Nareswari dan teman-teman sekelasnya, Rina, Susi, Nina, dan Ralin, janjian ketemu jam lima sore ini di toko buku Social Agency Baru Jalan Gajayan yang ada di sebelah toko buku Raja Murah. Dari seberang jalan, Nares bisa melihat keempat temannya sudah menunggu di depan Socail Agency. Mereka asyik berbincang-bincang dan tidak menyadari keberadaan Nares di seberang jalan. Gadis itu menyeberang dan bergabung dengan teman-tamannya.
“Hey semuanya!” sapa Nares.
“Eh Raden Ayu sampun dugi mriki, Assalamu’alaikum!” sapa Ralin.
“Wa’alaikum Salam, Ralinku sayang!” balas Nares. “Udah lama nungguin di sini?”
“Nek aku yo uwes [kalau aku ya sudah],” ujar Ralin yang sudah datang paling awal. “Nyebai, nek ngenteni ki aku dadi koyo wong ilang, thingak-thinguk dewe nang pinggir dalan koyo wong edan! [Menyebalkan kalau harus menunggu. Aku jadi seperti orang hilang, tolah-toleh sendirian di pinggir jalan seperti orang gila].”
Teman-teman Ralin tertawa. “Yowes maaf to Bu, ngapunten, dimaafken!” canda Nina. Susi menambahkan, “Ono ketupat bumbune santen, yen gadah lepat nyuwun pangapunten! [ketupat bumbunya santan, kalau ada salah mohon dimaafkan!]” Mereka berlima tertawa. Sudah jam setengah enam, mereka semua masuk ke dalam toko buku. Toko kecil itu penuh sesak dengan buku yang ditata bertumpuk-tumpuk seperti harta karun di kartun Aladdin. Buku-buku terbaru dan terlaris mendapatkan tempat istimewa di rak-rak kaca yang dipamerkan. Buku-buku lama atau yang susah lakunya ditumpuk begitu saja di lantai, di atas sebuah papan yang lebar. Lima sekawan ini harus pandai bermanuver agar tidak menyenggol jatuh tumpukan buku yang disusun layaknya tembok labirin atau menyenggol pengunjung lain yang sibuk memilah buku atau asyik membaca di sudut toko.
“Aku cari komik Detective Conan kemarin di rental belum ada yang baru,” keluh Rina. Ia mengacak-acak susunan buku komik. Astro Boy, Petualangan Tintin, kumpulan cerita lucu Crayon Shinchan, Doraemon, Asterix and Obelix, dan masih banyak lagi, semua disingkirkan demi mencari volume komik Detective Conan terbaru. Cerita tentang detektif muda karismatik Shinichi Kudo yang dicekoki ramuan menjadi anak SD bernama Conan Edogawa itu memang sangat digandrungi kawula muda yang haus akan cerita penuh teka-teki. Mereka menebak-nebak siapa kiranya dalang di balik komplotan Organisasi Hitam misterius. Apakah Ran Mori akan mengetahui identitas asli Conan kecil yang sejatinya adalah Shinichi?
Ralin mencibir Rina, “Eleuh, eleuh, bukane cari buku pelajaran malah cari komik!”
Mendengar cibiran Ralin, Rina cepat-cepat membalas memberitakan temuannya, “Ada Sailor Moon seri baru!” Ralin yang sangat menyukai Sailor Moon langsung menanyakan, “Mana!? Mana!?”
Rina memandang Ralin dengan tatapan meledek. “Eleuh, eleuh, bukane cari buku pelajaran malah cari komik!” Mereka berdua akhirnya sibuk sendiri di bagian buku komik, bertingkah seperti karakter yang habis keluar dari dalam komik Shinchan.
“Cari buku apa sih, Nares?” Tanya Susi yang menghampiri Nares yang sedari tadi memindai lemari penuh novel. Lemari itu menjulag tinggi dan menebarkan aura yang serius, aura yang menangkal pembaca seperti Ralin dan Rina. Melihat lemari yang besar itu saja sudah bisa membuat pembaca biasa minder, apalagi melihat ketebalan masing-masing novel yang dipajang rapih yang hanya menampilkan punggung bukunya saja.
“Ini, novelnya Philip Pullman yang baru, The Golden Compass.”
“Novel luar ya?”
“Yah, gimana lagi. Di Indonesia kan novel fantasi kurang laku, jadi cuma sedikit fantasi Indonesia yang populer. Kalau dari luar kan dari dulu ceritanya seru-seru, bisa kaya baca buku sejarah gitu. Apalagi Lord of the Rings, seru banget!” Nares sangat menyukai bagaimana penulis-penulis fantasi menciptakan dunia mereka dan menceritakan dengan detil kejadian-kejadian yang menggerakkan ceritanya. Ia sangat menyukai cara Tolkien mengutarakan fantasinya dengan menciptakan bahasa-bahasa baru dan menuliskan ceritanya seolah-olah sebagai naskah sejarah kuno. Bahkan novel yang cenderung singkat, seri Narnia karya C.S. Lewis, diberi tajuk ‘The Chronicles’ yang berarti ‘Sejarah’. Menurut pengamatan Nares, model cerita ini sangat tidak diakui di Indonesia sehingga sedikit sekali penulis Indonesia yang bertutur degan gaya Tolkien atau Lewis yang benar-benar populer—boro-boro mau difilmkan.
“Ah, gak paham aku. Novel luar cuma suka baca Nora Roberts,” ungkap Susi memuji penulis idolanya yang terkenal lewat sekian banyaknya novel percintaan yang dia tulis.