Saat Dimas mengatakan dia akan membantuku, dia benar-benar serius dengan perkataannya. Kami bertukar ID Line dan mulai berdiskusi mengenai bisnis ini melalui chat.
Aku bahkan membuat grup bersama dengan Elizabeth dan dia tidak memiliki masalah dengan kehadiran Dimas.
Mereka malah terlihat sangat akrab dan jauh lebih antusias mengenai bisnis ini daripada aku.
Yang satu ahli memasak dan yang satu ahli bisnis kuliner, ini sempurna!
Sekarang aku hanya perlu mencari tempat yang tepat untuk membuka restoran sekaligus merekrut karyawan. Aku tidak sabar hingga hari pembukaan agar aku bisa memamerkannya kepada Adam.
Aku yakin Alvenia akan terkejut sekali.
Pada hari Minggu, Dimas menjemputku serta Elizabeth dengan mobilnya dan berencana mengajak kami untuk melihat tempat yang cocok untuk restoran kami nanti.
Dengan penuh semangat, aku menyapanya lalu duduk di kursi depan sementara Elizabeth duduk di kursi belakang.
“Jadi kita ke mana, Chef?” tanyaku begitu aku selesai memasang sabuk pengaman.
Dimas mengeluarkan ponselnya dan menyerahkannya padaku. “Kita mulai dari tempat ini. Sangat strategis, aku yakin kalian pasti suka.”
“Berapa biaya sewanya?” tanya Elizabeth.
Dimas mengibaskan tangannya, memutar bola matanya seolah-olah meremehkan pertanyaan Elizabeth. “Untuk kalian, aku telah berhasil merayu pemilik tempat untuk membebaskan kita dari biaya selama enam bulan pertama.”
“Serius?!” Elizabeth dan aku sama-sama berseru, terkejut mendengarnya.
Dimas terkekeh-kekeh, terlihat puas dengan reaksi kami.
Dengan mobil, perjalanan ke sana memakan waktu dua jam lebih ke arah selatan, menyusuri jalan yang penuh oleh kendaraan, tapi waktu berlalu tanpa terasa bila bersama Dimas dan Elizabeth, terutama Dimas. Dia mengobrol tentang resep rahasianya dan juga tentang beberapa pengetahuan bisnis yang aku tidak ketahui dan aku mendapati diriku mengajukan banyak pertanyaan, benar-benar tertarik dengan pengetahuannya yang begitu luas.
Sesampainya di sana, aku tertegun melihat apa yang kulihat.
Bangunan itu terletak di depan, cat birunya yang biru berkilauan di bawah sinar keemasan pertama hari itu. Aku bisa melihat tetesan hujan yang menempel. Di luar trotoar yang hiruk-pikuk, bangunan itu berdiri dengan penuh percaya diri. Wajahku menyeringai ke atas saat melihat pot bunga di sebelah kanan, pemiliknya telah menanam bunga baru yang akan memberi kilatan kuning cerah dan pink panas sepanjang musim semi.
Dilihat secara terpisah, teras depan terlihat indah dengan lantai batu abu-abu dan meja, masing-masing dengan payung matahari hijau. Terletak kurang tak jauh dari salah satu jalan tersibuk di kota.
Di bawah awan yang tak terputus, pagi yang cerah menyinari bangunan yang kokoh itu. Bangunan itu sendiri terlihat mengundang, di sisi lain dari pintu itu adalah kehangatan, begitu lembut.
Bangunan mungil itu berkerumun di antara bangunan-bangunan besar. Saat pemilik bangunan mengajak kami untuk masuk aku kembali tertegun.
Seperti di luar, interior bangunan itu hangat dan ceria, dengan lampu-lampu terang dan dinding berwarna-warni.
Aku merasa puas dengan bangunan ini, tapi Elizabeth memintaku untuk tidak terburu-buru dan memikirkannya terlebih dulu.