Mi Jowo

Bla
Chapter #16

Mission Impossible

“Jadi, kau mau mengambil bangunan yang kita lihat hari Minggu kemarin?” tanya Dimas sambil menyuapkan sesendok nasi goreng ke mulutnya.

Aku mengangguk. “Ya, hari Sabtu nanti kau ada waktu?”

Dimas tersenyum riang. “Ya, tentu.”

Bagus, pikirku.

Aku tidak suka membayangkan Adam terus-menerus meremehkanku seperti tadi, meski hanya beberapa detik. Kalau aku tidak segera membuka bisnisku sendiri, aku tidak akan bisa membuktikan diriku padanya.

Dengan uang tabungan yang aku miliki, maka itu cukup untuk membeli perabotan dan peralatan masak yang dibutuhkan.

Beruntungnya kami, bangunan itu memang bekas restoran sehingga ada beberapa perabotan yang bisa kami gunakan kembali.

Bisnis ini harus bisa berjalan lancar, jika tidak, maka hancurlah hidupku. Bagaimana aku bisa menghadapi Adam jika gagal?

Aku tidak mau membayangkannya. Sekarang yang ada di pikiranku adalah menjadi pengusaha muda yang sukses yang mampu menyaingi Adam.

“Berarti Sabtu ya? Ayo kita kerjakan semaksimal mungkin,” kata Dimas dengan nada semangat.

Entah bagaimana aku tertawa melihat semangatnya yang menggebu-gebu. “Kau tidak kesal padaku, kan?” aku penasaran. Dia sendiri pasti bertanya-tanya, sebegitu putus asanya aku ingin kembali dengan Adam.

“Tidak.”

“Tolong beritahu aku ya jika aku membuatmu kesal.”

Dimas tertawa. “Tidak, justru aku sangat kagum dengan dirimu yang sangat ambisius ini. Aku kagum dengan mimpimu dan dirimu yang pantang menyerah.”

“Ah,” desahku.

Lagi-lagi Dimas tertawa. “Tenang saja.” Dia mengangkat bahu. “Aku senang kok.”

Aku mengerutkan keningku. “Kau tidak boleh lupa dengan tugas kuliahmu.”

“Boleh juga nih kalau kita membuat tugas bersama.” Dimas mengernyit dan aku bertanya-tanya dalam hati berapa banyak tugas yang sudah lalai dia kerjakan agar bisa merintis bisnis ini yang belum juga mulai.

“Benar,” aku sependapat. “Kita bisa sambil mengerjakan tugas juga.”

“Mengerjakan tugas seminggu sekali?” usulnya. “Elizabeth pasti setuju juga, bukan?”

“Mungkin lebih baik dua kali,” aku menyarankan, membayangkan setumpuk tugas yang baru saja diberikan hari ini.

Dimas menghembuskan napas berat. Lalu dia bangkit dan menghampiri salah satu kios dan membeli dua kaleng soda. Saat dia duduk lagi, dia menyodorkan satu kaleng padaku yang sudah dibuka.

Lalu dibukanya kaleng kedua dan diangkatnya dengna sikap seperti hendak bersulang.

“Ini untuk bisnis kita agar bisa lancar,” katanya. “Semoga bisnis kita bisa menyaingi bisnis keluarga Adam.”

“Amin!” sahutku. “Dan juga untuk kuliah kita, semoga kita bisa mendapatkan IPK yang bagus dan lulus tepat waktu.”

Dimas nyengir dan menempelkan kalengnya pada kalengku.

Setelah meneguk habis sodanya, dia meraih tanganku. “Ayo, ikut denganku.”

Aku mengikutinya ke gedung bagian belakang fakultas teknik dan kami duduk di padang rumput, mendongak menatap langit.

Sinar matahari perunggu yang hangat ditelan oleh cakrawala. Hari cerah diliputi kegelapan. Kegelapan yang indah.

Sebuah kegelapan di mana garis tawaku menyala dan tampaknya berubah dari berderit ke kawah saat aku tersenyum pada bulan yang gemerlap.

Lihat selengkapnya