“Liz, apa kau pernah mempelajari ilmu bisnis?” tanyaku.
Elizabeth mengangkat bahu. “Pernah, di internet. Kenapa?”
Aku mengerucutkan bibir sambil menimbang-nimbang. Aku ragu Elizabeth mau membantuku tapi aku tidak punya banyak pilihan. “Apa kau mau membantuku memulai bisnis restoran?”
“Ah, ide sintingmu itu. Untuk membalas dendam kepada Adam, bukan?”
Sesaat dia terlihat jengkel, tapi detik berikutnya dia tampak benar-benar senang mendapat tawaran ini.
Wajahnya berseri-seri. “Ayo.”
Aku mengacungkan jari, mengingatkan. “Masalahnya,” aku menjelaskan, “ibuku pasti tidak suka jadi kau tidak boleh memberitahunya.”
“Tentu, tentu.” Elizabeth tersenyum.
“Kita akan bagi hasil jika sudah ada penghasilan,” sambungku.
“As-yiiikk.” Elizabeth mengucapkan kata itu dalam dua silabel. Lalu dia mengerutkan kening, seperti teringat sesuatu.
“Tapi, untuk memulai bisnis membutuhkan banyak biaya,” katanya. “Kita harus menabung dulu untuk bisa memulai.”
“Bukan kita,” tolakku. “Jika kau mau membantuku, akulah yang akan membiayai semuanya.”
“Entahlah…” gumam Elizabeth.
“Aku punya sedikit uang tabungan,” jelasku. Itu hasil kerjaku sebagai illustrator di internet. Tidak seberapa, tapi aku yakin cukup untuk modal awal. Lagipula, aku bukan tipe yang suka berbelanja atau membeli suatau barang yang tidak penting. Tidak masalah bukan jika aku ingin membobol tabunganku sedikit?
Elizabeth mengangguk. “Baiklah, ayo kita lakukan ini! Kita tunjukkan kepada Adam seberapa hebatnya sahabatku ini!”
Aku tersenyum dan kami bertos-tosan.
Aku tidak mungkin meminta uang darinya sebab dia tidak bekerja dan orangtuanya sama ketatnya dengan orangtuaku.
Kami mulai membuka internet dan mencari-cari informasi mengenai langkah awal memulai suatu bisnis.
Kami bisa saja menjual secara online tapi aku merasa kurang puas dengan itu. Rasanya jauh lebih menantang dan memuaskan jika kami memiliki tempat sendiri.
Aku benar-benar tidak menyangka Elizabeth akan membantuku dalam hal ini, aku benar-benar bersyukur memilikinya sebagai sahabatku. Dia benar-benar anugerah dari para dewa.
Kami mulai mencatat apa saja yang kami perlukan dan menghitung total biaya yang dibutuhkan.
Setelah selesai, wajah Elizabeth tidak lagi terlihat gembira. “Aku masih belum yakin apakah aku sebaiknya membiarkanmu membiayai semuanya.”
Aku menggeleng. “Tidak bisa. Pokoknya aku akan mendanai proyek ini. Kau tinggal menyumbang tenaga dan pikiran saja.”
Elizabeth ikut menggeleng. “Tetap saja, rasanya kurang tepat.”
“Hei, ini adalah misiku, proyekku untuk mendapatkan Adam kembali. Aku hanya meminta bantuanmu. Kau adalah sahabatku, aku tidak akan membiarkanmu membiayai proyek ini.”