Rambutnya berwarna cokelat, ada kehangatan yang dibawa rambutnya ke wajahnya, bingkai sederhana untuk senyum dan mata yang memiliki lebih banyak cinta daripada yang pernah aku lihat.
Terlihat indah dan bebas, sebebas daun musim kemarau bermain di siang hari.
Dia memiliki alis yang kuat dan bulu mata yang begitu tebal.
Dan kemudian matanya - mereka terlihat sangat memukau, berwarna biru muda bagaikan air danau yang lembut, meleleh menjadi susu.
Sedekat ini, aku bisa melihat bintik-bintik perak di matanya. Dia memiliki tulang pipi dan rahang yang berbeda, kulitnya yang pucat membuatnya tampak sangat tampan.
Mata kami bertemu, dan aku tersadar dari lamunanku.
“Adam!” seruku lalu melingkarkan lenganku ke lehernya. Rasa sedih yang kurasakan satu detik yang lalu telah hilang bagiakan ditelan bumi, dan digantikan oleh gelombang kebahagiaan.
“Hai, sayang. Apa kau sudah siap?” tanyanya lalu tersenyum lembut.
Lututku menjadi goyah saat melihat betapa sempurnanya senyuman kekasihku ini. “Um, tunggu sebentar. Aku akang mengganti pakaian.”
Adam mengikutiku ke dalam rumah lalu menyapa ibuku sementara aku berlari menuju kamarku.
Aku melirik bayanganku sendiri di cermin rias. Apa yang harus kukenakan?
Kuraih gaun merah yang selalu kusimpan di dalam lemari untuk acara istimewa dan mengenakannya.
Aku menilai sekali lagi penampilanku di cermin dan memutuskan aku perlu sedikit blush di pipi. Rambut coklat keemasan pirangku berkilau dan membingkai wajahku yang berbentuk hati. Kulitku yang putih mulus sempurna dipancarkan oleh mata hazel besar yang bersinar dengan kebaikan, dan tubuhku yang langsing tampak sempurna dalam balutan gaun merah.
Aku berdiri membeku, tiba-tiba tidak yakin dengan pilihanku. Apakah itu gaun yang ingin aku ceritakan kepada cicitku ketika aku menceritakan mereka tentang bagaimana Adam melamarku? Bagaimana jika itu terlihat kuno dan bodoh?
Aku menggelengkan kepalaku. Tidak, merah adalah warna menunjukkan kepercayaan diri dan itu cocok denganku.
Aku menyelipkan rambut coklat keemasanku di belakang telinga, memastikan anting-anting berlian yang diberikan Adam untuk ulang tahunku aman di tempatnya.
Adam berdiri menunggu di ambang pintu. Penampilannya yang tinggi dan tampan tidak pernah gagal untuk membuatku terpana. Ketika aku mendekatinya, dia menarikku mendekatinya dengan satu tangan.
Aku meringkuk ke arahnya; senyumnya menerangi ruangan saat kegembiraanku bersamanya memancar darinya.
Setelah berpamitan dengan ibuku, Adam menuntunku keluar lalu memegang pintu mobil Mercedes hitamnya, dan aku duduk di kursi kulit berwarna tiram yang mewah.
Tiba-tiba aku merasa sangat yakin bahwa malam ini adalah malam yang istimewa. Melihat pakaian Adam yang sangat rapi dan juga senyuman yang terus-menerus terlukis di wajahnya, aku semakin yakin malam ini akan berbeda dari yang lain.
Kami mengendarai mobil untuk sesaat dalam keheningan yang tenang, udara sejuk malam meniup helai rambutku yang lembut.
Aku menatap wajah Adam dengan kagum dan berpikir betapa beruntungnya aku dan bagaimana aku akan lebih beruntung pada akhir malam yang mulia ini. Tidak ada yang lebih baik daripada menghabiskan sisa hidupku bersama Adam yang merupakan anak konglomerat.
Sesampainya kami di sebuah restoran mewah, Adam menuntunku ke sebuah meja kecil di sebuah restoran yang tenang. Suasananya sangat kosong, jelas Adam telah memesan seluruh restoran untuk kami berdua. Dia menarik keluar kursinya untukku dan menunggu hingga aku sudah merasa nyaman lalu duduk di seberangku.
Satu-satunya cahaya adalah dari beberapa lilin yang ditempatkan dengan baik. Seorang pramusaji mendekat dan, tanpa mengucapkan sepatah kata pun, menyajikan es teh. Tidak ada menu. Adam telah memesan untuk kami terlebih dahulu.
Kuraih gelasku dan menyesapnya, membuat Adam menatapku dengan lembut. Dia memperhatikanku, membuat pipiku memerah dan tersipu malu.
Dia bagaikan seorang pengintip melihat ke dunia rahasia. Dia tersenyum hangat kembali seolah-olah untuk menghiburku. Itu membuatku mulai menikmati tatapannya. Merendamnya. Merasakan matanya bergerak di atasku. Dari mataku ke hidungku, pipiku, bibirku. Lagi-lagi, wajahku memerah dan kali ini, dia juga.
Kami mengunci mata di seberang meja. Segala sesuatu di sekitar kami memudar. Kami berada di alam semesta milik kami sendiri. Hilang di kedalaman mata masing-masing. Aku bisa merasakan keinginanku sendiri, ingin memilikinya. Tapi itu bukan nafsu. Tenang, lembut, terkontrol. Dengan rasa rindu untuk melarikan diri selamanya ke alam semesta di sekitar kami.
Kami nyaris tidak memperhatikan pramusaji ketika dia menempatkan hidangan di hadapan kami. Sepiring nasi berwarna kecokelatan dengan beberapa potongan daging yang ditusuk dengan lidi serta sayuran.
“Apa ini?” tanyaku penasaran, semuanya terlihat lezat.
“Itu nasi goreng, kesukaanmu,” jelas Adam sambil tersenyum.
“Terlihat lezat,” ucapku sambil meraih sendok.