Mi Jowo

Bla
Chapter #17

Bersyukur

Aku membersihkan rumah Sabtu paginya –sambil menunggu Dimas atau Elizabeth menelpon sekaligus berusaha untuk menenangkan pikiranku yang terus berputar-putar pada Adam.

“Mentari!” panggil ibuku tiba-tiba.

“Aku datang,” sahutku lalu menjatuhkan sikat WC dan berlari ke ruang depan.

Wajah ibuku terlihat pucat pasi, tidak ada cahaya yang biasanya bersinar di kedua matanya. Dia terlihat seolah-olah akan menangis.

“Ada apa, bu?”

“Oh, Mentari. Tadi ibu pergi ke warung sebentar dan mengambil rute pulang yang berbeda lalu menemukan sebuah rumah yang sudah kumuh. Di dalamnya terdapat seorang perempuan miskin dengan bayi kecil yang baru saja dilahirkannya.

“Tidak hanya itu, ada enam anak berdesak-desakan di atas ranjang. Tidak ada makanan untuk mereka dan jujur saja mereka terlihat buruk sekali.”

Aku mengangkat sebelah alisku. “Ibu mau memberi makanan kepada mereka?”

Wajah ibuku kembali bersinar. “Ya, ayo bantu ibu.”

Tanpa berbicara lagi, kami segera menyiapkan makanan serta pakaian yang masih layak untuk dipakai lalu bergegas ke rumah kumuh itu.

Sesampainya di sana, aku benar-benar nyaris pingsan.

Rumahnya jelek, isinya pun kosong, menyedihkan, dengan jendela-jendela rusak, seprai compang-camping dan lantai yang berdebu.

Di hadapanku terdapat seorang ibu yang masih sangat muda, terlihat sakit, dan sedang menggendong bayinya yang mungil. Kelopak matanya terbebani dan dia bergerak lamban.

Di samping kiriku terdapat enam anak yang bersembunyi di balik selimut tua yang usang, semuanya terlihat kurus sekali.

Dengan sigap, ibuku memberi sang ibu secangkir teh hangat.

Tangannya lemah dan hati-hati, gemetar lembut saat dia meraih teh panas. Wajah si ibu muda itu pucat di mana sinar matahari menangkapnya, tidak seperti hantu orang kulit putih, hanya tenang dan keabu-abuan. Aku pikir itu pertama kalinya aku menyadari betapa rapuhnya dia.

Aku mengajak anak-anak untuk makan bersama, tapi sungguh aku merasa seperti memberi makan burung-burung lapar, tertawa, bercengkrama, dan berusaha memahami bahasa mereka yang terpatah-patah tapi lucu itu.

Anak-anak terlihat puas dengan bubur buatan ibuku dan tersenyum sebagai tanda terima kasih.

Ibuku berjanji kepada ibu muda itu akan membantu sembari memakaikan baju ke tubuh bayi kecil.

Bayi itu adalah bayi yang baru lahir berwarna merah muda dan memiliki bintik-bintik susu di minggu-minggu awalnya, mengaburkan apa yang mungkin merupakan wajah yang cukup menawan. Rambutnya, yang telah tebal saat lahir, terlihat indah sekali.

Tangisannya tersedu-sedu, seperti hidungnya tersumbat dan karena lapar dia akan melakukan apa saja, memutar kepalanya dan membuka mulut kecilnya. Dia adalah hal kecil yang tersayang, lahir dengan berat yang jauh dari berat bayi normal, aku merasa kasihan padanya.

Mata biru-hijau cerahnya menemukan mata milikku dan dia tertawa, karena hanya seorang bayi yang bisa menertawakan suara manis yang tidak ternodai oleh derita kehidupan. Wajah kecilnya bersinar dari cahaya di dalam, dan jari-jarinya yang mini menggenggam milikku, dan memegang erat-erat.

Aku merasa bahagia berada di antara mereka, walaupun aku tahu keadaan mereka sangat parah.

Tapi begitulah ibuku, dia selalu membantu orang-orang yang membutuhkan bantuan.

Tanpa pamrih. Tanpa mengharapkan balasan.

Itu semua murni dan tulus.

Ibuku sebaik itu, bagaikan bidadari yang jatuh dari langit.

Aku begitu kagum dengan ibuku, kagum dengan kebaikan hatinya yang aku sendiri kadang tidak bisa memahami.

Saat kami berpamitan, ada perasaan lega dalam diriku karena telah melakukan suatu kebaikan.

Ibuku menyikutku. “Mentari, ibu ingin kau selalu bersyukur dengan apa yang kau punya dan berbuat baik selagi kau bisa. Berbuat baik tidak akan pernah merugikanmu.”

“Aku kagum pada ibu.”

Ibuku merangkul bahuku. “Oh, sayang. Kita semua harus seperti itu. Kita harus saling membantu, dan percayalah itu akan membuat hidupmu menjadi lebih indah.”

Lihat selengkapnya