Angga bisa melihat deretan sepeda onthel dan sepeda motor Astrea yang diparkir acak-acakan di depan gedung Seni Rupa FBS IKIP. Di depan gedung itu terdapat sebuah bundaran yang di selatannya terletak parkiran mobil. Hanya ada beberapa mobil di sana, itu pun di bagian terjauh dari Pendopo. Angga memarkirkan sedannya di sebelah sebuah Escudo putih. Ia melihat jam tangan di lengannya yang sudah menunjukkan pukul setengah delapan. Acara pentas sudah dimulai sejak pukul tujuh, dan acara utama akan segera dimulai. Angga menarik napas panjang dan membuangnya kuat-kuat. Mesin mobil ia matikan dan tangannya bergulat dengan sabuk pengaman yang masih mengikatnya di atas jok. Dengan satu tekanan kuat pada tombol berwarna merah di colokan sabuk pengaman, ikatan itu lepas dan Angga melihat ke jendela mobilnya.
Sorotan benderang lampu jalan seolah semakin menyilaukan saat seorang gadis cantik berjalan melintas di depan mobil Angga. Pemuda itu tidak tersenyum, ia hanya melongo dan pikirannya berbisik, “Mungkinkah ini rezeki dari Tuhan karena kemarin aku berangkat Kebaktian lebih awal karena dipaksa Tante nganter ke pasar sebentar?”
Tidak ada angin, tapi Angga melihat seolah-olah rambut panjang gadis itu melambai-lambai ditiup angin. “Luar biasa pesona gadis Jawa!” pikirnya. Setelah nyawanya kembali terisi seratus enam belas persen, ia buru-buru mencakar-cakar gagang pintu mobil dan berlari keluar. Pintunya ia tutup dengan kasar sebab tak mau ketinggalan langkah gadis cantik tadi. Saat ia mulai berlari, dua orang laki-laki menghadang jalannya.
“Widih! Dateng juga nih anak!” sambut Riki.
“Pa kabar, Bro!” sambut Niko.
“Awas! Awas!” bentak Angga mencari celah kabur dari kedua tembok pembatas bernama Riki dan Niko. Angga menangkupkan kedua tangannya dan menyelipkannya di antara pundak Riki dan pundak Niko. Kemudian, ia membuka tangkupannya lebar-lebar, menggeser Riki dan Niko sehingga ia bisa lewat di tengah-tengah mereka. “Yah, sialan!”
“Kenapa sih, Ngga!?” Tanya Riki.
“Lu liat nggak, cewek yang barusan lewat depan mobil gue?”
“Cewek yang mana? Ada banyak banget cewek di sini!” ujar Niko.
“Yaudah ayo buruan ke acaranya, udah dimulai tuh!” Angga bergegas mengajak kedua temannya menonton pementasan. Akan tetapi, Angga bukan buru-buru karena acaranya sudah dimulai. Ada alasan lain yang lebih personal dan lebih krusial.
“Tadinya nolak, sekarang dia yang paling semangat!” canda Riki kepada Niko. Angga sebenarnya sudah tidak lagi bernafsu menyaksikan pementasan. Yang ada di pikirannya cuma mencari gadis yang tadi. Entah kenapa batinnya seperti bergejolak dan menuntut harus bertemu dengan gadis itu biarpun cuma sekadar menyapa. Angga baru pertama kali ini merasakan sensasi seperti ini. Belum pernah dia percaya pada kisah tentang cinta pada pandangan pertama, tapi apa mau dikata, sekarang dia malah mengalaminya. Ada satu hal yang mendorong kuat-kuat kemauan Angga untuk mencari gadis itu sampai di luar nalar, yakni sebuah peluang, sebuah kemungkinan—chance. Dan hanya itu yang Angga butuhkan. Pemuda itu akhirnya sampai di depan Pendopo. Tapi ia berada di posisi paling jauh karena di depannya sudah penuh sesak oleh penonton. Ia berjinjit mencari-cari. Pandangannya tertuju ke atas Pendopo di mana sudah ada kelompok penari menggunakan pakaian adat. Mereka semua langsing gemulai, dan riasan yang mereka pakai semakin menguatkan kecantikan mereka. Riki ternyata tidak bohong, ora ngapusi, soal kecantikan penarinya.
Seorang ibu-ibu yang mengenakan kebaya berdiri di atas panggung memegangi mikrofon untuk memperkenalkan para penari. “Terima kasih yang sudah hadir, ini meriah sekali. Saya tadi diberi tahu kalau ini tidak cuma dari IKIP saja, ya, yang menyaksikan, tapi dari universitas lain juga ikut menonton. Ya, ini memang sebuah tradisi, ya, di FBS IKIP sering kita adakan acara seperti ini. Selain untuk meningkatkan atau mengasah bakat siswa-siswi, juga untuk melestarikan tradisi dan budaya kita. Saya selaku Wakil Dekan diminta memperkenalkan penampil yang pertama. Jadi ada enam penari yang akan menampilkan tarian adat yang sudah dimodifikasi, ya. Langsung saja, bisa dimulai.”
Seorang mahasiswa mengabil alih mikrofon dan mengumumkan, “Matur nuwun, Ibu Kun Astuti selaku Wakil Dekan kita, sekarang kelompok satu akan menampilkan tarian modifikasi dengan judul Kangmasku Satuhu.”
Pemain gamelan yang mengenakan baju adat Jawa lengkap mulai memukul lembut alat musik mereka, memberikan isyarat para penari untuk mulai melukis karya seni dengan liuk indah tubuh mereka. Angga masih mencari-cari. Hingga kelompok satu selesai menampilkan tarian mereka dan kelompok dua maju menggantikan, Angga masih belum melihat gadis yang tadi.
“Weh, Angga, di sini to sampeyan. Piye to, dicariin Riki sama Niko dari tadi!” panggil Damar, temannya.