Kepalan ibuku meninju meja. “Baiklah, Mentari. Sudah cukup!”
Aku mendongak dari buburku, yang sejak tadi hanya kupandangi tanpa kumakan dan menatap ibuku dengan bingung.
Aku sama sekali tidak menyimak pembicaraan, aku bahkan tidak menyadari bahwa sedari tadi ibuku sedang mencoba berbicara padaku.
“Apa?” tanyaku.
Ibuku mendesah. “Dia tidak akan datang, Mentari. Kau harus belajar melupakannya.”
Kurasakan wajahku mengernyit. Padahal aku kira ibuku paham agar tidak mengangkat topik mengenai manusia itu.
Setelah kejadian itu, selama tiga hari aku hanya mengurung diri di kamar dan bolos kuliah.
Aku bermuram durja sambil menghabiskan semua mie instan yang ada di rumah.
Wajahku menjadi berminyak, rambutku menjadi tidak terurus dan perutku mulai bergelambir.
“Ibu, bisakah tidak membahas itu? Lagipula aku tidak melakukan apa-apa.”
Ibuku merengut. “Justru itu! Kau tidak melakukan apa-apa.”
“Maaf, bu.” Permintaan maafku terdengar datar, bahkan untuk diriku sendiri.
“Ibu tidak ingin kau meminta maaf,” semprotnya kesal.
Aku mendesah. “Katakan apa yang ibu inginkan.”
“Mentari,” Ibuku terlihat ragu-ragu, terlihat memikirkan kata-kata yang tepat untuk diucapkan. “Sayang, ini bukan akhir dunia.”
“Aku tahu.”
Ibuku diam sejenak, kembali mencari kata-kata yang tepat. “Ketika ayahmu pergi,” dia memulai, keningnya berkerut, “itu masa-masa yang sangat berat bagi ibu.”
“Aku tahu, ibu,” gumamku.
“Tapi ibu bisa kembali normal!” tegas ibuku. “Sedangkan kau, kau tidak mengatasinya, nak. Kau bermuram durja di kamar seolah-olah menunggu kematian.”
Perkataannya sedikit menyinggung perasaanku, tapi ibuku benar. Aku menjadi seperti mayat hidup akhir-akhir ini.
Air mata mengalir dari pelupuk mataku. “A-aku tidak….” Tapi aku tidak mampu menyelesaikan kata-kataku.
“Ayo, bantu ibu memasak untuk makan siang.”
Aku menganggukkan kepalaku dan mengikuti ibuku ke dapur, berusaha menyatukan kembali jiwaku yang seperti sudah hancur berkeping-keping.
“Ibu lagi mencoba memasak rendang asli Minang,” jelasnya saat kami tiba di dapur.
Rendang Minang memang mempunyai perbedaan dari rendang-rendang yang biasa dimakan di restoran padang di Jakarta maupun daerah lain. Jika ke Padang dan memakan rendang pastinya akan menemukan rendang yang berbeda dari bentuk hingga rasanya.
Meja dapur di hadapanku telah dipenuhi oleh berbagai macam bahan yang dibutuhkan untuk membuat rendang, dimulai dari; daging sapi, santan pekat, air, batang serai, daun jeruk purut, daun kunyit, cengkeh, kayu manis, asam kandas, cabai merah, garam, bawang merah, bawang putih, jahe, lengkuas dan ketumbar.
Pertama, aku mencuci daging sampai bersih, lalu kupotong dengan pisau hingga sesuai selera, sementara ibuku mengulek semua bumbu halus.
Setelah memotong daging, aku memanaskan wajan, masukkan santan, air, dan daging sapi. Aku mengaduk seluruh bahan secara terus-menerus agar santan tidak pecah.
"Ini untuk nanti siang?" aku bertanya kepada ibuku.