Saat itu, aku baru saja lulus SMP dan memasuki tahun ajaran baru di kelas 1 SMA. Sekolah terlihat penuh oleh lautan siswa yang bersiap-siap memasuki kelas. Pagi itu terasa lembab sekali — untuk beberapa alasan aku mengingatnya dengan jelas. Aku tiba di sekolah sendirian, lalu pada jam makan siang pun aku tetap sendirian.
Aku duduk sendirian di ruangan yang penuh dengan orang. Masing-masing dari mereka mengobrol dan tertawa dalam kelompok. Hatiku terasa kosong ketika aku merindukan seseorang untuk diajak bicara. Dua gadis berjalan melewatiku, berbicara tentang selebriti yang mereka sukai dan betapa menyenangkannya itu.
Tidak pernah dalam hidupku aku punya teman untuk diajak bicara, untuk berbagi masalah dan rahasia. Aku telah dan selalu tidak memiliki rasa memiliki.
Aku menundukkan kepalaku, meletakkannya di atas meja dan berusaha untuk tidak menangis.
“Hei, apa aku boleh duduk di sini?” tanya sebuah suara.
Aku mendongak ke atas, menghadap ke arah asal suara tersebut.
Seorang bocah laki-laki berdiri tepat di hadapanku sambil membawa kotak makan siang.
Bocah laki-laki itu mengenakan kemeja putih longgar dengan celana pendek berwarna abu-abu. Namun, semakin aku menatapnya, dia terlihat semakin menawan. Rambutnya berwarna cokelat, ada kehangatan yang dibawa rambutnya ke wajahnya, bingkai sederhana untuk senyum dan mata yang memiliki lebih banyak cinta daripada yang pernah aku lihat.
Terlihat indah dan bebas, sebebas daun musim kemarau bermain di siang hari.
Dia memiliki alis yang kuat dan bulu mata yang begitu tebal.
Dan kemudian matanya - mereka terlihat sangat memukau, berwarna biru muda bagaikan air danau yang lembut, meleleh menjadi susu.
Sedekat ini, aku bisa melihat bintik-bintik perak di matanya. Dia memiliki tulang pipi dan rahang yang berbeda, kulitnya yang pucat membuatnya tampak sangat tampan.
Mata kami bertemu, dan aku menganggukkan kepalaku.
Tanpa mengatakan sepatah kata pun, dia duduk di sebrangku lalu membuka kotak makan siangnya.
Lalu dia menatap jauh ke mataku, senyumnya terukir di wajahnya.
“Um, kita belum berkenalan.” Suaranya dalam, dengan nada serius, lalu mengulurkan tangannya padaku.
Tangannya yang kuat, agak kasar, memegang tanganku saat dia kembali menatap jauh ke mataku. Mau tidak mau aku tersipu malu.
“11A.”
“10B.”
“Aku Adam,” ucapnya memperkenalkan diri.
“Mentari.”
“Apa kau sudah makan?” tanyanya, melirik tanganku yang menggenggam sebuah kotak makan siang.
“Um, belum. Ibuku membuatkan nasi goreng untukku. Bagaimana denganmu?” Pipiku kembali memerah.
Dia tersenyum lalu menunjukkan kotak makan siangnya. “Mie Jawa, apa kau pernah mencobanya?”