Matahari bercahaya dan berwarna kuning terang benderang bagaikan kuning telur mengalir melalui celah-celah di tirai, masuk ke mataku.
Aku terbangun dari kain lembut, dan cahaya pagi masuk dari balik tirai. Menutupi sisa-sisa mimpi, mataku masih tertutup saat aku berendam di kehangatan selimutku sebelum membiarkan mata hazelku melihat sinar matahari.
Perlahan dan enggan, aku membuka wajahku dari balik selimut. Aku berkedip, menutup mata, dan berkedip lagi. Garis-garis sinar matahari menembus jendela dan membutakanku.
Mikha, yang tidur di sampingku sepanjang malam, menyenggol sikuku yang masih bersembunyi di balik selimut, meminta makan.
"Pouah!" sahutku, berguling-guling di seprai saat sinar matahari mendesis di wajahku. Rambut keritingku yang coklat keemasan dan acak-acakan berserakan di bantalku, dan setiap napas yang kuhembuskan bagaikan bau amonia dan mayat-mayat yang membusuk.
Untungnya, aku tidak memiliki siapa pun untuk berbagi momen busuk ini. Aku duduk, menyeret kakiku dari tempat tidur, dan menggosok buku-buku jari ke mataku. Aku merentangkan tanganku di atas kepala dan menguap. Aku menyaksikan kedua kakiku menjuntai di atas lantai linoleum putih yang dingin.
Kutepuk kepala Mikha. “Pagi, cantik,” sapaku.
Dia membalasnya sambil mengeong dengan malas.
Matahari memperpanjang cahayanya melintasi langit merah tua. Sinar yang menyilaukan namun mengundang itu mengalir melalui jendela memberikan kehangatan bagi tubuhku.
Pikiranku melayang kembali ke dia.
Hari ini adalah hari penting. Hari yang istimewa bagi kami berdua.
Apa dia akan datang?
Melirik ke sekeliling kamarku, aku melihat bermacam-macam buku yang berantakan, pensil warna yang baru diasah dan barang-barang alat melukis lainnya memberiku kesenangan estetika yang luar biasa.
Jika dia datang, aku akan menggambarnya agar ingatan akan dirinya bisa terus tertanam dalam pikiranku.
Akhirnya aku turun dari tempat tidur dan tersandung ke sisi lain ruangan karena rasa kantuk ini masih belum meninggalkan diriku.
Ibuku sudah berada di ruang makan, sedang menyiapkan sarapan.
Setiap pagi, ibuku selalu mempersiapkan sarapan untuk kami berdua. Kali ini, ibuku menyajikan sepiring besar makanan. Telur rebus, bubur, serta ayam suwir. Tumpukan aneka buah duduk di atas es agar tetap dingin. Keranjang berisi roti yang kubuat kemarin siang serta segelas jus jeruk.
“Pagi, bu,” sapaku sambil mempersiapkan makanan khusus kucing untuk sarapan Mikha.
Ibuku menoleh ke arahku lalu tersenyum lebar. “Pagi, sayang. Tidurmu nyenyak?”
“Begitulah.”
“Maaf kemarin malam ibu pulang terlambat. Kau tahu tantemu sedang hamil besar dan dia memintaku menemaninya hingga pamanmu pulang. Sungguh menyebalkan.”
Dia duduk bersamaku di meja makan dan mulai menyantanp buburnya. Jika kuperhatikan lagi, ibuku adalah seorang wanita yang cantik sekali.
Bahkan pada usia empat puluh ibuku masih jauh lebih cantik daripada diriku. Tubuh tinggi dan rampingnya seperti model Victoria’s Secret. Mata hitamnya, seperti kegelapan malam yang penuh bintang, tenang namun berkilau. Rambutnya yang hitam panjang bergelombang, begitu halus, hampir seolah-olah itu dibuat dari kain.
“Apa yang akan kau lakukan hari ini?” tanyanya. Hari ini hari Minggu, dan biasanya aku menghabiskan akhir pekanku dengan belajar. Namun, kali ini berbeda.
“Aku ingin pergi ke danau sebentar, bu.”
Dia mendesah. “Jangan lupa belajar, ya.”