Nareswari dan Angga sekarang berada di dalam mobil berdua. Meskipun dari dalam mobil suara hujan terdengar jauh berkurang, hujan yang deras sebenarnya malah semakin menjadi-jadi dan menyebabkan pepohonan di sekitar sana saling berbenturan. “Rumah Nareswari di mana?” tanya Angga.
“Rumah saya lumayan jauh. Aduh, saya jadi ndak enak ini, Mas. Kalau enggak searah, sebaiknya saya turun di kosan teman saya saja di dekat sini,” jawab Nares.
“Enggak apak-apa. Ini saya sudah berniat mengantarkan Nareswari ke rumah. Lagipula cuaca seperti ini bisa-bisa orang rumah khawatir.”
Nares berpikir sejenak. Angga belum juga memacu mobilnya, masih menunggu jawaban dari Nares. Angga memerhatikan Nares dan mencoba memahami pikiran gadis itu. Mungkin dia kedinginan? Jadi, Angga menanyakan, “Mau saya nyalakan heater-nya?”
Nares mengangguk sambil menjawab, “Oke.” Kemudian dia menarik napas panjang dan menerima tawaran Angga, “Rumah saya di Kota Gede. Apa tidak bikin repot kalau antar sampai ke sana?”
“No problem. Nareswari tinggal tunjukin saja jalannya.” Angga menginjak pedal gas dan sedan merah itu kembali berlari di atas aspal. Angga tidak menyalakan radio atau kaset tape, sehingga bagian dalam kabin sunyi dan hanya ditemani suara hujan. Angga merasa kesulitan mengatur detak jantungnya karena ia masih tidak percaya gadis manis jelita yang membuatnya seketika jatuh cinta sekarang ada di sebelahnya. Angga merasa sangat gugup untuk mengajak Nares mengobrol. Baru kali ini Angga merasa se-linglung ini di dekat cewek cantik!
Nareswari memandang lurus ke depan. Ia akan memberikan arahan setiap sedan itu berhadapan dengan persimpangan. Pandangannya seolah terkunci ke jalan dan sesekali melihat ke spion tengah dan gantungan salib perak yang mengayun pelan menyesuaikan gelombang aspal. Meskipun kelihatan fokus menatap jalanan yang masih diguyur hujan, Nareswari sesekali mencuri pandang mengagumi Angga. Nares menggigit bibir bawahnya. Pemuda itu bukan cuma rupawan tapi juga (sejauh ini) baik hati menawarkan bantuan.
Angga mengemudikan mobilnya dengan satu tangan. Tangan yang lain digunakan untuk menyisir rambutnya, sebuah gerakan mengalihkan rasa gugup sebelum ia memulai pembicaraan, “Ehem…jadi…Nareswari kuliah di UGM jurusan apa?”
“Saya ambil Hubungan Internasional. Baru masuk, sih, tahun ini.”
“Loh, sama dong! Sama-sama mahasiswa baru, maksudnya. Bukan sama jurusannya.”
“Mas Angga ambil jurusan apa?”
“Duh, ndak usah panggil ‘Mas’, ah, panggil Angga aja. Kita kan seumuran. Saya ambil Sastra Inggris, sesuai kok dengan kartu mahasiswa saya.”
Nares tersenyum. Ia ingat kalau tadi Angga menunjukkan kartu pelajarnya. “Angga tinggal di mana sekarang? Asli Jogja atau ngekos?”
Pembicaraan mulai menghangat, kekakuan mulai mencair. Tanpa disadari, mereka sudah tidak menyebut diri sendiri dengan ‘Saya’ tapi ‘Aku’. “Aku dari Jakarta, sih. Di Jogja nginep di rumah Om, deket sama SaDar, di Papringan.”
Seketika itu juga Nares merasa amat sangat bersalah dan menyesal menerima tawaran baik Angga. “Aduh maaf ya, Mas, saya merepotkan, Masnya harus pergi jauh-jauh nanti putar balik lagi…”