampu Kijang menyinari mereka. Ibu Nares keluar mobil, diikuti Pak Hadinata. “Sudah diambil, Ndi, rol kameranya?” Tanya Pak Hadinata.
“Sampun, Pak, sudah saya tata juga,” jawab Andi.
“Yowis. Eh, Anton, Nares sudah pulang belum?”