Terdampar Perspektif

muhamad Rifki
Chapter #3

Satu Mangkuk Bakso Pertama di Jakarta


Bagian 2—Satu Mangkuk Bakso Pertama di Jakarta

Bus berwarna kuning itu terus melaju tanpa henti melewati suasana perkampungan—hampir di setiap jalan terdapat persawahan dengan berbagai macam tumbuhan dan tanaman hijau di isi oleh para petani. Tak ada waktu untuk bus itu melalukan pemberhentian kecuali di pompa bensin dan terminal pemberhentian yang sudah terjadwal hari itu.

Awan menghabiskan setengah perjalanannya dengan tidur. Walau terkadang tiba-tiba terbangun karena ada gejolak akibat jalan yang tak rata. Walaupun Ambu Marsih sudah membekali Awan beberapa makanan ringan dan berat, tetap saja Awan tak ada rasa untuk keinginan memakan satu pun makanan yang telah disiapkannya di dalam tas. Terlepas dari tak biasa makan di dalam kendaraan, itu rasanya berbeda sekali.


***


8 jam duduk di kursi bus, akhirnya telah berlalu. Bus itu berhenti tepat di tujuan, terminal bus Jakarta. Semua penumpang bergantian untuk turun dari bus, termasuk Awan dan Akmal. Semua penumpang bus itu langsung memisahkan dirinya. Ada beberapa dari mereka yang sudah di jemput oleh keluarga, pasangan, sampai driver online. Berbeda dengan Awan yang berdiri diam sendirian di terminal bus itu. Melihat ke sekelilingnya dan ia terpaku kepada satu pedagang bakso yang berada tak jauh darinya. Entah mengapa ia sangat menginginkannya. Ia pun langsung menghampirinya dan berniat untuk membelinya satu porsi.

"Mas, baksonya satu porsi ya." Awan langsung memesan dan duduk di bangku yang sudah disediakan di dekat gerobak baksonya.

"Siap mas. Pedas tidak?" tanya pedagang itu.

"Sedang aja ya mas. Sayurannya jangan terlalu banyak."

"Siap mas, tunggu sebentar ya saya langsung buatkan."

Tak lama dari itu, pedagang bakso itu mengantarkan satu mangkok berisi satu porsi bakso yang ia taruh di meja tempat Awan duduk. "Ini mas baksonya, silakan dimakan."

"Oh ya, terima kasih ya mas."

Pedagang itu mengangguk tersenyum ramah kepada Awan. Di tempat bakso itu terlihat sangat sepi pembeli, hanya Awan saja dan pedagang bakso itu yang ada di tempatnya.

"Pendatang ya mas?" tanya pedagang bakso itu—berniat ingin mengobrol santai dengan Awan.

"Iya mas. Baru saja sampai tadi. Ingin merantau di Jakarta niatnya mau cari pekerjaan di sini."

"Oh begitu ya. Ya bagus sih pilihan mas untuk merantau ke sini. Ya cuman namanya juga zaman sekarang ya mas, cari pekerjaan susah kalau tidak punya banyak koneksi. Pendidikan juga tidak menjamin untuk mendapatkan kerja yang layak sih mas."

"Iya sih mas betul. Kebetulan saya punya teman yang sudah bekerja cukup lama di sini. Dan di tempatnya dia ada lowongan pekerjaan, mungkin saya bisa masuk ke sana."

"Iya mas bagus dong kalau seperti itu. Ya intinya harus banyak sabar sih kalau bekerja, apa lagi para pedagang seperti saya. Kadang ramai kadang sepi banget."

Awan hanya tersenyum—ikut prihatin dengan pedagang bakso itu. Dan asyik mengobrol, bakso yang dimakannya sudah habis. Karena tak punya banyak waktu lagi, Awan memutuskan untuk membayar bakso itu dan pergi menunggu jemputan dari seseorang.

"Waduh mas, sudah habis bakso saya. Dan sepertinya jemputan saya sebentar lagi tiba. Lain waktu semoga kita bisa bertemu lagi ya mas. Oh ya, saya lupa. Berapa ya mas harganya?" Awan mengeluarkan sejumlah uang miliknya yang ada di saku celananya.

"Iya tidak apa-apa mas, santai saja. 15 ribu saja mas."

Awan menyerahkan uang senilai 15 ribu kepada tukang bakso itu. "Terima kasih ya mas, saya tidak akan lupa sih untuk rasa bakso pertama yang saya makan di Jakarta ini." Langkah Awan sudah bersiap meninggalkan tempat bakso itu.

Pedagang bakso itu hanya mengangguk pelan dan tersenyum tipis kepada Awan dan membiarkannya untuk pergi dari tempatnya.

"Haduh, berasa juga ya makan seporsi gitu aja sudah 15 ribu." Dipikirkan Awan harganya tak jauh dengan di perkampungan—ternyata ia salah besar.

Ia pun kembali ke tempat awalnya, dekat bus itu menurunkannya. Ia berdiri diam di sana. Menatap kota yang penuh gedung-gedung tinggi membuatnya semakin percaya jika ia bisa sukses di Jakarta. Cukup lama ia meratapinya, sampai akhirnya pundaknya ditepuk oleh seseorang.

"Tidak baik bengong di tempat yang ramai. Nanti ada orang yang ada niat jahat sama kamu bagaimana?" Suara itu membuat Awan sangat terkejut.

Lihat selengkapnya