Di sebelah Kijang Grand Extra Pak Hadinata, terparkir sebuah Toyota Corolla TwinCam 1.6 lansiran enam tahun yang lalu berwarna emas. Pak Hadinata ingin puterinya berangkat ke kampus menggunakan mobil itu, tetapi Nareswari lebih suka ke mana-mana naik bus karena banyak teman. Sesekali Nares naik ojek atau taksi, bahkan pinjam motor Kang Anton atau Andi. Nares hanya memakai mobilnya jarang-jarang, itu pun di luar kegiatan perkuliahan. “Kok nggak pake mobil aja, sih Nares?” Tanya Ratih teman sekelasnya. “Males, ah,” jawab Nares, “lagian bus Baker juga lebih praktis dan jalurnya luas. Kita juga jadi bisa barengan, mau jalan juga nggak mikir parkir.”
“Kadang gaya hidup itu mengikuti lingkungan, Buk. Meskipun kita mampu membelikan mobil tapi kalau teman-teman Nares ke kampus naik bus, ya dia juga akan memilih naik bus,” Pak Hadinata menyatakan pendapatnya ke istrinya.
“Ibuk itu sebetulnya takut, Pak, kalau Nares kenapa-kenapa. Dia itu kan sudah gadis, kalau ke mana-mana naik angkutan umum sendiri, Ibuk jadi kuatir. Sekarang kan masa 90an, Pak, sudah tidak seperti masa kita dulu. Bapak kan tahu kejahatan di Jogja sudah meningkat. Sudah mau kiamat dunia ini. Sekelas istana Inggris saja Puterinya bisa dijegal pelakor. Denger musik-musik sekarang, Pak, film-film jaman sekarang juga semakin ngawur. Ibuk tu takut kalau mikirin Nares. Apalagi sudah ada beberapa pemuda yang menanyakan. Apa sebaiknya Nares diberi tahu saja, ya Pak?”
“Soal apa?”
“Soal yang melamar ke sini, Pak!”
“Hus, Buk! Nares itu biar fokus sekolahnya dulu. Kalau kita kasih tahu, dia bisa berpikir yang macem-macem. Ibuk kan tahu Nares orangnya seperti apa. Ibuk jangan terlalu kuatir. Ke mana-mana naik bus itu kan hal yang wajar. Bapak malah senang Nares orangnya rendah hati.” Pak Hadinata menyeruput tehnya. “Lagipula ngemong anak jaman 90an serba modern begini ndak gampang kalau soal jodoh-jodohan. Biarlah nanti Nares sendiri yang menentukan.”
Kedua orangtuanya sibuk membicarakan Nares di siang bolong. Sementara itu, Nares baru saja sampai ke toko kaset Disc Tarra bersama Rina, Nina, dan Susi dan memilah-milah album kesukaan mereka saat Nares merasa telinganya panas membara. “Nares kenapa, kok megangin kuping?” Tanya Nina.
“Nggak tahu, nih, telingaku terasa panas.”
“Ada yang lagi ngomongin kamu berarti. Siapa ya kira-kira? Sus, Nin, kira-kira siapa yang lagi ngomongin Nares?”
Susi menebak, “Mungkin Juna atau Rori.” Tebakan Susi membuat Nareswari tersenyum malu. Tebakannya tidak asal-asalan. Juna dari jurusan Sosiologi dan Rori dari Antropologi jelas-jelas naksir Nareswari. Semenjak mereka kenalan dengan Nares di acara seminar kebudayaan dan di Himpunan Mahasiswa, dua lelaki itu sering menawarkan untuk mengantar Nareswari pulang, mengajak makan siang, atau sekadar memberi oleh-oleh. Juna dan Rori hanya bersikap sebaik itu kepada Nareswari. Hanya saja, mereka belum secara terang-terangan melamar gadis itu.
“Inget kan Sus, waktu kita nggak sengaja denger Juna ngomong sama temennya. Yang waktu itu,” pancing Nina.
“Oh, waktu dia bilang “Cantik banget, deh, gue meleleh lihatnya—namanya Nareswari anak HI”, itu aku masih inget banget!”
“Ah, udah deh!” pinta Nares. Ia melanjutkan mencari-cari album kaset yang sekiranya enak didengar. Sebuah album tampak melambai-lambai minta dipungut oleh Nares. Ia menyambar album lagu-lagu pilihan Nike Ardila yang ada di tumpukan paling belakang. Teman-temannya masih cekikikan sambil sesekali memamerkan album kumpulan tembang cinta kepada Nares yang ia balas dengan penolakan kesal sebab temannya tidak berhenti mengerjainya.
Setelah selesai membeli kaset lagu, regu Nareswari melanjutkan rencana mereka makan siang di warung soto Pak Bun dan Bu Tut di Jalan Mataram. Warung soto itu ada di pinggir jalan yang berlawanan, jadi mereka harus menyeberang. Setelah menengok ke kanan dan ke kiri memastikan tidak ada kendaraan yang melintas, mereka mulai menapakkan kaki ke aspal untuk menyeberang. Tapi tanpa diduga, sebuah Corona Absolute berwarna merah menyala muncul dari tikungan dengan kecepatan tinggi dan membunyikan klakson meminta mereka minggir segera. Nares dan teman-temannya mau tak mau buru-buru mundur lagi ke pinggir jalan.
“Apa-apaan, sih!” gerutu Rina.
“Sombong amat tuh orang!” Susi menambahkan.
Mereka semua akhirnya menyeberang, tapi Nares terus mengawasi sedan merah yang nyaris menabrak mereka. Sedan itu masuk ke SPBU di dekat warung soto dan berhenti di depan Musholla-nya. Dua orang laki-laki keluar dari pintu depan dan seorang lagi keluar dari pintu kiri belakang. Penumpang depan adalah yang paling pertama membuka pintu dan begitu keluar langsung lari terbirit-birit ke kamar mandi Musholla. Dua orang temannya, si pengemudi dan penumpang belakang, kelihatan menggeleng-gelengkan kepalanya walau Nares cuma bisa melihat samar-samar dari kejauhan. “Pantes,” gumam Nares.
“Pantes apaan, sih Nar? Kamu lagi ngelihatin apa?” Tanya Susi.
“Tuh!” Nares mengisyaratkan dengan anggukan ke SPBU di seberang jalan. Dari tempat duduk mereka di warung soto pinggir jalan, gadis-gadis itu menoleh melihat sedan merah yang nyaris melindas mereka tadi dan berusaha keras mengamati penumpangnya.
Nina mendesah, “Nares, Nares, kalo ada cowok ganteng atau cool langsung radarnya kemerlip!”
“Ah, apa-apaan sih!” Nares menanggapi dengan kesal. Gadis-gadis itu tertawa semua.
“Eh, ngomong-ngomong, 10 Desember besok bakalan ada event loh di IKIP. Pentas anak-anak Seni Tari,” Rina memberikan informasi.
Pak Bun menghampiri keempat mahasiswi itu, menanyakan pesanan mereka setelah ia baru saja selesai melayani pembeli sebelumnya. Seperti biasa, Nina yang menyampaikan pesanan mereka. “Ya, Pak, pesen yang biasa. Soto ayam empat, yang dua pake bakso. Minumnya es teh tiga, yang satu es jeruk. Sama saya tambah deh, sate usus minta dua tusuk!”
“Oke, Mbak, siap!” Pak Bun mundur jalan, balik kanan grak menghadap gerobaknya dan mulai meracik bahan-bahan soto andalannya.
“Eh, serius? Itu barengan sama kita ujian, nggak?” Tanya Susi.
“Kalau tanggal 10 kayaknya udah hari-hari terakhir, sih, kemungkinan kita udah free,” jawab Nares.
“Gimana, gimana?” Nina mulai ikut menyambung ke dalam pembicaraan lagi.
“Jadi gini, temenku anak Seni Tari IKIP tugas akhirnya bakalan dipentasin di Fakultas Bahasa dan Seni IKIP tanggal 10 Desember besok. Dan itu memang kaya pementasan gitu, jadi bakalan ada penontonnya. Itu event free, kok, sekalian ada diskusi seni sehabis pementasannya,” Rina menjelaskan.
“Tapi open, nggak? Jangan-jangan kita nggak boleh masuk?” Tanya Nares pada Rina.
“Open, kok! Mereka pentas di Pendopo Tedjokusumo deket gerbang masuk FIB. Justru itu kita kudu ke sana karena pasti banyak orang dari kampus lain!”
“Aku sih oke!” celetuk Susi.
“Niki, mbak-mbak, pesanannya, monggo…” Pak Bun meletakkan empat mangkuk soto ke atas meja dan Bu Tut meletakkan empat gelas minuman ke atas meja.
“Matur Nuwun, Pak Bun,” sambut Nina dengan sumringah. Setelah maestro soto itu meninggalkan mereka, ia menyahut, “Aku ikut!”