BAB 5
RENCANA PENYELAMATAN
Tidak lama kemudian pesawat pun berhenti berputar. Stanley kini menampakkan dirinya di kabin penumpang, melangkah pelan-pelan sambil berpegangan pada dinding pesawat menjaga keseimbangan. Ruang kendali ia tinggalkan begitu saja setelah mengubahnya ke dalam mode autopilot.
“Pak Stanley, mengapa anda kemari?”
“Maaf Pak Hermawan kalau seperti ini terus, keadaan semakin tidak baik. Saya lihat tepat di bawah pesawat kita ternyata ada sebuah pulau. Begitu jelas pohon-pohon hijau terhampar luas di bawah sana tapi saya masih belum mengetahui sekarang ini kita sedang berada di wilayah mana, karena alat pengukur koordinat kita mendadak tidak berfungsi, semuanya menjadi ngaco. Sepertinya ada kaitan dengan besarnya pancaran medan magnet yang saya katakan tadi,” ujar Stanley berusaha menjelaskan.
“Lalu bagaimana dengan jalur komunikasi. Apa sudah kamu coba lagi kontak teleponnya?”
“Kontak selalu terputus. Tidak ada yang bisa kita hubungi. Kita harus segera mengambil tindakan,” kata Stanley.
“Maksud kamu apa, Stanley?” tanya Pak Hermawan.
Pesawat pun kembali berputar-putar. Semua penumpang berpegangan dengan erat agar tubuhnya tidak terombang-ambing.
“Coba bapak lihat, pesawat ini kembali berputar sendiri tanpa saya kendalikan,” sahut Stanley.
“Iya, ini benar-benar aneh.”
Ketika pesawat berhenti berputar, tiba-tiba Pak Tino berdiri dari duduknya lalu berjalan menuju pintu keluar pesawat. Semua penumpang memperhatikan apa yang hendak dilakukan Pak Tino.
“Pesawat macam apa ini!” hardik Pak Tino sambil menendang pintu pesawat. Para penumpang kaget.
Dhani yang hendak maju, mengurungkan niatnya ketika melihat pilot Stanley mendekati Pak Tino.
“Pak Tino, tolong tenang sedikit! Apa yang akan anda lakukan?”
“Saya akan buka pintu ini!”
“Gila lo yah. Lo mau bikin kita semua yang ada di sini tersedot keluar pesawat!” sambar Dhani.
Rossi lalu memegang pundak Dhani, “Tenang, Bro. Pak Tino tidak akan semudah itu membuka pintu pesawat. Bukankah begitu Pak Stanley?”
“Benar sekali, Pak Rossi. Saat ini tekanan udara di dalam kabin pesawat lebih tinggi daripada tekanan udara di luar. Jadi tidak akan semudah itu membuka pintu pesawat, mungkin butuh dua tenaga gajah agar bisa membukanya.”
“Hahaha... jadi begitu ya, Pak Stanley. Tuh dengerin, kekuatan gajah? Lah apalagi ini cuma tenaga kakek-kakek. Boro-boro bisa kebuka, kegeser aja kagak, hahaha...” Sindir Dhani. “Ayo, Pak Tino. Kalo penasaran, coba buka aja pintunya,” ledek Dhani.
“Baik.”
Pak Tino lalu membuka tuas pintu pesawat. Para penumpang menelan ludah, Rado bahkan sampai menahan napas hingga kelojotan. Semua pandangan tertuju pada Pak Tino.
KLIK. Pintu pesawat bergeser terbuka.
Mata Stanley melotot seakan tidak percaya dan mendorong Pak Hermawan mundur ke belakang, “Semuanya berpegangan!”
“Huwaaa... pin...pintunya kebuka!” Dhani terkejut.
Semua penumpang berpegangan pada apa yang bisa diraihnya. Ada yang berpegangan pada kursi jok sampai ada yang memasang sabuk pengaman. Mereka takut tersedot keluar pesawat.
Pak Tino yang membuka pintu pesawat tidak kalah terkejut. Dirinya menjatuhkan dirinya ke belakang hingga sungkur terduduk.
Rossi yang berpegangan di dekat Dhani menyikutnya, ”Lo sih Dhani, pake nantangin segala.”
“Gue kan kagak tau kalo tuh kakek punya tenaga gajah.”
Suasana hening. Tidak ada tarikan angin keras yang menarik penumpang. Bahkan tidak ada barang-barang yang tersedot keluar. Pilot Stanley semakin heran. Begitupun dengan Pak Hermawan.
Stanley melepas pegangannya dan melangkah perlahan mendekati pintu pesawat yang terbuka. Para penumpang memperhatikan Stanley dalam posisi tidak berubah. Pak Tino masih terduduk di lantai dengan napas yang masih terengah-engah.
“Stanley, apa yang terjadi?!” tanya Pak Hermawan.